Sabtu, 29 Maret 2008

SYARAT YANG HARUS DIPENUHI DALAM IBADAH

Oleh
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin






Perlu diketahui bahwa mutaba'ah (mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari'at dalam enam perkara.

Pertama : Sebab.

Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari'atkan, maka ibadah tersebut adalah bid'ah dan tidak diterima (ditolak). Contoh : Ada orang yang melakukan shalat tahajud pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Mi'raj Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (dinaikkan ke atas langit). Shalat tahajud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid'ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari'at. Syarat ini -yaitu : ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam sebab - adalah penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah, namun sebenarnya adalah bid'ah.

Kedua : Jenis.

Artinya : ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima. Contoh : Seorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari'at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu unta, sapi dan kambing.

Ketiga : Kadar (Bilangan).

Kalau seseorang yang menambah bilangan raka'at suatu shalat, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid'ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari'at dalam jumlah bilangan rakaatnya. Jadi, apabila ada orang shalat zhuhur lima raka'at, umpamanya, maka shalatnya tidak sah.

Keempat : Kaifiyah (Cara).

Seandainya ada orang berwudhu dengan cara membasuh tangan, lalu muka, maka tidak sah wudhunya karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syari'at.

Kelima : Waktu.

Apabila ada orang yang menyembelih binatang kurban pada hari pertama bulan Dzul Hijjah, maka tidak sah, karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam.

Saya pernah mendengar bahwa ada orang bertaqarub kepada Allah pada bulan Ramadhan dengan menyembelih kambing. Amal seperti ini adalah bid'ah, karena tidak ada sembelihan yang ditujukan untuk bertaqarrub kepada Allah kecuali sebagai kurban, denda haji dan akikah. Adapun menyembelih pada bulan Ramadhan dengan i'tikad mendapat pahala atas sembelihan tersebut sebagaimana dalam Idul Adha adalah bid'ah. Kalau menyembelih hanya untuk memakan dagingnya, boleh saja.

Keenam : Tempat.

Andaikata ada orang beri'tikaf di tempat selain masjid, maka tidak sah i'tikafnya. Sebab tempat i'tikaf hanyalah di masjid. Begitu pula, andaikata ada seorang wanita hendak beri'tikaf di dalam mushalla di rumahnya, maka tidak sah i'tikafnya, karena tempat melakukannya tidak sesuai dengan ketentuan syari'at, Contoh lainnya : Seseorang yang melakukan thawaf di luar Masjid Haram dengan alasan karena di dalam sudah penuh sesak, tahawafnya tidak sah, karena tempat melakukan thawaf adalah dalam Baitullah tersebut, sebagaimana firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf". [Al-Hajj : 26].

Kesimpulan dari penjelasan di atas, bahwa ibadah seseorang tidak termasuk amal shaleh kecuali apabila memenuhi dua syarat, yaitu :

Pertama : Ikhlas
Kedua : Mutaba'ah.

Dan Mutaba'ah tidak akan tercapai kecuali dengan enam perkara yang telah diuraikan tadi.

RUMAH TANGGA YANG IDEAL

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Menurut ajaran Islam, rumah tangga yang ideal adalah rumah tangga yang diliputi sakinah (ketentraman jiwa), mawaddah (rasa cinta) dan rahmah (kasih sayang). Allah Ta’ala berfirman.

"Artinya : Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” [Ar-Ruum : 21]

Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami atau isteri harus saling memahami kekurangan dan kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajiban serta memahami tugas dan fungsinya masing-masing, serta melaksanakan tugasnya itu dengan penuh tanggung jawab, ikhlas serta mengharapkan ganjaran dan ridha dari Allah Ta’ala.

Sehingga, upaya untuk mewujudkan pernikahan dan rumah tangga yang mendapat keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla dapat menjadi kenyataan. Akan tetapi, mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang, tenteram dan bahagia mendadak dilanda “kemelut” perselisihan dan percekcokan.

Apabila terjadi perselisihan dalam rumah tangga, maka harus ada upaya ishlah (mendamaikan). Yang harus dilakukan pertama kali oleh suami dan isteri adalah lebih dahulu saling intropeksi, menyadari kesalahan masing-masing, dan saling memaafkan, serta memohon kepada Allah agar disatukan hati, dimudahkan urusan dalam ketaatan kepadaNya, dan diberikan kedamaian dalam rumah tangganya. Jika cara tersebut gagal, maka harus ada juru damai dari pihak keluarga suami maupun isteri untuk mendamaikan keduanya. Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq kepada pasangan suami isteri tersebut.

Apabila sudah diupayakan untuk damai sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an, surat An-Nisaa' ayat 34-35, tetapi masih juga gagal, maka Islam memberikan jalan terakhir, yaitu “perceraian”.

Syaikh Musthafa Al-‘Adawi berkata, “Apabila masalah antara suami isteri semakin memanas, hendaklah keduanya saling memperbaiki urusan keduanya, berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk, dan meredam perselisihan antara keduanya, serta mengunci rapat-rapat setiap pintu perselisihan dan jangan menceritakannya kepada orang lain.

Apabila suami marah sementara isteri ikut emosi, hendaklah keduanya berlindung kepada Allah, berwudhu' dan shalat dua raka’at. Apabila keduanya sedang berdiri, hendaklah duduk; apabila keduanya sedang duduk, hendaklah berbaring, atau hendaklah salah seorang dari keduanya mencium, merangkul, dan menyatakan alasan kepada yang lainnya. Apabila salah seorang berbuat salah, hendaknya yang lainnya segera memaafkannya karena mengharapkan wajah Allah semata.” [1]

Di tempat lain beliau berkata, “Sedangkan berdamai adalah lebih baik, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala. Berdamai lebih baik bagi keduanya daripada berpisah dan bercerai. Berdamai lebih baik bagi anak daripada mereka terbengkalai (tidak terurus). Berdamai lebih baik daripada bercerai. Perceraian adalah rayuan iblis dan termasuk perbuatan Harut dan Marut.

Allah Ta’ala berfirman.
"Artinya : “Maka mereka mempelajari dari keduanya (Harut dan Marut) apa yang (dapat) memisahkan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka tidak dapat mencelakakan seseorang dengan sihirnya kecuali dengan izin Allah.” [Al-Baqarah : 102]

Di dalam Shahiih Muslim dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas lautan. Kemu-dian ia mengirimkan balatentaranya. Tentara yang paling dekat kedudukannya dengan iblis adalah yang menimbulkan fitnah paling besar kepada manusia. Seorang dari mereka datang dan berkata, ‘Aku telah lakukan ini dan itu.’ Iblis menjawab, ‘Engkau belum melakukan apa-apa.’’ Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan, ‘Lalu datanglah seorang dari mereka dan berkata, ‘Tidaklah aku meninggalkannya sehingga aku telah berhasil memisahkan ia (suami) dan isterinya.’’ Beliau melanjutkan, ‘Lalu iblis mendekatkan kedudukannya. Iblis berkata, ‘Sebaik-baik pekerjaan adalah yang telah engkau lakukan.” [2]

Ini menunjukkan bahwa perceraian adalah perbuatan yang dicintai syaitan.

Apabila dikhawatirkan terjadinya perpecahan antara suami isteri, hendaklah hakim atau pemimpin mengirim dua orang juru damai. Satu dari pihak suami dan satu lagi dari pihak isteri untuk mengadakan perdamaian antara keduanya. Apabila keduanya damai, maka alhamdulillaah. Namun apabila permasalahan terus berlanjut antara keduanya kepada jalan yang telah digariskan dan keduanya tidak mampu menegakkan batasan-batasan Allah di antara keduanya. Yaitu isteri tak lagi mampu menunaikan hak suami yang disyari’atkan dan suami tidak mampu menunaikan hak isterinya, serta batas-batas Allah menjadi terabaikan di antara keduanya dan keduanya tidak mampu menegakkan ketaatan kepada Allah, maka ketika itu urusannya seperti yang Allah firmankan:

"Artinya : Dan jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya), Mahabijaksana.” [An-Nisaa' : 130] [3]

Allah Ta’ala berfirman:

"Artinya : Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz[4], hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusah-kannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar. Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” [An-Nisaa' : 34-35]

Pada hakikatnya, perceraian dibolehkan menurut syari’at Islam, dan ini merupakan hak suami. Hukum thalaq (cerai) dalam syari’at Islam adalah dibolehkan.

Adapun hadits yang mengatakan bahwa “perkara halal yang dibenci Allah adalah thalaq (cerai),” yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2178), Ibnu Majah (no. 2018) dan al-Hakim (II/196) adalah hadits lemah. Hadits ini dilemahkan oleh Ibnu Abi Hatim rahimahullaah dalam kitabnya, al-‘Ilal, dilemahkan juga oleh Syaikh Al-Albani rahimahullaah dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 2040).

Meskipun thalaq (cerai) dibolehkan dalam ajaran Islam, akan tetapi seorang suami tidak boleh terlalu memudahkan masalah ini. Ketika seorang suami akan menjatuhkan thalaq (cerai), ia harus berfikir tentang maslahat (kebaikan) dan mafsadah (kerusakan) yang mungkin timbul akibat perceraian agar jangan sampai membawa kepada penyesalan yang panjang. Ia harus berfikir tentang dirinya, isterinya dan anak-anaknya, serta tanggung jawabnya di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla pada hari Kiamat.

Kemudian bagi isteri, bagaimana pun kemarahannya kepada suami, hendaknya ia tetap sabar dan janganlah sekali-kali ia menuntut cerai kepada suaminya. Terkadang ada isteri meminta cerai disebabkan masalah kecil atau karena suaminya menikah lagi (berpoligami) atau menyuruh suaminya menceraikan madunya. Hal ini tidak dibenarkan dalam agama Islam. Jika si isteri masih terus menuntut cerai, maka haram atasnya aroma Surga, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

"Artinya : Siapa saja wanita yang menuntut cerai kepada suaminya tanpa ada alasan yang benar, maka haram atasnya aroma Surga.” [5]

Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu berkata,

"Artinya : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang: ... dan janganlah seorang isteri meminta (suaminya) untuk menceraikan saudara (madu)nya agar mem-peroleh nafkahnya.” [6]

Marilah kita berupaya untuk melaksanakan pernikahan secara Islami dan membina rumah tangga yang Islami, serta berusaha meninggalkan aturan, tata cara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam. Ajaran Islam-lah satu-satunya ajaran yang benar dan diridhai oleh Allah ‘Azza wa Jalla sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

"Artinya : Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam.” [Ali ‘Imran : 19]

“...Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.” [Al-Furqaan : 74]

Setiap keluarga selalu mendambakan terwujudnya rumah tangga yang bahagia, diliputi sakinah, mawaddah dan rahmah. Oleh karena itu, setiap suami dan isteri wajib menunaikan hak dan kewajibannya sesuai dengan syari’at Islam dan bergaul dengan cara yang baik


[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]
__________
Foote Note
[1]. Fiqhut Ta’amul bainaz Zaijaini (hal. 37).
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2813 (67)).
[3]. Dinukil dari Fiqh Ta’amul bainaz Zaujaini (hal. 87-92) secara ringkas.
[4]. Nusyuz yaitu meninggalkan kewajibannya selaku isteri, seperti meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2226), at-Tir-midzi (no. 1187), Ibnu Majah (no. 2055), ad-Darimi (II/162), Ibnul Jarud (no. 748), Ibnu Hibban (no. 1320), ath-Thabari dalam Tafsiir-nya (no. 4843-4844), al-Hakim (II/200), al-Baihaqi (VII/316), dari Tsauban radhiyallaahu ‘anhu.
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2140), Muslim (no. 1515 (12)) dan an-Nasa-i (VII/258).

Rabu, 26 Maret 2008

Antara harapan dan kenyataan

EPISODE 1

Saat Fulanah masih seorang gadis, yang ada di benaknya dan yang kemudian menjadi tekadnya adalah keinginan menjadi istri shalihat yang taat dan selalu tersenyum manis. Pendeknya, ingin memberikan yang terbaik bagi suaminya kelak sebagai jalan pintas menuju surga.

Tekad itu diperolehnya setelah mengikuti berbagai ‘tabligh’, ceramah, dan seminar keputerian serta membaca sendiri berbagai risalah. Bahkan banyak pula ayat Al-Qur’an dan Hadits yang berkaitan dengan hal itu telah dihafalnya, seperti "Ar Rijalu qowwamuna alan nisaa’…","Faso- lihatu qonitatu hafizhotu lilghoibi bima hafizhallah…" (QS. An-Nisa ayat 34). Juga Hadits :"Ad dunya mata’, wa khoiru mata’iha al mar’atus sholihat." (dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah isteri sholihat). Atau, hadits "Wanita sholihat adalah yang menyenangkan bila dipandang, taat bila disuruh dan menjaga apa-apa yang diamanahkan padanya. Begitu pula hadits "Jika seorang isteri sholat lima waktu, shaum di bulan Ramadhan dan menjaga kehormatan dirinya serta suaminya dalam keadaan ridha padanya saat ia mati, maka ia boleh masuk surga lewat pintu yang mana saja. (HR Ahmad dan Thabrani). Hadits yang berat dan seram pun dihafalnya, "Jika manusia boleh menyembah manusia lainnya, maka aku perintahkan isteri menyembah suaminya." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban)


Figur isteri yang sholihat, taat, dan setia serta qona’ah seperti Khadijah r.a. benar-benar terpatri kuat di benak Fulanah dan jelas ingin ditirunya. Maka, tatkala Allah SWT telah menakdirkan ia mendapat jodoh seorang Muslim yang sholih, ‘alim dan berkomitmen penuh pada Islam, Fulanah pun melangkah ke gerbang pernikahan dengan mantap. Begitu khidmat dan khusyu karena kesadaran penuh untuk beribadah dan menjadikan jihad dan syahid sebagai tujuan hidup berumah tangga.

EPISODE 2

Tatkala Fulan masih menjadi seorang jejaka, ia sering membatin, berangan-angan, dan bercita-cita membentuk rumah tangga Islami dengan seorang Muslimah sholihat yang menyejukkan hati dan mata. Alangkah bahagianya menjadi seorang suami dan seorang "qowwam" yang "qooimin bi nafsihi wa muuqimun lil ghoirihi" (tegak atas dirinya dan mampu menegakkan orang lain, terutama isteri dan anak-anaknya). Juga menjadi ‘imam yang adil’ yang akan memimpin dan mengarahkan isteri dan anak- anaknya.

Alangkah menyenangkannya mempunyai seorang isteri yang akan dijaganya lahir dan batin, dilindungi dan disayanginya karena ia adalah amanah Allah SWT yang telah dihalalkan baginya dengan dua kalimat Allah SWT. Ia bertekad untuk mempergauli isterinya dengan ma’ruf (QS An-Nisa:19) dan memperhatikan hadits Rasulullah SAW tentang kewajiban-kewajiban seorang suami. "Hanya laki-laki mulialah yang memuliakan wanita." "Yang paling baik di antara kamu, wahai mu’min, adalah yang paling baik perlakuannya terhadap isterinya. Dan akulah (Muhammad SAW) yang paling baik perlakuannya terhadap isteri-isteriku." "Wanita seperti tulang rusuk manakala dibiarkan ia akan tetap bengkok, dan manakala diluruskan secara paksa ia akan patah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Fulan pun bertekad meneladani Rasulullah SAW yang begitu sayang dan lembut pada isterinya. Tidak merasa rendah dengan ikut meringankan beban pekerjaan isteri seperti membantu menyapu, menisik baju dan sekali-sekali turun ke dapur seperti ucapan Rasulullah kepada Bilal : "Hai Bilal, mari bersenang-senang dengan menolong wanita di dapur." Karena Rasulullah suka bergurau dan bermain-main dengan isteri seperti berlomba lari dengan Aisyah r.a. (HR Ahmad), maka ia pun berkeinginan meniru hal itu serta menyapa isteri dengan panggilan lembut ‘Dik’ atau ‘Yang’.

EPISODE-EPISODE SELANJUTNYA

Fulan dan Fulanah pun ditakdirkan Allah SWT untuk menikah. Pasangan yang serasi karena sekufu dalam dien, akhlaq, dan komitmen dengan Islam.

Waktu pun terus berjalan. Dan walaupun tekad dan cita-cita terus membara, kian banyak hal-hal realistis yang harus dihadapi. Sifat, karakter, pembawaan, selera, dan kegemaran serta perbedaan latar belakang keluarga yang semula mudah terjembatani oleh kesatuan iman, cita-cita, dan komitmen ternyata lambat laun menjadi bahan-bahan perselisihan. Pertengkaran memang bumbunya perkawinan, tetapi manakala bumbu yang dibubuhkan terlalu banyak, tentu rasanya menjadi tajam dan tak enak lagi.

Ternyata, segala sesuatunya tak seindah bayangan semula. Antara harapan dan kenyataan ada terbentang satu jarak. Taman bunga yang dilalui ternyata pendek dan singkat saja. Cukup banyak onak dan duri siap menghadang. Sehabis meneguk madu, ternyata ‘brotowali’ yang pahitpun harus diteguk. Berbagai masalah kehidupan dalam perkawinan harus dihadapi secara realistis oleh pasangan mujahid dan mujahidah sekalipun. Allah tak akan begitu saja menurunkan malaikat-malaikat untuk menyelesaikan setiap konflik yang dihadapi. "Innallaha laa yughoyyiru ma biqoumi hatta yughoyyiru maa bi anfusihim" (QS Ar-Raad : 6).

Ada seorang istri yang mengeluhkan cara bicara suaminya terutama jika marah atau menegur, terdengar begitu ‘nyelekit’. Ada pula suami yang mengeluh karena dominasi ibu mertua terlalu besar. Perselisihan dapat timbul karena perbedaan gaya bicara, pola asuh, dan latar belakang keluarganya. Kejengkelan juga mulai timbul karena ternyata suami bersikap ‘cuek’, tidak mau tahu kerepotan rumah tangga, karena beranggapan "itu khan memang tugas istri." Sebaliknya, ada suami yang kesal karena isterinya tidak gesit dan terampil dalam urusan rumah tangga, maklum sebelumnya sibuk kuliah dan jadi ‘kutu buku’ saja.

Fulan pun mulai mengeluh. Ternyata istrinya tidak se-"qonaah" yang diduganya, bahkan cenderung menuntut, kurang bersahaja dan kurang bersyukur. Fulanah sebaliknya. Ia mengeluh, sang suami begitu irit bahkan cenderung kikir, padahal kebutuhan rumah tangga dan anak-anak terus meningkat. Seorang sahabat Fulan juga kesal karena istrinya sulit menerima keadaan keluarga. Sebab musababnya sih karena perbedaan status sosial, ekonomi dan adat istiadat. Kekesalannya bertambah-tambah karena dilihatnya sang istri malas meningkatkan kemampuan intelektual, manajemen rumah tangga, serta kiat-kiat mendidik anak. Sebaliknya, sang isteri menuduh suaminya sebagai "anak mama" yang kurang mandiri dan tidak memberi perhatian yang cukup pada isteri dan anak-anaknya. Belum lagi problem yang akan dihadapi pasangan-pasangan muda yang masih tinggal menumpang di rumah orang tua. Atau di dalam rumah mereka ikut tinggal kakak-kakak atau adik-adik ipar. Kesemua keadaan itu potensial mengundang konflik bila tidak bijak-bijak mengaturnya.

Kadang-kadang semangat seorang Muslimah untuk da’wah keluar rumah terlalu berlebihan. Tidak "tawazun". Hal ini dapat menyebabkan seorang suami mengeluh karena terbebani dengan tugas-tugas rumah tangga yang seabreg-abreg dan mengurus anak-anak. Selanjutnya, ada pula Muslimah yang terlalu banyak menceritakan kekurangan suaminya, kekecewaan-kekecewaannya pada suaminya. Padahal ia sendiri kurang instrospeksi bahwa ia sering lupa melihat kebaikan dan kelebihan suaminya.

Ada suami yang begitu "kikir" dalam memuji, kurang "sense of humor" dan "sedikit" berkata lembut pada istri. Kalau ada kebaikan istri yang dilihatnya, disimpannya dalam hati, tetapi bila ia melihat kekurangan segera diutarakannya. Bahkan ada pula pasangan suami-isteri yang memiliki problem "hubungan intim suami-isteri". Mereka merasa tabu untuk membicarakannya secara terus terang di antara mereka berdua. Padahal akibatnya menghilangkan kesakinahan rumah tangga.

Kalau mau dideretkan dan diuraikan lagi, pasti daftar konflik yang terjadi di antara pasangan suami-istri muda Muslim dan Muslimah akan lebih panjang lagi. Memang, persoalan-persoalan tidak begitu saja hilang. Rumah tangga tidak pasti akan berjalan mulus tanpa konflik hanya dengan kesamaan fikrah dan cita-cita menegakkan Islam. Mereka yakni Fulan dan Fulanah cs tetap manusia-manusia biasa yang bisa membuat kekhilafan dan tidak lepas dari kekurangan-kekurangan. Dan mereka pun pasti mengalami juga fluktuasi iman.

Pasangan yang bijak dan kuat imannya akan mampu istiqomah dan lebih punya kemampuan menepis badai dengan menurunkan standar harapan. Tidak perlu berharap muluk-muluk seperti ketika masih gadis atau jejaka. Karena, ternyata kita pun belum bisa mewujudkan tekad kita itu. Sebagai Muslim dan Muslimah hendaknya kita sadar, tidak mungkin kita dapat menjadi isteri atau suami yang sempurna seperti bidadari atau malaikat. Maka kita pun tentunya tidak perlu menuntut kesempurnaan dari suami atau isteri kita.

"Just the way you are" lah. Kita terima pasangan hidup kita seadanya, lengkap dengan segala kekurangan (asal tidak melanggar syar’i) dan kelebihannya. Kita memang berasal dari latar belakang keluarga, kebiasaan, dan karakter yang berbeda, walau tentunya dien, fikrah, dan cita- cita kita sama. Pada saat ghirah tinggi, iman dalam kondisi puncak, "Prima", semua perbedaan seolah sirna. Namun pada saat "ghirah" turun, iman menurun, semua perbedaan itu menyembul ke permukaan, mengganjal, mengganggu, dan menyebalkan. Akibatnya tidak terwujud sakinah.

Kiat utama mengatasi permasalahan dalam rumah tangga, tentunya setelah berdoa memohon pertolongan Allah SWT dan mau ber"muhasabah" (introspeksi), adalah mengusahakan adanya komunikasi yang baik dan terbuka antara suami-istri. Masalah yang timbul sedapat mungkin diselesaikan secara intern dulu di antara suami-istri dengan pembicaraan dari hati ke hati. "Uneg- uneg" yang ada secara fair dan bijak diungkapkan.

Selanjutnya, yang memang bersalah diharapkan tidak segan-segan mengakui kesalahan dan meminta maaf. Yang dimintai maaf juga segera mau memaafkan dan tidak mendendam. Masing-masing pihak berusaha keras untuk tidak mengadu ke orang tua, atau orang lain. Jadi tidak membongkar atau membeberkan aib dan kekurangan suami atau istri. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tidak membanding-bandingkan suami atau istri dengan orang lain, karena itu akan menyakitkan pasangan hidup kita. Setelah itu, masing-masing juga perlu ‘waspada’ agar tidak terbiasa kikir pujian dan royal celaan.

Jika terpaksa, kadang-kadang memang diperlukan bantuan pihak ketiga (tetapi pastikan yang dapat dipercaya keimanan dan akhlaqnya) untuk membantu melihat permasalahan secara lebih jernih. Kadang-kadang "kacamata" yang kita pakai sudah begitu buram sehingga semua kebaikan pasangan hidup kita menjadi tidak terlihat, bahkan yang terlihat keburukannya saja. Orang lain yang terpercaya InsyaAllah akan bisa membantu menggosok ‘kacamata’ yang buram itu. Alhamdulillah ada yang tertolong dengan cara ini dan mengatakan setelah konflik terselesaikan mereka pun berbaikan lagi seperti baru menikah saja ! Layaknya !

Dengan berikhtiar maksimal, bermujahadah, dan bersandar pada Allah SWT, InsyaAllah kita dapat mengembalikan kesakinahan dan kebahagiaan rumah tangga kita, serta kembali bertekad menjadikan jihad dan syahid sebagai tujuan kita berumah tangga. Amiin yaa Robbal’aalamiin. Wallahu a’lam bishowab.

* tulisan dari Ummu Samy Romadhon

Memang tidak untuk dibawa

Terkadang ummahat memiliki pertanyaan tentang boleh tidaknya membawa anak dalam sebuah acara. Tidak jarang beberapa ikhwah bersepakat untuk melakukan rihlah tanpa membawa istri dan anak-anak mereka. Beberapa undangan mencantumkan permohonan untuk tidak membawa anak di bawah lima tahun. Sapaan akrab semacam, "Anak-anak enggak dibawa, Bu?" atau "Sendiri nih, istri ditinggal?" mungkin kerap terdengar di keseharian kita. Pernah pula seorang pembicara seminar keluarga dengan bersemangat bercerita tentang bagaimana ia dan suaminya berbagi tugas membawa anak dalam acara-acara mereka.

Sebaliknya, kita jarang mendengar pertanyaan tentang boleh tidaknya mengajak anak; sejarang itu pula kita menyepakati untuk tidak melibatkan suami atau istri kita dalam sebuah acara. Undangan yang menyebutkan permohonan untuk tidak mengajak anak di bawah usia 5 tahun juga langka dalam keseharian kita. Sapaan-sapaan yang menggunakan kata’ajak’ masih lebih jarang terdengar daripada sapaan yang menggunakan ‘bawa’ atau ‘membawa’.

Fenomena di atas bisa saja kita tatap sekadar sebagai sebuah diksi. Tetapi, bisa pula kita tatap sebagai sebuah ekspresi dari sebuah perlakuan. Kata ‘bawa’ atau ‘membawa’ membutuhkan objek yang berbeda dengan kata ‘ajak’ atau mengajak’. Untuk objek barang atau binatang, mungkin, kata ‘bawa’ atau ‘membawa’ cukup memadai. Berbeda halnya jika objek tersebut adalah istri atau suami, anak dan kawan atau saudara, kata ‘ajak’ atau ‘mengajak’ tampaknya lebih tepat, lebih santun, dan lebih menghargai.

Dengan sedikit mempertimbangkan pemilihan kata maka pertanyaan serasa lebih menghargai jika menjadi, "Boleh mengajak suami, Bu?" Kesepakatan para ikhwah menjadi lebih santun dengan sebuah kesepakatan untuk tidak mengajak istri dan anak-anak. Catatan tambahan sebuah undangan serasa lebih enak dibaca dengan mengubahnya menjadi permohonan untuk tidak mengajak anak di bawah usia 5 tahun. Sapaan-sapaan kita tetap akrab atau bahkan menjadi lebih akrab dengan mengubah ‘bawa’ dengan ‘ajak’ untuk istri, suami, atau anak-anak.

Istri atau suami kita memiliki dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, istri atau suami dan anak-anak adalah mad’u bagi para dai di jalan Allah. Jika Hasan Al-Banna secara umum menyebutkan bahwa dakwah di jalan Allah memerlukan tiga pilar, yaitu pemahaman, keimanan, dan kecintaan. Maka berdakwah kepada istri/suami dan anak-anak juga memerlukan ketiga pilar tersebut. Maksud dari pilar kecintaan adalah sebuah perasaan cinta yang kuat terhadap dakwah dan terhadap sesama pendukung dakwah. Perasaan cinta ini juga dituntut dalam dakwah keluarga ini.

Di sisi yang lain, mungkin istri kita juga seorang daiyah yang memiliki sekian taklim, sekian liqa’, dan menjadi pembicara yang laris. Sebagaimana halnya dengan suami para daiyah tersebut. Mereka adalah para dai yang memiliki amanah dakwah yang besar.

Oleh karena itu, keluarga dai adalah tempat bertemunya dua juru nasihat, dua pemberi peringatan, dua orang yang senantiasa optimis dalam hidupnya, dua pembaru, dua aktivis, dua ustadz, dua pejuang, dua pemimpin umat, dan dua lain-lainnya.

Keluarga dai memang harus dinamis. Di dalam keluarga itu harus ada nasihat untuk juru nasihat; harus ada peringatan untuk pihak yang terbiasa memberikan peringatan; harus ada penumbuhan optimisme kepada orang yang tampak selalu optimis; harus ada perlindungan kepada orang-orang yang terbiasa berada di bagian terdepan di medan pertempuran; harus ada pembaruan kepada para pembaru; harus ada tatsqif kepada dua ustadz secara timbal balik; harus ada penumbuhan semangat di dalamnya. Hanya dengan itu, keluarga dai menjadi dinamis.

Didorong oleh tuntutan adanya timbal balik dakwah dalam keluarga dai maka meletakkan suami atau istri di pihak yang lain sebagai manusia dewasa adalah sebuah prinsip. Menggunakan kata ‘ajak’ sebagai ganti kata ‘bawa’ adalah sebuah hal yang layak untuk dipertimbangkan. Manusia dewasa adalah pihak yang yang patut dihormati dan dihargai. Dengan menghormatinya, suami atau istri dan mungkin anak-anak akan terpacu untuk berpikir dan mengemukakan pendapatnya. Dengan menghargainya, ia akan terhindar dari kematian semangat dan gairah hidup. Dinamis atau tidaknya keluarga dai ditentukan oleh peran serta take and give di antara istri dan suami serta anakanak. Istri aktif memberi dan menerima, demikian pula dengan suami terhadap istrinya.

Akhirnya, memberi dan menerima memang bukan urusan membawa atau dibawa, tetapi lebih kepada persoalan mengajak atau diajak. Sudahkah Anda tarbiyah? Sudahkah Anda tarbiyah adalah sudahkah Anda menghargai pasangan Anda? Sudahkah tarbiyah adalah sudahkah Anda mengajak pasangan dan keluarga Anda? Wallahua’lam.

Pahala yang selalu mengalir

Kehidupan dunia telah kita yakini dan memang telah terbukti sebagai kehidupan yang sementara. Manusia sebagai salah satu makhluk Allah telah dipastikan akan mati. Sebagai muslim, tidaklah penting kapan dan dimana kita akan mati, yang terpenting adalah apakah kita bisa mencapai kematian dalam keadaan tunduk kepada Allah atau tidak. Seperti kita ketahui, Allah memang menghendaki demikian sebagai mana firman-Nya;

"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taaqwa kepadaNya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan berserah diri (muslim)." (QS. Ali Imran ; 102).

Inilah persoalan besar yang harus diperhatikan setiap manusia, tapi sayang sekali banyak manusia yang mengabaikannya.

Dalam konsepsi Islam, mati bukanlah akhir dari segalanya, tapi justru mati itu merupakan awal kehidupan yang panjang, yaitu kehidupan akhirat dan setiap kita pasti mengiginkan kebahagiaan di akhirat, karenanya di dalam berdo’a tak pernah kita melupakan mebaca "Rabbanaa aatina fiddunyaa hasanah wafil aakhirati hasanah, wa qinaa ‘adzaabannaar".

Berdo’a saja tidaklah cukup, kebahagiaan di akhirat juga harus dicapai dengan bekal pahala yang banyak dan untuk memperoleh pehalanya yang banyak berarti harus beramal shaleh yang sebanyak-banyaknya. Meskipun begitu, ada perbuatan yang pahalanya akan terus diraih oleh orang yang beramal, mekipun ia sudah meninggal dunia. Dalam hal ini Rasulullah menunjukkan empat perkara sebagaimana sabdanya yang berbunyi :

"Ada empat perkara yang mengalir pahalanya setelah pelakunya meninggal dunia, yaitu, orang yang meninggal selagi giat-giatnya berjuang di jalan Allah, orang yang mengajarkan ilmunya, senantiasa mengalir pahala baginya, orang yang memberikan sadaqah akan mengalir shadaqah di mana saja shadaqah itu terletak dan orang yang meninggalkan anak yang shaleh dan anak tersebut selalu berdo’a untuk kebahagiaan." (Hr. Ahmad dan Thabrani).

Dari hadis di atas, empat perkara yang dimaksud adalah:

1. Mati syahid

Mati syahid adalah kematian yang dicapai tatkala seseorang tengah berjuang menegakan kalimat Allah. Begitu mulianya mati syahid sehingga seorang mu’min yang sebenar-benarnya, di manapun ia berada selalu mendambakannya. Para syuhada di dalam akhirat mendapatkan kenikmatan yang luar biasa, mereka pasti meraih syurga yang dijanjikan Allah, sebagaimana firman-Nya yang berbunyi:

"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka, mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh, itu telah menjadi janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an". (QS At-Taubah ayat 111).

Oleh sebab itu setiap kita seharusnya tidak segan-segan berjuang di jalan Allah untuk menegakkan kalimat-Nya. Manakala seorang punya kedudukan, kesempatan dan kemampuan seharusnya dimanfaatkannya untuk itu.

2. Mengajar Ilmu

Ilmu adalah salah satu kunci dan bekal seseorang untuk mencapai kebenaran serta kebahagiaan di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu setiap muslim diwajibkan menuntut ilmu untuk selanjutnya ilmu itu diamalkan demi tegaknya Al Haq (kebenaran). Salah satu cara mengamalkan ilmu adalah dengan mengajarkannya pada orang lain sehingga orang lain dengan memahami dan mengamalkan yang kita peroleh. Nabi SAW bersabda:

"Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar dan mengajarkannya" (HR. Muslim).

Ilmu itu hendaklah seperti air, ia selalu mengalir dan membersihkan yang kotor serta menyuburkan tanah yang tandus. Dengan mengajarkan ilmu diharapkan orang yang diajarkannya dapat menghilangkan sifat-sifat yang buruk dan menumbuhkan sifat-sifat yang baik. Oleh sebab itu belajar dan mengajar dalam ajaran Islam mendapat keutamaan sendiri. Tapi bila seseorang tidak memanfaatkan ilmunya untuk kebaikan, maka Allah menyediakan siksa untuknya. Nabi SAW, bersabda;

"Seberat-berat siksaan atas manusia pada hari kiamat adalah orang alim yang tidak mengajarkan ilmunya." (HR Thabrani).

Karena orang yang tidak memanfaatkan ilmunya akan diazab Allah, kita juga jangan berpendapat; "kalau begitu lebih baik saya tidak punya ilmu saja dari pada tidak memanfaatkan". Padahal Allah justru akan mengazab orang-orang yang tidak mau tahu atau tidak mau menuntut ilmu.

3. Bershadaqah

Memperbanyak harta merupakan salah satu kesenangan manusia, Allah memang mempersilahkan manusia untuk mencari harta sebanyak mungkin, tapi dari sekian banyak harta yang didapatkan, sebagai muslim kita berkewajiban mengeluarkan sebagian kecilnya untuk kepentingan Islam serta ummatnya. Kasadaran ini harus terus dipupuk karena pembangunan Islam dan ummatnya tidak lepas dari keterikatan pada dana yang didapat dari kesadaran bershadaqah. Oleh sebab itu setiap muslim diwajibkan untuk mewujudkan kesadaran bershadaqah manakala ingin meraih kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat. Tapi bila tetap bermegah-megahan dengan harta dan tidak mau menshadaqahkannya, maka azab Allah menanti, sebagaimana firman-Nya:

"Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat dan pencela. Yang mengumpulkan harta dan menhitung-hitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak ! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan kedalam huthomah, Dan tahukah kamu apa huthomah itu, (yaitu) api (yang disediakan) Allah, yang dinyalakan. Yang (naik) sampai ke hati." (QS al Humazah: 1 - 7)

Bila shadaqoh telah dikeluarkan, baik dalam bentuk uang maupun barang, maka orang yang mengeluarkannya manakala betul-betul ikhlas akan meraih pahala, sebab uang serta barangnya itu terus berguna bagi kepentingan Islam dan ummatnya.

4. Anak Yang Shaleh

Tiap orang yang menikah, pasti mengiginkan punya anak, dan tiap orang tua yang muslim, pasti ingin agar anaknya menjadi anak yang shaleh. Karena itu pagi siang, sore dan malam kita selalu berdo’a agar Allah menganugerahi keturunan yang shaleh. Namun dalam konsepsi Islam, anak yang shaleh itu bukan sekedar didambakan dan meraihnya hanya dengan do’a. Tapi RasuluLlah pernah menegaskan:

"Didiklah anak-anakmu dan perbagus adab mereka" (HR. Ibnu Majah)

Dengan begitu, orang tua yang ingin anaknya shaleh, seharusnya dialah yang mendidiknya secara langsung. Kalau kemudian ada lembaga pendidikan Islam. guru ngaji dan sebagainya yang ikut serta mendidik sang anak, itu hanyalah pelengkap, maka orang tua tidak boleh merasa kewajibannya mendidik anak telah gugur karena telah menyekolahkan anaknya di sekolah Islam atau memanggil guru ngaji ke rumah. Ini perlu dipertegas mengingat banyak orang tua yang berprinsip demikian.

Persoalan lain dalam hal pendidikan anak adalah, banyak orang tua yang seolah-olah kehabisan cara menghadapi anak-anaknya. Karena itu, perlu kita simak petunjuk Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya "Tarbiyatul Aulad Fil Islam". Beliau menyebutkan lima metode dalam mendidik anak. Pertama, mendidik dengan keteladanan, dalam arti orang tua harus memberikan teladan atau contoh yang baik kepada anak-anaknya, ini berarti, kalau orang tua ingin anaknya menjadi shaleh, orang tuanyalah yang harus lebih dulu shaleh.

Kedua, mendidik anak dengan pembiasaan yang baik, dalam arti orang tua harus menanamkan kebiasaan-kebiasaan baik kepada anak-anaknya, orang tua tidak bisa pakai prinsip, "ah nanti juga kalau sudah besar mereka tahu mana yang baik dan mana yang tidak." Mungkin mereka bisa tahu mana yang baik dan mana yang buruk, tapi mereka tidak mampu melaksanakan yang baik dan meninggalkan yang tidak baik manakala tidak dibiasakan sejak kecil, inilah pentingnya membiasakan hal-hal yang baik kepada anak sejak anak itu kecil.

Ketiga, mendidik dengan mengajarkan ilmu pengetahuan dan dialog tentang berbagai persoalan. Dalam hal ini amat penting orang tua mampu menanamkan pengertian kepada anak-anaknya, dan dialog merupakan cara yang paling tepat, apalagi menghadapi anak yang sudah memasuki usia remaja. Namun sayang sekali, karena kesibukan orang tua, justru suasana yang dialogis jarang tercipta pada keluarga-keluarga kita sekarang ini.

Keempat, mendidik dengan memberikan pengawasan dan nasehat. Dalam era sekarang. Pengawasan dari orang tua terhadap anak-anaknya sangat diperlukan, sehingga orang tua tahu perkembangan jiwa atau kepribadian anaknya dari waktu kewaktu. Kalau orang tua tahu perkembangan jiwa anaknya, maka ia tahu nasihat apa yang harus diberikan kepada mereka.

Kelima, mendidik dengan memberikan hukuman, ini dilakukan bila cara-cara yang lemah lembut tidak membuat si anak berubah ke arah yang lebih baik. Namun menghukum anak tidak selalu dalam bentuk hukuman fisik, tapi lakukanlah dengan cara-cara yang sifatnya edukatif (mendidik), misalnya biasanya si anak di beri uang jajan sehari Rp. 500,- tapi karena si anak bagun tidurnya kesiangan dan tidak shalat shubuh, maka uang jajannya dipotong menjadi Rp. 250,- Tiap orang tua tentu lebih tahu, hukuman apa yang lebih tepat untuk anak-anaknya.

Dengan demikian, ternyata untuk meraih kebahagiaan di akhirat bukanlah persoalan sederhana, karena itu diperlukan keseriusan dan kesungguhan menunjukan identitas keislaman kita di manapun kita berada.

Tarbiyah imaniyah buat anak


Salah satu aspek yang sering kita lupakan dalam mendidik anak-anak adalah tarbiyah ruhiyah. Jangankan untuk anak, untuk diri sendiri pun kita sering lupa dengan tarbiyah bentuk ini. Padahal, seperti halnya akal dan pikiran perlu mendapat pendidikan, ruh kitapun wajib mendapatkan haknya.


Untuk mendidik akal dan meningkatkan kapasitas intelektual orang tua menyekolahkan anak ke sekolah-sekolah favorit. Tetapi dalam masalah pendidikan keimanan seringkali enggan memberi porsi yang cukup. Bahkan tidak perduli walaupun sekolah tersebut tidak memberikan pendidikan Islam yang memadai.

Iman merupakan hal asasi dalam kehidupan seorang muslim, sedang tarbiyah merupakan kebutuhan pokok setiap insan. Tarbiyah imaniyah adalah tarbiyah yang ditujukan untuk meningkatkan iman, ma’nawiyah (mentalitas), akhlaq (moralitas), dan syakhsyiyah (kepribadian) daripada mutarobiyyin (anak didik).

Iman kepada Allah dan hari akhir wajib mendapat pupuk yang menyegarkan, disiram dengan air agar terus menerus tumbuh di lahannya secara bertahap dan tawazun (seimbang) menuju kesempurnaan. Iman tumbuh subur karena didasari hubungan yang intens dengan Allah dalam berbagai bentuknya. Cobalah simak hasil tarbiyah pada seorang anak di masa salaf dahulu.

Abdullah bin Dinar berkisah tentang perjalanannya bersama Khalifah Umar bin Khattab. Beliau mengatakan, "Saya bersama Umar bin Khattab r.a. pergi ke Makkah dan beristirahat di suatu tempat. Lalu terlihatlah anak gembala dengan membawa banyak gembalaannya turun dari gunung dan berjumpa dengan kami. Umar bin Khattab berkata, "Hai penggembala, juallah seekor kambingmu itu kepadaku!"

Anak kecil penggembala itu menjawab, "Aku bukan pemilik kambing ini, aku hanya seorang budaknya." Umar menguji anak itu, "Katakanlah kepada tuanmu bahwa salah seekor kambingnya dimakan srigala."

Anak itu termenung lalu menatap wajah Umar, dan berkata, "Maka di manakah Allah?"

Mendengar kata-kata yang terlontar dari anak kecil ini, menangislah Umar. Kemudian beliau mengajak budak itu kepada tuannya kemudian memerdekakannya. Beliau berkata pada anak itu, "Kalimat yang telah engkau ucapkan tadi telah membebebaskanmu di dunia ini, aku harap kalimat-kalimat tersebut juga akan membebaskanmu kelak di akhirat."

Kejadian di atas menunjukkan salah satu pengaruh dari pengenalan terhadap Allah. Kejadian serupa itu sudah sangat jarang terjadi saat ini. Sekarang ini, di masyarakat kita kejujuran dan kebenaran seolah sudah tak ada harganya. Coba bandingkan dengan sikap Umar yang menghargai anak tersebut dengan membebaskannya dari perbudakan.

Mungkin timbul pertanyaan: bagaimanakah seorang anak kecil di masa itu bisa menjadi begitu yakin dengan pengawasan Allah (muroqobatullah) yang berlaku pada setiap manusia?

Keyakinan lahir dari suatu pendidikan dan latihan yang benar. Di mana kekhalifahan Umar, masyarakat Islam sudah terbentuk dan masyarakat ini menghasilkan bi’ah (lingkungan) yang baik bagi anak tersebut, kendati ia berada di gurun. Pengaruh sistem pendidikan Islam telah merembes ke berbagai tempat sehingga setiap orang benar-benar meyakini dan menghayati syariat Allah.

Tarbiyah imaniyah untuk anak-anak merupakan satu pendidikan yang meliputi hal-hal berikut:

1. Upaya melaksanakan dan menghayati nilai-nilai ibadah kepada Allah dalam arti yang seluas-luasnya sesuai dengan bimbingan Rasulullah SAW.

2. Pembiasaan dalam mengingat Allah (dzikrullah) dengan membaca ayat-ayat Al Qur’an atau dengan menyebut-nyebut nama Allah dengan cara yang tepat di saat-saat tertentu.

3. Membiasakan merasakan adanya bimbingan Allah dalam melaksanakan kebaikan dan pengawasan Allah dalam setiap aspek kehidupan. Yaitu dengan menghubungkan kejadian-kejadian sehari-hari yang dialaminya dengan kekuasaan Allah.

4. Membiasakan menggantungkan diri kepada Allah misalnya dengan berdo’a dalam berbagai situasi dan kondisi.

5. Meningkatkan akhlak (perilaku) yang baik dengan mencontohkan tindakan-tindakan baik dan memperbaiki perilakunya pada saat anak melakukan keburukan.

6. Memberikan motivasi dan rangsangan dengan memuji atau memberi hadiah ketika anak berbuat baik, memberi manfaat kepada orang lain, atau menyenangkan orang lain kendati orang tersebut tidak menyadarinya.

7. Membimbing hal-hal lain untuk yang berhubungan dengan pendekatan diri kepada Allah.

Metode Tarbiyah

Pembekalan keimanan bagi anak-anak berorientasi pada penyiapan pemahaman dan pembiasaan berbagai hal yang kelak dapat menolong anak untuk melakukan sendiri berbagai kegiatan yang dapat memelihara ruhiyahnya.

Anak-anak sebenarnya lebih mudah menerima hal-hal yang bersifat teoritis kendati bersumber dari alam ghaib (tidak nampak). Karena secara fitrah mereka mudah mempercayai orang tua, guru, atau kawan dekatnya. Anak-anak senantiasa jujur dan tidak mau didustai seperti pada kisah Umar bin Khattab di atas. Ini menunjukkan bahwa kejujuran mereka amat mudah mendekatkan mereka kepada Allah.

Tarbiyah imaniyah untuk anak-anak dapat diberikan dengan jalan:

1. Dengan Contoh dan Keteladanan

Anak-anak adalah makhluk yang paling senang meniru. Orang tuanya merupakan figur dan idolanya. Bila mereka melihat kebiasaan baik dari ayah ibunya, maka mereka pun akan dengan cepat mencontohnya. Orang tua yang berperilaku buruk akan ditiru perilakunya oleh anak-anak. Anak paling mudah mengikuti kata-kata yang keluar dari mulut kita. Misalnya dalam mensyukuri segala nikmat yang diperoleh dalam keluarga. Kepada anak harus senantiasa diingatkan betapa semua rezeki bersumber dari Allah. Apabila kita memberi pisang kepada anak misalnya, sempatkanlah bertanya , "Darimana pisang ini, Nak?" "Dari Umi," jawab si anak. "Ya. Tetapi sebenarnya pisang ini pemberian Allah kepada kita. Allah menyampaikannya melalui Umi."

Dengan cara demikian, dalam peristiwa sederhana ini kita mencontohkan bagaimana mengingatkan Allah dan mensyukuri pemberian-Nya. Mengucapkan hamdalah ketika menerima sesuatu dan menjelaskan kepada mereka bahwa semuanya merupakan kasih sayang Allah dan merupakan suatu kewajiban yang tidak dapat dipungkiri. Demikian pula mengucapkan insya Allah, subhannallah, dan berbagai ungkapan tasbih lainnya akan dicontohkan oleh anak.

2. Dengan Latihan dan Pembiasaan

Banyak pembiasaan ibadah harus dilakukan pada anak. Misalnya pembacaan do’a pada tiap-tiap kesempatan dan menguraikan maksud dan isi do’a tersebut. Di setiap munasabah, ada do’a yang pantas diucapkan. Mau makan, minum, tidur, mau belajar, mau berwudhu, menaiki kendaraan, dan lain-lain ada do’a yang khas untuknya. Anak-anak sangat mudah menghafalkan do’a-do’a ini. Apalagi bila di sekolah mereka mendapat program khusus mengenai do’a ini. Tetapi pengamalan do’a-do’a tersebut sangat tergantung pada pengawasan orang tua. Biar pun anak mampu menghafal seratus do’a di sekolah atau madrasahnya, dia tidak akan mampu meningkatkan imannya bila tidak ada pengamalan dan penghayatannya. Secara rutin dan teratur ayah atau ibu hendaknya membimbing anak membiasakan pembacaan do’a ini, menjelaskan dan memberi pengertian tentang nilai-nilai kandungannya.

Pembiasaan lain yang perlu dilakukan semenjak dini antara lain:

- Membawa anak-anak ke masjid, beri’tikaf, serta mencintai dan menghormati jamaahnya.

- Memberikan perhatian khusus agar anak senantiasa membaca Al Qur’an secara rutin.

3. Dengan Nasihat dan Bimbingan

Orientasi nasihat dan bimbingan bertujuan mengingatkan anak terhadap pengawasan Allah di mana pun mereka berada. Ibnu Abbas r.a. menceritakan bahwa sewaktu masih anak-anak, beliau pernah dibonceng Rasulullah di atas untanya. Perjalanan yang mengasyikkan ini digunakan Rasulullah untuk menasihati Ibnu Abbas. Waktu itu Rasulullah SAW berkata, "Hai anak, jagalah semua perintah Allah, niscaya Allah memeliharamu. Periharalah semua perintah Allah, niscaya engkau dapati Dia di hadapanmu. Apabila engkau memohon sesuatu, mohonlah hal itu kepada Allah, dan bila meminta pertolongan, mintalah kepada Allah. Dan ketahuilah, sekiranya seluruh masyarakat sepakat berbuat sesuatu yang bermanfaat bagimu, maka semua manfaat itu hanyalah Allah yang menentukannya, dan bila mereka akan berbuat jahat kepadamu, maka kejahatan itu tidak akan menimpamu kecuali yang telah ditetapkan Allah pula. Terangkat qalam dan keringlah pena." (At-Turmudzi)

4. Dengan Pengarahan dan Pengajaran

Bila nasihat disampaikan di mana saja, di tempat-tempat di mana orang tua (murobbi) berinteraksi dengan anak didiknya, maka pengarahan dan bimbingan mengambil waktu dan tempat tertentu misalnya seusai shalat Shubuh atau Maghrib berjamaah. Rasulullah pernah memberi pengajaran kepada Ibnu Abbas sebagai berikut, "Periharalah perintah Allah, engkau dapatkan Allah di hadapanmu. Kenalkan dirimu kepada Allah di waktu senang, niscaya Allah akan mengingatmu di saat kesukaran. Ketahuilah bahwa sesuatu yang terlepas darimu tidak akan mengenaimu, dan yang menjadi bagianmu tidak akan terlepas darimu. Ketahuilah bahwa kemenangan itu beserta keshabaran, dan kegembiraan itu setelah kesukaran, dan setiap ada kesukaran akan ada kelapangan."

Anak-anak pra sekolah dapat mulai dimasukkan ke TPA di mana mereka mendapatkan arahan dan pengajaran dari guru-guru yang sudah memahami metoda pendidikan keimanan kepada balita.

5. Dengan Bercerita dan Berkisah

Anak-anak sangat senang pada cerita-cerita dan kisah-kisah masa lampau. Apalagi di dalamnya terkandung unsur-unsur heroik dan semangat perjuangan. Islam memiliki khazanah kekayaan sejarah yang sangat besar. Mulai zaman nabi-nabi, Nabi Muhammad dan para sahabat beliau, serta sejarah umat Islamnya. Ibnu Mas’ud berkata, "Kami (generasi sahabat) mengajarkan perang-perang Rasulullah kepada anak-anak kami sebagaimana kami mengajarkan Al Qur’an."

Ayah dan ibu yang bercerita kepada anaknya akan lebih melekatkan anak-anak pada keteladanan dan ibroh (pelajaran) yang dapat diambil oleh anak. Sesungguhnya apabila kita mampu bercerita dengan baik, kisah dari seorang ibu yang lembut dan penuh keakraban insya Allah dapat lebih disukai anak tenimbang acara-acara telivisi. Karena pendekatan cerita sebelum tidur bersifat timbal balik dan mempunyai dampak psikologis yang dibutuhkan anak.

6. Dengan Dorongan, Rangsangan dan Penghargaan

Usia kanak-kanak sangat memerlukan dorongan dan penghargaan ketika meraih sesuatu kendati sangat sederhana. Jangan segan-segan mengucapkan terima kasih kepada anak yang berhasil nilai yang bagus, atau memberi hadiah ketika berhasil dalam salah satu kegiatan. Di dalam hadiah tercermin kasih sayang, karena Rasulullah bersabda, "Saling beri hadiahlah kalian dengan demikian kalian akan saling mencintai." (Al-Hadits)

Bagi seorang anak, perhatian, ciuman, dekapan yang mesra, atau gendongan dapat dipahami sebagai hadiah. Anak yang lebih besar ingin hadiah yang lebih kongkrit. Tak ada salahnya ayah memberi sesuatu ketika anak telah berprestasi dalam peningkatan pribadinya. Misalnya, ketika berhasil menghafal satu surat di antara surat-surat Al Qur’an.

(Dikutip dari Majalah Ummi, No. 9/VIII Tahun 1417H/1997)

Temani aku hingga ke Surga

Mari lewati lorong waktu, menyusuri jalan-jalan dunia yang penuh tipu daya, dengan kebersamaan. Tapaki perguliran pagi, siang, petang dan malam, yang penuh liku, dengan persahabatan dalam keimanan. Di dunia ini, kita harus saling berpegangan tangan. Harus. Kita tak mungkin selamat mengarungi bahtera kehidupan yang sangat luas dengan ancaman badai fitnah ini, seorang diri. Kita tak dapat lolos dari ancaman fitnahnya dengan hanya mengandalkan kemampuan sendiri. Karena, kita diciptakan sebagai makhluk yang penuh kelemahan dan mudah terpedaya. “Dan diciptakan manusia itu dalam keadaan lemah.” (Qs. An Nisa:28)

Saudaraku,
Kebersamaan dan pertemanan di jalan Allah lah yang aakan mengantarkan kita menyelesaikan hidup dengan kebaikan. Persaudaraan, kebersamaan dan persahabatan di jalan Allah lah yang juga akan mengiringi kita pada kebahagiaan akhirat. Allah SWT memberitakan bahwa hanya pertemanan atas dasar iman dan takwalah yang abadi. “Teman-teman akrab pada hari itu (hari kiamat) sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa." (Qs. Az Zukhruf: 67). Ibnu Katsir mengatakan, “Seluruh pertemanan dan persahabatan yang tidak karena Allah pada hari kiamat akan berubah menjadi permusuhan." Begitu juga pesan Rasul SAW dalam haditsnya, yang menyebutkan bahwa kita akan dibangkitkan di hari kiamat bersama orang yang kita cintai.


Saudaraku,
Merenunglah. Siapa orang-orang yang kita cintai? Siapa orang-orang yang paling dekat dalam hidup dan hati kita? Siapa orang yang menghiasi ingatan kita? Siapa orang yang menemani langkah-langkah hidup kita? Orang shalehkah dia? Mengajak pada kebaikan dan keridhaan Allah kah dia? Bayangkanlah persahabatan orang beriman di akhirat sebagaimana digambarkan oleh Ali bin Abi Thalib RA. "Ada dua orang mukmin yang bersahabat dan berteman akrab. Salah seorang di antara keduanya meninggal lebih dahulu dan ia mendapat berita gembira dengan surga. Ketika itu ia mengingat teman akrabnya di kala di dunia lalu in berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya fulan adalah teman akrabku, dia yang menganjurkanku berlaku taat kepada-Mu dan kepada Rasul-Mu. Dia yang mengajakku melakukan kebaikan dan mencegahku melakukan kemungkaran. Dia juga yang menyadarkanku akan pertemuan dengan-Mu. Ya Allah jangan Engkau sesatkan dia sepeninggalku sampai Engkau memperlihatkan kepada-nya kenikmatan yang Engkau berikan padaku dan sampai Engkau meridhainya sebagaimana Engkau ridha kepadaku," Maka Allah berkata kepadanya, "Pergilah, seandainya engkau tahu yang Aku berikan kepadanya pasti engkau akan banyak tertawa dan sedikit menangis. “

Kemudian teman akrabnya itu meninggal dan ruh mereka bertemu. Dikatakan pada mereka, “Saling memujilah kalian kepada sahabat kalian." Maka masing-masing mereka mengatakan, “Dia adalah sebaik-baik teman, sebaik-baik saudara, sebaik-baik sahabat…." Duhai indahnya. Pertemuan yang sangat mengesankan dan penuh kegembiraan.

Saudaraku,
Banyak kisah-kisah yang ditinggalkan para salafushalih tentang keadaan mereka setelah meninggal dunia. Di antaranya disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Ar-Ruh. Abdullah bin Mubarak mengatakan, “Aku mimpi bertemu Sufyan Ats Tsauri beberapa hari setelah ia meninggal dunia. Aku bertanya padanya, “Apa yang Allah lakukan terhadapmu sekarang?" Ia menjawab, “Aku bertemu Muhammad dan pasukannya..”

Dalam kisah lain, Ibnu Abid Duniya menyebutkan sebuah riwayat dari Yaqzhah binti Rasyid yang bercerita, “Marwan Al Mahlamy adalah tetanggaku. Dulu dia seorang hakim dan bersungguh-sungguh dalam ibadah ketika meninggal dunia aku menangkap kegembiraan yang terpancar dari mukanya. Tak berapa lama setelah itu aku mimpi bertemu dengannya, seperti layaknya mimpi yang terjadi dalam tidur. Aku bertanya, “Wahai Abu Abdullah apa yang Allah lakukan terhadap dirimu.“ Ia menjawab, “Allah memasukkan aku ke dalam surga," jawab-nya. “Kemudian apalagi?" “Aku dipertemukan dengan golongan kanan," jawabnya. Kemudian apa lagi?" “Aku dipertemukan dengan orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah." Aku bertanya, "Siapa orang yang engkau lihat di sana?” tanyaku. “Aku melihat Al Hasan bin Sirrin dan Maimun bin Sayyah,” jawabnya.

Seperti itulah keadaan mereka setelah meninggalkan dunia. Bertemu dengan orang-orang yang dahulunya menjadi teman dan penghias hari-hari mereka. Orang-orang shaleh yang menjadi ingatan mereka dalam hidup. Mereka itulah yang akan menemaninya di alam akhirat.

Saudaraku,
Hati-hatilah menyusuri jalan kebersamaan dengan orang-orang shalih. Waspadalah untuk tidak melakukan penyimpangan, yang membuat kesenjangan diri kita dengan mereka. Salim bin Abi Ja’ad mengatakan bahwa Abu Darda pernah berkata, "Hendaklah seseorang berhati-hati bila ia dibenci oleh hati orang-orang beriman dari arah yang tidak ia sadari.” Kemudian sahabat Abu Darda bertanya, “Tahukah kalian apa yang dimaksud dengan kata-kata itu?” Salim mengatakan bahwa ia tidak mengerti. Abu Darda menjelaskan, “Yaitu seorang hamba bermaksiat kepada Allah dalam keadaan sendiri lalu Allah menghunjamkan kemarahan-Nya dalam hati orang-orang beriman tanpa ia sadari.” (Al-Hilya: 1/215)

Kemarahan hati orang beriman, adalah kesengsaraan. Kebencian orang-orang yang beriman adalah pangkal kesempitan dan penderitaan. Karena merekalah sebenarnya yang dapat mengubah dunia dengan segala permasalahannya menjadi indah. Mulut-mulut merekalah yang menuangkan nasihat dan membicarakan kalimat demi kaiimat yang dapat menentramkan hati. Lidah-lidah merekalah yang menyiram hati kita untuk senantiasa berada dalam keridhaan dan tidak terlalu jauh menyimpang dari ridha Allah SWT. Tangan-tangan merekalah yang menuntun kita. Telapak tangan merekalah yang tertengadah di malam sunyi dan gelap malam hingga memberi kekuatan iman dalam diri kita. Ingatlah sabda Rasulullah tentang do’a seorang mukmin di tengah malam yang dijamin diterima Allah SWT.

Saudaraku,
Bersahabat dengan mereka, akan mendekatkan kita pada Allah. Dan ketaatan kita pada Allah, juga akan mendekatkan kita pada mereka. Ibnu Asakir meriwayatkan, Abu Darda‘ menulis surat pada Maslamah bin Makhlad. "Seorang hamba jika ia telah berbuat kebajikan untuk taat kepada Allah, maka Allah mencintainya. Bila Allah telah mencintainya, Allah akan menjadikan makhluk cinta padanya. Dan bila ia bermaksiat pada Allah, maka Allah akan memarahinya. Bila ia telah dimarahi olehNya, Maka Allah akan menjadikan seluruh makhluk benci padanya." (Al Kanz, 8/255)

Semoga Allah menghimpun kita dalam golongan orang-orang yang mendapat ridha-Nya di akhirat. Amiin Allahuma amiin.

Jangan jatuh pada lubang yang sama

“Tafakkur satu jam, lebih baik dari ibadah satu tahun.” Sepintas, ungkapan Imam Syafi’i itu berlebihan. Bagaimana mungkin sebuah amal yang dilakukan dalam rentang 1 jam, bisa lebih baik dari ibadah selama satu tahun?

Ungkapan Imam Syafi’i itu tentu tidak disampaikan dalam konteks perbandingan yang saling menafikan antara yang satu dengan yang lain. Imam Syafi’i tidak mengajak agar orang melakukan tafakkur satu jam, lalu tak perlu beribadah selama satu tahun. Sama sekali tidak. Ia hanya ingin menekankan pentingnya merenung, menghisab diri, mengevaluasi amal yang telah lalu, menekuri hidup dan seterusnya. Sikap ini sangat penting dan bahkan menjadi syarat seseorang untuk mampu memiliki kualitas ibadah yang lebih baik.

Ada beberapa langkah praktis yang bisa kita lakukan agar kita terbiasa mengambil pelajaran dari masa lalu, baik dari apa yang telah dilakukan diri sendiri, maupun orang lain.


Pertama, merenung, bermuhasabah atau mengevaluasi amal dalam satu hari.
Kebiasaan seperti inilah yang dilakukan seorang sahabat yang menurut Rasulullah sebagai ahli surga. Dalam hadits shahih disebutkan dalam tiga kesempatan Rasulullah menyinggung kedatangan sahabat calon penghuni surga itu di dalam majelis para sahabat. Ahli surga itu ternyata bukan ahli ibadah yang kuantitas ibadahnya melebihi para sahabat lain. Ia hanya kerap melakukan evaluasi diri menjellang tidurnya setiap malam lalu ia hapus semua rasa gundahnya pada sesama muslim.

Dalam kitab “Bukaul Mabrur” yang mengulas tentang tangisan orang-orang shalih disebutkan perkataan salafushalih: “Para orang tua kami selalu menghitung diri dari apa yang mereka perbuat dan apa yang mereka ucapkan, kemudian mereka menulisnya dalam sebuah daftar. Setelah shalat Isya’, mereka mengeluarkan daftar amal dan ucapannya kemudian menimbangnya. Jika amalan yang diperbuat buruk yang perlu istighfar maka mereka bertaubat dan beristighfar. Namun jika amalannya baik dan perlu disyukuri, merekapun bersyukur kepada Allah hingga mereka tidur. Kami pun mengikuti jejak mereka. Kami mencatat apa yang kami perbuat dan menimbangnya."

Kedua, memiliki agenda harian untuk mengevaluasi amal-amal yang telah dilakukan.
Agenda harian ini berisi daftar amal harian yang dianggap wajib dilakukan. Misalnya saja, kewajiban shalat Subuh dan Isya di masjid, memulai pekerjaan dengan Bismillah, membaca istighfar minimal 100 kali, membaca al-Qur‘an sekian halaman, dan sebagainya. Sebaiknya catat pula alasan, problem dan hambatan yang menjadikan kita tidak mampu menunaikan amal-amal harian tersebut. Mencatat hambatan amal-amal baik akan menjadi bahan pengalaman agar bisa diantisipasi pada waktu selanjutnya. Sebagaimana setiap orang akan menerima lembaran-lembaran amalnya selama di dunia pada pengadilan akhirat nanti, setiap muslim sangat dianjurkan untuk menghitung-hitung sendiri amal-amalnya sejak di dunia. Tujuannya jelas, agar segala keburukan tidak terulang, dan segala kebaikan terpelihara bahkan lebih baik lagi. Umar ra memberi nasehat, “Hasibuu anfusakum, qabla an tuhasabuu.” Hisablah amal-amal kalian sendiri, sebelum amal-amal kalian dihisab (oleh Allah di hari kiamat).”

Imam Hasan Al Bashri mengatakan, "Sesungguhnya penghisaban di hari kiamat akan ringan bagi kaum yang telah menghisab amalannya di dunia, begitu pula sebaliknya penghisaban di hari kiamat akan berat bagi orang yang tidak menghisab amalannya di dunia.”

Ketiga, biasakan menilai dan mempertajam kontrol terhadap diri sendiri.
Seseorang yang takjub dengan pribadi Hasan Al-Bashri pernah bertanya, “Siapa yang mendidikmu memiliki pribadi seperti ini?" Hasan Al-Bashri menjawab pendek. “Diriku sendiri." “Bagaimana bisa seperti itu?" tanya orang itu lagi. Hasan menguraikan, “Jika aku melihat keburukan pada orang lain, aku berusaha menghindarinya. Jika aku melihat kebaikan pada orang lain, aku berusaha mengikutinya. Dengan begitulah aku mendidik diriku sendiri…"

Sikap ulama shalih generasi Tabi’in itu jelas menekankan pentingnya seseorang mengambil pelajaran dari sebuah peristiwa. Teorinya sederhana, meniru yang baik dan menghindari yang tidak baik. Tapi hasilnya, prinsip itulah yang melahirkan pribadi yang menakjubkan. Apa yang melatarbelakangi Hasan Al-Bashri berprinsip seperti itu? Tidak lain untuk menghindari kekeliruan masa lalu, baik yang dilakukan diri sendiri maupun o-rang lain. Itu kuncinya, sehingga dari hari ke hari ia selalu berupaya memperbaiki kepribadiannya.

Keempat, sadarilah bahwa belajar dari pengalaman akan menambah kedewasaan dan kebijaksanaan dalam menyikapi hidup.
Semakin banyak orang bercermin terhadap masa lalu, maka ia akan semakin bijaksana dalam menentukan langkah. Saat mendapat kelapangan, seseorang tidak akan mudah larut oleh kesenangan. Ia berpikir bahwa ada kalanya lapang dan ada kalanya sempit. Saat mendapat kesulitan, ia juga tak mudah hanyut. Karena ia berpikir bahwa kesulitan akan silih berganti dengan kemudahan. Dan seterusnya. Perbandingan seperti ini membuat seorang mukmin tetap bersyukur apapun kondisi yang ia alami. Itulah variasi dan itulah wujud kesempurnaan hidup sehingga saling melengkapi. Tanpa sikap seperti ini orang akan mudah terkena penyakit jiwa. Mudah gelisah dan selalu merasa tidak puas. Ia bahkan sulit merasa bahagia karena selalu terombang ambing oleh dinamika hidup itu sendiri.

Kelima, ketahuilah, bahwa dalam batas tertentu kesalahan dan kekeliruan adalah lumrah. Allah swt tidak menciptakan manusia sempurna. Selalu saja ada manusia yang lebih di sini dan kurang di sana. Atau sebaliknya, lebih di sana dan kurang di sini. Sehingga prinsipnya jangan takut gagal dalam beramal. Tidak jarang, kegagalan dan kesalahan merupakan batu loncatan ke arah kebaikan. Setidaknya ia menjadi spirit untuk melakukan penebusan. Makna ini antara lain yang terkandung dalam pesan Rasulullah agar kita mengiringi segala keburukan yang kita lakukan dengan kebaikan. “Bertakwalah kamu kepada Allah di mana saja kamu berada. Dan ikutilah keburukan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapus keburukan." (HR. Bukhari dan Muslim)

Keenam, selami sejarah orang-orang yang hidup di masa lalu.
Dengan mengetahui masa lalu, berarti seseorang memiliki modal informasi berharga sebagai bekal perjalanan yang ia lakukan di masa mendatang. Peristiwa apapun, baik dilakukan oleh sebuah generasi maupun orang per orang, harus menjadi cermin perbandingan melangkah ke depan. Kehidupan ini tak ubahnya cermin pengulangan masa lalu. Silih berganti antara keberhasilan dan kegagalan, kemenangan dan kekalahan, kebahagiaan dan kesedihan. Semuanya berputar dan berganti bagai pergantian siang dan malam. Firman Allah swt, “Dan hari-hari itu kami pergilirkan di antara manusia…” (Qs. Ali Imran: 140),

Itulah hikmah dari penjabaran sejarah perjuangan para Rasul dan Nabi yang tertuang dalam Al-Qur‘an. Allah swt membina mental perjuangan Rasulullah dan para sahabatnya melalui uraian panjang tentang perjuangan para Nabi dan Rasul sebelum mereka. Jejak sejarah perjuangan itulah yang akan menjadi rambu bagi umat manusia sepanjang zaman dalam menegakkan kebenaran.

Fir’aun hanya satu tokoh sejarah yang diungkapkan Al-Quran. Ia merupakan simbol penguasa yang melakukan kekejaman dan penindasan terhadap rakyat, sekaligus memusuhi ajaran Allah swt yang dibawa oleh Nabiyullah Musa as. Mungkinkah saat ini muncul tokoh penguasa semacam Fir’aun? Justeru itulah inti pelajaran sejarah yang dipaparkan Al-Qur‘an. Melihat sejarah sepak terjang Fir‘aun, manusia diajak mengerti bagaimana bahayanya kejahatan yang datang dari sebuah kekuasaan. Lebih berbahaya dari kejahatan kriminal berupa pembunuhan atau perampokan.

Kisah Fir’aun juga memberi gambaran kepada para penegak kebenaran bahwa mereka akan selalu menghadapi gembong-gembong kejahatan. Karena setiap zaman memiliki ‘Fir’aun’nya sendiri.

Ketujuh, seringlah berdiskusi, bertukar pengalaman, saling menasihati dengan orang-orang shalih tentang berbagai fenomena hidup.
Seorang pemikir menyebutkan, “Manusia itu ibarat burung yang bersayap sebelah.” Tak mungkin bisa terbang, jika ia tak memiliki sayap pasangannya. Maka, ia hanya bisa terbang kalau mau berpelukan erat-erat dan bekerjasama dengan orang lain. Begitulah analogi-nya, setiap orang memerlukan bantuan orang lain untuk bisa berhasil dalam hidup. Apa artinya?

Setiap orang harus bisa saling memberi dan membantu satu sama lain. Rasulullah mengistilahkan hal ini dengan sabdanya “setiap mukmin adalah cermin bagi saudaranya yang lain”. Cermin, sumber informasi paling akurat dan jujur tentang berbagai fenomena. Cermin tempat memperoleh penilaian tentang diri, kapanpun dan dimana-pun. Cermin juga pandai menyimpan informasi hanya pada pihak yang langsung terkait dengan informasi itu.

Roda kehidupan takkan pernah berhenti bergulir. Hari demi hari terus berjalan. Tugas kita adalah memanfaatkan kesempatan hari ini untuk menyongsong hari esok. Terlalu banyak pelajaran yang seharusnya membuat kita menjadi lebih baik dari yang telah lalu. Terlalu banyak pengalaman yang seharusnya menjadikan kita berhati-hati dan berhitung matang untuk melangkah. Terlalu banyak peringatan untuk menyadarkan kita agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Ingat, jangan sampai jatuh pada lubang yang sama!

Wallahu’alam.

Janji, dari percaya jadi setia

Selain dengan undang-undang dan tata tertib, sesungguhnya hidup ini dibangun di atas kepercayaan. Sebab, undang-undang hanya mengatur, mengikat, tapi kepercayaanlah yang membuktikannya. Sebab tata tertib hanya merapikan, membuat urut-urutan, tetapi kepercayaanlah yang membuat segalanya bisa berjalan. Maka orang-orang yang tak bisa dipercaya bisa dengan mudah melanggar undang-undang, mencederai kesepakatan, melawan aturan, meski dalam hal-hal yang terkait dengan kepentingan dirinya sendiri.

Bila kepercayaan adalah aspek jiwanya, maka janjilah aspek raganya. Bila kepercayaan adalah ruhnya, maka janji adalah jasadnya. Bila kepercayaan adalah kekuatan batin, maka janji adalah penopang lahirnya. Bila kepercayaan adalah ikatan putihnya, maka janjilah bukti hitamnya.Begitulah seterusnya.

Maka sepenggal janji adalah harga yang mahal untuk sebuah kepercayaan. Sebab janji yang tidak bisa dipercaya, atau janji yang tak ada kepercayaan di dalamnya, ibarat buah yang ranum kulitnya, tapi kopong di dalamnya. Tak ada buahnya yang bisa dimakan. Janji yang tak ada kepercayaan di dalamnya, tidak akan memberi manfaat, seperti sebutir buah, tak ada yang mau memakan kulitnya.

Dalam banyak kasus, janji menjadi semacam `uang muka’ bagi segala bentuk hubungan sosial di antara kita. Selebihnya baru bisa dikatakan lunas, bila memang janji-janji itu dipenuhi.

Maka Islam mengajarkan moralitas janji, dari dua arah yang sangat dominan. Arah pertama bahwa janji harus selalu digantungkan kepada masyiah Allah, kehendak dan izinNya. Maka kita diharuskan mengiringi setiap janji, bahkan setiap rencana, dengan mengucapkan Insya Allah. Allah SWT berfirman, "Dan janganlah sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi. Kecuali (dengah menyebut) Insya Allah. ‘ Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kumu lupa dan katakanlah, ‘Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada yang ini." (QS. Al-Kahfi: 23 - 24).

Moralitas janji seperti ini menegaskan kepada kita, bahwa kita tidak akan bisa melakukan apa saja kecuali atas izin Allah. Mengucapkan Insya Allah mengajari kita tentang etika tahu diri seorang manusia yang tak mengerti akan takdir apa esok hari. Kenyataan ini memberi bobot lebih pada beratnya nilai sebuah janji.

Moralitas kedua dari sisi penuaiannya. Janji janji itu harus ditepati, dalam kadar ikhtiar manusiawi yang maksimal. Maka seorang Muslim menjadi mengerti bahwa janji adalah pertaruhan diri. Kesetiaan pada janji adalah kehidupan. Sebab dengan itu interaksi kita dengan sesama bisa berjalan. Dengan kepercayaan itu pula kesenjangan bisa dihindarkan, sebab hak-hak ditunaikan kepada yang memiliki. Dengan kepercayaan itu pula, etos prestasi, kehendak berkarya dan dorongan beramal serta keinginan kuat untuk memberi manfaat bagi kehidupan akan menemukan ledakan-ledakan aktualisasinya.

Begitulah dahulu para salafusshalih mengajarkan kepada kita. Maka bagi mereka, janji telah meningkat kadarnya dari soal kepercayaan menjadi kesetiaan. Pada saat kepercayaan telah mengkristal menjadi kesetiaan, maka kesiapan jiwa menanggung beban janji akan lebih kuat. Seperti seorang Muslim. Mengucapkan dua kalimat syahadat adalah janji keislarnannya. Menunaikan rukun Islam adalah pembuktian kepercayaannya. Tapi kesetiaanlah yang akan memberinya umur bagi pembuktian janji itu. Seperti yang dilakukan seorang sahabat terkenal, Abu UbaidahAmir ibnul Jarrah. Semenjak mengulurkan tangannya, berbaiat dan bersumpah setia kepada Rasulullah, ia sadar bahwa hidupnya akan dibaktikan sepenuhnya di jalan Allah. Ia telah mengikrarkan janji itu. Lalu ia membuktikan bahwa dirinya bisa dipercaya. Ia bekerja dengan tulus.

Setelah itu segalanya berubah menjadi kesetiaan abadi. Maka di Uhud yang mengerikan, Abu Ubaidah menjadi tameng Rasulullah. Ia mencabut mata rantai yang menempel di pipi Rasulullah dengan giginya. Gigi Abu Ubaidah pun ompong. Di momen itu pula ia bisa mendahului Abu Bakar, dalam soal berlomba bersegera kepada kebaikan. Abu Bakar mengisahkan, "Di waktu Perang Uhud berkecamuk dan Rasulullah terkena anak panah hingga dua buah rantai ketopong masuk ke kedua belah pipinya bagian atas, saya segera berlari mendapatkan Rasulullah. Kiranya ada seorang yang datang bagaikan terbang dari jurusan timur. Maka aku berkata, `YaAllah semoga itu merupakan pertolongan.’ Tatkala aku sampai kepada Rasulullah, kiranya orang itu adalah Abu Ubaidah yang telah mendahuluiku ke sana."

Kesetiaan itu telah menjadikan Abu Ubaidah sebagai kepercayaan Rasulullah. Suatu ketika datang utusan Najran dari Yaman yang menyatakan masuk Islam. Mereka lantas meminta kepada Rasulullah seorang guru untuk mengajar Al Quran di sana. Rasul pun berjanji, bahwa besok akan mengirim seorang yang syakhsiyah Islamiyahnya terpercaya. Kalimat itu sampai diulangnya tiga kali. Mendengar itu Umar amat tertarik dan berharap kata-kata itu akan menjadi miliknya. Tapi sehabis shalat Dzuhur berjamaah meski Umar telah berusaha mengulurkan badan agar kelihatan oleh Rasulullah, ternyata Abu Ubaidah yang terpilih. Itulah makna hadits Rasulullah, "Sesungguhnya setiap ummat mempunyai orang kepercayaan, dan sesungguhnya kepercayaan ummat ini adalah Abu Ubaidah Ibnul Jarrah."

Sepanjang hidupnya, Abu Ubaidah dengan setia menemani perjuangan Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar bin Khattab hingga wafatnya. Ketika terbetik bahwa Abu Ubaidah wafat, Umar menangis dan mengenang masa-masa perjuangan yang indah bcrsamanya. Bahkan kenangan itu tak hilang hingga saat Umar hendak menghembuskan nafas terakhirnya. Ia sempat berkata, "Seandainya Abu Ubaidah masih hidup, tentu ia di antara orang-orang yang akan aku angkat sebagai penggantiku. Dan jika Tuhanku menanyakan hal itu, niscaya akan aku jawab, ‘Aku angkat kepercayaan Allah dan kepercayaan Rasul-Nya. "’

Begitulah para salafusshalih meniti puncak tangga jati diri (syakhsiyah Islamiyah). Pada mulanya memang janji, lalu kepercayaan. Setelah itu kesetiaan abadi, sepanjang hayat masih dikandung badan.

Hanya ketika kemudian manusia menemukan cara-cara baru untuk berlaku licik, semakin pandai mencari-cari alasan, selalu mencari-cari model baru pengkhianatan, saat itulah janji-janji menjadi segunung sampah. Tak ada kepercayaan, apalagi kesetiaan. Orang tidak lagi mengenal janji yang memiliki ruh. Sebab janji telah dikotori di panggung politik, oleh para pembual yang menjual mimpi kepada rakyat. Janji telah dikotori di jagat kriminal, di belantara birokrasi yang buruk, di rumah-rumah yang kumuh moralnya, di pertemanan hubungan sosial yang penuh kenaifan lantaran perasaan enak ngga enak (sungkan), juga di jalan-jalan hidup yang brutal. Bahkan janji dalam ikatan perkawinan pun, kini sudah tak lagi punya makna. Janji pernikahan itu tak berisi kepercayaan, apalagi meningkat menjadi kesetiaan. Orang dengan mudah mengkhianatinya atas narna cinta. Padahal bukan cinta, tetapi hasrat hawa nafsu.

Di dalam lubuk keimanan, janji janji bagi seorang Mukmin adalah kontrak-kontrak spiritual dengan Tuhannya. Meski format aplikasinya bermacam bentuk. Janji itu adalah ketakwaan, yang menjadi penghantar bagi petunjuk jalan dan ampunan. Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan dan menghapuskan kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosamu). Dan Allah mempunyai karunia yang besar." (QS. Al-Anfal: 29)

Mengenai ayat ini Sayyid Qutb berkata dalam tatsirnya, "Inilah bekal itu. Bekal dalam mengarungi perjalanan yang panjang. Yaitu bekal takwa yang menghidupkan hati dan membangunkannya. Bekal cahaya yang memberi petunjuk bagi hati untuk membelah sudut-sudut jalan sepanjang penglihatan manusia. Cahaya ini tidak bisa ditipu oleh syubhat-syubhat yang mata biasa tidak bisa rnenembusnya. Itulah bekal ampunan bagi segala dosa. Bekal yang memberikan ketenteraman, kesejukan dan kemantapan. Dan bekal merenungi nikmat-nikmat Allah Yang Maha Agung di hari ketika bekal-bekal itu dibutuhkan dan di hari amal perbuatan manusia berkurang."

Maka, mulailah berjanji dengan benar, janji yang punya ruh kepercayaan, lalu hidup panjang dengan kesetiaan. Sebagai orang yang beriman. Sungguh, membangun kepercayaan bukan hal yang mudah, tapi akan lebih tidak mudah lagi ketika kita mencoba membangun kepercayaan di atas puing-puing runtuhan ketidak-percayaan dan ketidak-setiaan. Wallahu’alam.

Membangun karakter Anak


Persaingan tahun 2021! Itu yang menjadi beban banyak orang tua masa kini. Saat itu, anak-anak masa kini akan menghadapi persaingan dengan rekan-rekannya dari berbagai negara di dunia.

`’Tuntutan kualitas sumber daya manusia tahun 2021 membutuhkan good character,'’ kata Dr Ratna Megawangi dalam seminar setengah hari Membangun Karakter Anak Sejak Usia Dini, Seberapa Penting? di Jakarta, 3 Mei lalu.

Adalah orang-orang yang senang belajar, terampil menyelesaikan masalah, komunikator yang efektif, berani mengambil risiko, punya integritas -jujur, dapat dipercaya, dan dapat diandalkan–, dan penuh perhatian, toleransi, dan luwes yang bisa bersaing kelak. Itu adalah karakter yang bagus. Betapa tidak. Banyak orang yang pintar dan berpengetahuan.

`’Karakter adalah kunci keberhasilan individu,'’ tambah Ratna. Ia lantas mengutip sebuah hasil penelitian di AS bahwa 90 persen kasus pemecatan disebabkan oleh perilaku buruk seperti tidak bertanggung jawab, tidak jujur, dan hubungan interpersonal yang buruk. Didukung pula penelitian lain yang menunjukkan bahwa 80 persen keberhasilan seseorang di masyarakat ditentukan oleh emotional quotient.

Bagaimana mendidik karakter anak? Menurut Ratna Megawangi, menciptakan lingkungan yang kondusif. Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter jika dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter, sehingga fitrah setiap anak ang dilahirkan suci dapat berkembang secara optimal. Untuk itu, pendiri sekaligus direktur eksekutif Indonesia Heritage Foundation ini melihat peran keluarga, sekolah, dan komunitas amat menentukan.

Membentuk karakter
Membentuk karakter, kata Ratna Megawangi, merupakan proses yang berlangsung seumur hidup. Anak-anak, jelas ketua bagian Tumbuh Kembang Anak, Fakultas Ekologi Manusia, IPB, ini, akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter jika ia tumbuh pada lingkungan yang berkarakter pula. Dengan begitu, fitrah setiap anak yang dilahirkan suci bisa berkembang optimal. Untuk itu, ia melihat tiga pihak yang mempunyai peran penting. Yakni, keluarga, sekolah, dan komunitas.

Dalam pembentukan karakter, jelas Ratna, ada tiga hal yang berlangsung secara terintegrasi. Pertama, anak mengerti baik dan buruk, mengerti tindakan apa yang harus diambil, mampu memberikan prioritas hal-hal yang baik. Kemudian, mempunyai kecintaan terhadap kebajikan, dan membenci perbuatan buruk. Kecintaan ini merupakan obor atau semangat untuk berbuat kebajikan. Misalnya, anak tak mau berbohong. `’Karena tahu berbohong itu buruk, ia tidak mau melakukannya karena mencintai kebajikan,'’ kata Ratna, mencontohkan.

Ketiga, anak mampu melakukan kebajikan, dan terbiasa melakukannya. Lewat proses itu, Ratna menyebut sembilan pilar karakter yang penting ditanamkan pada anak. Ia memulainya dari cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya; tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; kejujuran; hormat dan santun; kasi sayang, kepedulian, dan kerja sama; percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati; toleransi, cinta damai, dan persatuan. Karakter baik ini harus dipelihara. Lalu, bagaimana menanamkan karakter pada anak? Mengutip hasil riset otak mutakhir, Ratna menyebut usia di bawah tujuh tahun merupakan masa terpenting. `’Salah didik memengaruhi saat ia dewasa,'’ katanya.

Mana yang disimpan?
Pendidikan karakter seharusnya dimulai saat anak masih balita. Praktisi pendidikan Edy Wiyono, pada acara yang sama, menggambarkan betapa balita masih kosong pengalaman. `’Jika ia melihat sesuatu langsung dimasukkan tanpa dipilih-pilih,'’ katanya. Itu bisa terjadi karena dalam benak balita belum ada ‘program’ penyaring.

Nah, materi yang pertama masuk pada otak anak akan berfungsi sebagai penyaring. Karena itu, Edy mengingatkan orang tua agar waspada. Sebab, jika terlambat mengisi pengalaman pada anaknya, maka bisa lebih dulu diisi pihak lain. ‘’Orang tua yang jarang berinteraksi dengan anak pada usia ini, berhati-hatilah,'’ katanya.

Anak tak hanya merekam materi yang masuk. Tapi juga yang lebih dipercaya, yang lebih menyenangkan, dan yang berlangsung terus-menerus. Saat anak sudah memasuki dunia sekolah, anak biasanya lebih percaya pada guru. Bila demikian adanya, Edy mengingatkan hal itu sebagai pertanda orang tua untuk mengevaluasi diri. `’Kita harus meningkatkan kemampuan kita untuk lebih dipercaya.'’

Bagi orang tua bekerja, Edy juga mengingatkan agar selalu menyediakan waktu bagi anak-anaknya. ‘’Hati-hati, agar jangan sampai tv menggantikan peran orang tua bagi sang anak,'’ ujarnya.

Bekerja maupun tidak, menurut Edy, orang tua harus berupaya menjadikan dirinya role model untuk membangun kepercayaan anak. Selain itu, mengupayakan komunikasi dengan anak secara menyenangkan, tidak hanya memerintah-merintah, mengkritik, dan membentak-bentak. ‘’Anak dirancang Tuhan tidak untuk dibentak-bentak,'’ ujar Edy,'’Karena sesungguhnya pendengaran anak itu amat tajam.'’

Untuk mendampingi sang anak yang tengah dalam pertumbuhan, praktisi multiple intelligences and holistic learning ini menyarankan para orang tua agar berupaya menjadi ‘konsultan pribadi’ mereka. Bagaimana caranya? Yang paling utama, Edy menyarankan kebiasaan yang dilakukan para orang tua. ‘’Stop menghakimi anak dan stop mengungkit-ungkit,'’ katanya. Ia juga mengingatkan agar tidak menggunakan amarah. Sebab, marah tidak pernah menyelesaikan masalah dengan baik. Tidak juga membanding-bandingkan anak.

Dalam berkomunikasi, orang tua hendaknya menjadi pendengar yang baik, tidak menyela pembicaraan, mengganti pernyataan dengan pertanyaan, berempati terhadap anak dan masalahnya, tidak berkomentar sebelum diminta. Kalaupun berkomentar, saran Edy, gunakan komentar yang menyenangkan. Yakni, misalnya, dengan metode ‘’rasa-rasa …'’, ‘’dulu pernah …'’.

Satu hal yang tak boleh dilupakan, kata Edy, orang tua jangan pernah membuat keputusan untuk anak. ‘’Biarkan anak yang memilih,'’ katanya. Dan, selama pertumbuhan anak, Edy menyarankan para orang tua untuk selalu membangun kedekatan dan biasakan berdialog. ‘’Agar anak terbiasa untuk meminta pertimbangan dan nasihat dari Anda.'’

Melewati Fase Kritis Anak

Ada enam fase kritis, menurut praktisi pendidikan Edy Wiyono, yang dilalui anak hingga menjadi dewasa. Orang tua dan guru hendaknya memahaminya sebagai suatu yang normal. ‘’Bahwa anak sudah pada fasenya,'’ kata narasumber Smart Parenting di Smart FM 95,9 ini. Edy memberi bantuan pada para orang tua untuk menandai dan menyikapi fase-fase pertumbuhan anaknya mulai dari balita, usia TK, usia SD, usia SMP, usia SMA, hingga usia kuliah. Satu hal yang penting tak boleh dilepaskan dalam masing-masing fase itu, Edy menyarankan, ‘’Gunakan pujian untuk perilaku, atau perubahan perilaku yang baik. Berikut lima dari enam fase yang disampaikannya beberapa waktu lalu:

Usia balita
Ciri-ciri: merasa selalu benar, memaksakan kehendak, tidak mau berbagi. Peran orang tua:
- Berikan kesempatan anak beberapa detik untuk berkuasa.
- Berikan kesempatan beberapa detik untuk memiliki secara penuh.
- Perkenalkan pada arti boleh dan tidak boleh dengan menggunakan ekspresi wajah.
- Konsisten dan jangan menggunakan kekerasan baik suara maupun fisik.

Usia TK
Ciri-ciri: konflik adaptatif, imitatif, berbagi, dan mau mengalah. Ketiga sifat terakhir ini karena anak ingin diterima dalam kelompok.
Peran orang tua:
- Beri kesempatan untuk memerhatikan, mencoba, dan bekerja sama.
- Perhatikan dan luruskan perilaku imitatif yang cenderung negatif.
- Dukunglah anak untuk bisa berbagi dan mengalah.

Usia SD
Ciri-ciri: anak ingin mendapat pengakuan diri. Karena itu, ciri-ciri utamanya punya pendapat berbeda, penampilan berbeda, gaya bicara berbeda, dan hobinya pun berbeda.
Peran orang tua:
- Menghargai pendapatnya dan jangan menyalahkan.
- Ajaklah dialog logika dan pengalaman.
- Pujilah hal-hal yang baik dari penampilannya, bantulah dengan kalimat positif untuk bisa tampil lebih baik lagi.
- Jangan langsung menyela gaya bicaranya, bangun ketertarikan dan bantulah dia untuk bisa lebih punya gaya bicara yang menarik.

Usia SMP
Ciri-ciri: anak memasuki persaingan. Karena itu anak mengalami konflik antarpersonal, konflik antarkelompok, dan konflik sosial.
Peran orang tua:
- Meningkatkan proses kedekatan dengan anak melalui dialog dan berbagai cara.
- Jadilah pendengar yang baik dan buka menjadi hakim.
- Jangan pernah menyela pembicaraan dan cerianya.
- Jangan beri komentar atau nasihat sebelum tiba waktunya.

Wallahu’alam.


Meningkatkan percaya diri

Dari data penelitian, ditemukan banyak faktor yang menjadikan kendala seseorang enggan untuk menjadi penyeru kebaikan. Antara lain, kurang percaya diri, kemudian disusul tidak adanya skill. Kalau kita runut, keduanya mempunyai korelasi yang sangat erat. Sebenarnya akar masalah orang yang tidak percaya diri terletak pada skill (keterampilan). Dan, skill utama bagi seorang penyeru kebaikan terletak pada kemampuan penguasaan materi, pemahaman terhadap nilai-nilai yang disampaikan, serta penguasaan skill penyampaian.

Untuk menumbuhkan ketiga hal tersebut perlu sebuah usaha pembiasaan. Dan untuk menjadikan hal itu sebagai sebuah kebiasaan dalam diri seseorang secara permanen, maka perlu ditanamkan beberapa faktor: Pertama, paham. Tanpa pemahaman yang utuh, orang tidak akan dapat bekerja dengan ikhlas, lemah produktiftas, dan tidak akan tahan lama. Kedua, memiliki skill. Orang yang tidak memilki skill biasanya akan bekerja dengan cemas dan minder. Ketiga, kemauan. Dengan kemauan, kita dapat beramal secara konsisten dalam rentang waktu yang lebih lama.


Ada beberapa kiat praktis untuk meningkatkan rasa percaya diri. Utamanya meliputi aspek kemauan, pemahaman serta keterampilan. Untuk memenuhi aspek kemauan, Anda perlu melakukan berbagai usaha. Antara lain:

1. Bekerjalah dengan Ikhlas. Yakinkan bahwa seluruh amalan baik akan mendapatkan pahala walau tidak enak untuk dikerjakan.

2. Kerjakan setiap aktifitas dengan penuh tanggung jawab, memiliki landasan nilai (vaIue) dan prinsip-prinsip yang kuat.

3. Milikilah kebiasaan menerima. Ini akan meningkatkan rasa memiliki.

4. Tingkatkan rasa tanggung jawab pribadi. Dengan itu, rasa tanggung jawab untuk menyelesaikan problem umat akan tumbuh.

5. Miliki kebiasaan mempertahankan hak. Dengan cara mendorong sikap percaya diri untuk membela hak-hak kita yang hilang.

6. Milikilah kebiasaan hidup dengan tujuan. Tanpa tujuan yang kuat tak akan ada target dan kurang termotivasi untuk melakukan aktifitas yang baik sekalipun.

7. Memiliki integritas diri. Kekuatan utama bagi penyeru kebaikan terletak pada kekuatan integritas, yaitu kesatuan antara ucapan, statement tertulis dan tindakan kita.

Sedangkan untuk aspek pemahaman dan keterampilan, barangkali beberapa langkah berikut bisa Anda usahakan:

1. Milikilah catatan/referensi materi dan agenda yang rapi.

2. Siapkan materi yang akan disampaikan. Naik panggung tanpa persiapan, maka turun panggung penuh dengan kehinaan.

3. Bacalah buku-buku referensi, ini sangat membantu meningkatkan pemahaman.

4. Milikilah hafalan yang baik. Orang berbicara mengandalkan apa yang diingat.

5. Ambillah selalu kesempatan untuk tampil dimuka umum kapan saja. Sebagai latihan melancarkan kemampuan bicara dan kontrol diri.

6. Ikutilah beberapa pelatihan, semisal pelatihan Training for Trainer, atau sejenis pelatihan untuk pelatih dan fasilitator yang membekali skill mengajar.

Dengan kecakapan dalam bidang pemahaman dan keterampilan, ditambah kemauan yang keras, insya Allah usaha perbaikan, mengajak manusia ke jalan yang diridhai Allah akan punya hasil dan rentang usia yang panjang.

wallahu’alam