Setiap manusia pasti memiliki penggalan-penggalan hidup dan masa lalu. Terlepas dari baik buruknya, indah maupun suramnya. Maka, mengenang sepotong kisah masa lalu itu, perlu. Dan biarkan. Jangan dicaci. Seburuk apapun, itu kenyataan dari perjalanan hidup kita, masa lalu kita. Biarlah. Kita tak perlu membuang rekaman siaran masa lalu kita. Sepahit apapun. Meski hal ini tidak berarti pula boleh mengumbar aib kita. Mari belajar buat diri kita sendiri secara dalam dan tajam. Biarlah orang lain tahu yang baik-baik saja tentang kita.
Jika kita mematut wajah kita di cermin setiap hari, tentu penampilan akan terjaga. Begitu juga bila kita menjadikan rekaman masa lalu sebagai cermin, maka kita akan menjaga perilaku kita. Semakin banyak rekaman yang selalu kita ingat, akan semakin akurat kita melangkah ke depan. Kita betul-betul belajar dari kesalahan. Belajar di laboratorium kehidupan. Senantiasa untuk menyempurnakan amal kita.
Masa lalu yang suram itu memang menyisakan luka. Tapi ia tak harus menjadi momok yang menghantui masa depan kita. Betapapun gelap suramnya, ia bukan bayang-bayang hitam yang membuat kita takut melangkah ke depan. Tapi bayang-bayang hitam yang semakin memperjelas mana jalan yang abu-abu dan mana jalan yang benar-benar putih bersinar.
Orang yang menarik ibrah (pelajaran) dari masa lalunya tidak akan menjadi traumatis. Sebab ia mengembalikan segala musibah sekecil apapun kepada Allah. Hingga hatinya kembali lapang, pikirannyapun menjadi jernih. Keberaniannyapun pulih sepenuhnya. Dan keberanianlah yang membuatnya bersemangat terus berusaha untuk lebih baik.
Kita harus berbesar hati dengan masa lalu kita. Wajar melihat kekalahan dan kesalahan kita. Dan seharusnya kita bersikap dewasa di hadapan masa lalu kita. Kita jajar semua rekaman masa lalu kita dengan susunan rapi di rak-rak pikiran dan kamar-kamar jiwa yang lapang. Setiap saat kita bisa membuka kembali rekaman itu untuk dipelajari.
Masa lalu adalah laboratorium kita, yang dengan tenaga dan berkepala dingin kita bisa mengolah untuk bahan baku amal kita di kemudian hari. Syaratnya, kita tidak boleh traumatis dan mau mengakui sepenuhnya sebagai bagian dari sejarah kehidupan kita. Jika kita mampu mengambil ibrah, maka masa lalu sesuram apapun dapat menjadi modal berharga bagi masa depan kita. Menjadi guru kita.
Dan, kita harus berani. Berani berubah menuju jalan yang paling benar. Memang mengawali itu sulit, kecuali bagi orang-orang yang sadar keadaannya. Kecuali bagi mereka yang siap meraih kemuliaan. Kecuali bagi orang yang mau berlari dari kesalahan. Kecuali bagi yang menginginkan kedewasaan mengaliri jiwanya.
Berani Hidup Harus Berani Dewasa
Menjadi anak-anak adalah fase hidup. Tetapi menjadi dewasa adalah keberanian. Maka berani dewasa bukan urusan usia -meski usia punya kontribusinya- tapi soal sikap. Berani dewasa adalah pilihan hidup yang tidak sederhana. Ini bukan semata soal bertambahnya usia. Tetapi berani dewasa adalah keputusan sikap, sudut pandang, pikiran, dan tindakan yang benar-benar didasarkan kepada kesadaran penuh. Kuncinya pada kematangan, kekuatan pijakan, tujuan akhir yang seterang matahari di puncak siang. Tentu ruh dasar dan fundamentalnya jelas-jelas iman.
Proses berani dewasa adalah situasi demi situasi yang kita bangun dari rangkaian sikap demi sikap. Yang kita pupuk dengan ketulusan demi ketulusan. Yang kita rajut dari tabungan demi tabungan hikmah dan renungan jiwa kita. Sayangnya, meski telah banyak makan asam garam hidup, ternyata banyak orang tua yang terlambat dewasa. Sementara orang-orang muda banyak yang tidak berani dewasa.
Berani dewasa adalah keputusan jiwa yang sangat tidak sederhana. Sebab ia seringkali berada dalam situasi lahiriyah yang sangat kontras. Kita kanak-kanak misalnya, tapi harus tumbuh dalam kemengertian yang maju. Kita miskin misalnya, tapi kita harus menuntun hati dan menekan kehendak-kehendak kemewahan yang tak sampai. Kita kaya misalnya, tapi harus mampu memerangi keangkuhan dan naluri semena-mena yang dipicu oleh kekayaan itu. Kita punya keterbatasan misalnya, tapi kita harus berjuang menggerakkan segala upaya agar kita menjadi sesuatu. Kita pintar dan bergelar misalnya, tapi harus sadar, arif dan terus meyakini bahwa di atas yang kita bisa masih ada yang lebih bisa. Begitulah kedewasaan mengairi takdir-takdir jalan hidup kita dengan kejelasan arah, kejernihan sudut pandang, tetapi dengan vitalitas yang terus menyala.
Berani hidup harus berani dewasa. Hidup ini memang tidak mudah, tetapi alangkah tidak mudahnya hidup tanpa keberanian menjadi dewasa. Fase demi fase adalah kepastian. Setiap usia punya jenjangnya, situasinya, sulit atau mudahnya. Tapi keberanian menjadi dewasa adalah keniscayaan yang dengannya kita lalui fase itu, kita kejar cita-cita akhir kita, di puncak pengharapan akan ridha Allah SWT.
Berani menjadi dewasa adalah suatu pilihan. Sesulit apapun situasinya, kita harus tetap dapat mengajak diri kita untuk meraih tahapan kedewasaan itu. Mencapai fase kedewasaan ini amat bermakna. Maka semestinya kita berani menggapai fase kedewasaan itu yang tidak dinilai dari faktor usia semata, namun kemampuan kita untuk mengkaji segala sesuatu dari kacamata yang semestinya. Kacamata manusia yang berusaha mencapai kematangan pola pikir dan rasa.
Seorang anak tidaklah mesti menjadi kanak-kanak. Ini bukanlah melulu dari faktor biologis semata, tapi justru dari segi pemikirannya. Ada kalanya dalam usia yang masih muda seseorang begitu berani mengambil tanggungjawab. Keberaniannya karena sebuah kesadaran bahwa tanpa keberanian menjadi dewasa, hidup akan menjadi kerdil, penuh beban, kesulitan, dan penderitaan.
Kedewasaan artinya kemampuan kita untuk menentukan hidup sendiri, mampu beradaptasi dengan lingkungan, dan mampu bertanggungjawab. Kematangan tidak mungkin hadir dengan instan. Kedewasaan adalah puncak dari kekuatan hidup yang harus kita miliki untuk memberi makna dan arti bagi perjalanan hidup kita. Jiwa ini perlu tantangan dan perlu juga benturan, maka muncullah upaya keras, mujahadah. Dari mujahadah akan muncul kualitas iman.
Kematangan berpikir dan kedewasaan dalam bersikap adalah hasil dari sebuah usaha yang kita lakukan terus menerus tanpa henti, dengan memanfaatkan kesempatan yang ada. Sebab kedewasaan itu tidak muncul dari satu pintu, dan tidak mesti lahir seiring dengan bertambahnya usia. Tapi dari kesadaran penuh menjadi manusia secara benar sesuai dengan fungsi-fungsi sejatinya.
Menjadi seorang ibu atau bapak dewasa yang benar misalnya, ini perlu kesadaran penuh dan pemahaman yang benar tentangnya. Tapi sekarang, banyak wanita disebut ibu hanya karena ia melahirkan anak, bukan semata-mata karena kepatutan menjadi seorang ibu. Begitu pula, banyak laki-laki disebut bapak hanya karena istrinya melahirkan, bukan semata-mata karena kelayakannya menjadi seorang bapak. Maka menjadi ibu dan bapak dengan dewasa adalah pilihan. Sedangkan mendapat ‘gelar kehormatan’ sebagai ibu dan bapak karena sekedar punya anak adalah kepastian yang otomatis. Siapapun bisa.
Mau Tidak Mau Kita Harus Berani Dewasa. Tapi, betapa banyak laki-laki pengecut dan wanita pengecut; kerdil jiwanya tidak dewasa. Laki-laki pengecut; mereka hanya berani menikmati kedekatan dengan wanita namun tak siap mengambil tanggungjawab pernikahan. Dan, wanita-wanita pengecut; mereka hanya berani berteman dengan laki-laki namun tidak siap untuk dinikahi. Pengecut dan kerdil jiwanya.
Ketahuilah, ada sebuah karakter tunggal yang mempesona; bahwa orang-orang yang sekarang kita kenal sebagai orang besar, mereka selalu dewasa sejak belia. Merekalah orang-orang yang berhasil memilih jalan hidupnya secara tepat di usia mudanya.
Mari bertanya, di wilayah mana kita sekarang hidup? Jalan apa yang sedang kita tapaki ini? Mengikuti petunjuk siapa hidup yang sedang kita jalani ini? Mari renungi, semoga menjadi jalan pembuka menggapai kedewasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar