Manusia selalu berharap masa depan sebagai masa yang lebih baik; teknologi yang lebih maju, kehidupan yang lebih nyaman dan lebih memudahkan. Demikianlah yang terjadi hingga saat ini. Tahun demi tahun, manusia mengembangkan teknologi dengan izin Allah sehingga hidup manusia lebih nyaman dan mudah.
Setelah ribuan tahun menunggang kuda, saat ini manusia mengendarai kendaraan yang lebih cepat. Telepon genggam yang dulu cuma ada di novel atau film fiksi ilmiah kini sudah mewabah sampai kalangan masyarakat bawah. Informasi yang dulu harus tersimpan dalam tulisan di atas kertas kini mudah tersebar lewat jaringan informasi.
Secara lahir, manusia menemukan kenyamanan, kemudahan, dan kebaikan dari zaman yang terus maju. Namun hakikatnya tidak demikian. Satu hari dilalui, satu hari pula jatah kelangsungan dunia ini berkurang. Satu hari dilalui, semakin dekatlah akhir dunia. Satu zaman berlalu, zaman berikutnya adalah lebih buruk dari yang lalu.
Zaman yang Semakin Buruk
Zaid bin Wahab mendengar Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah datang kepada kalian suatu hari (zaman) kecuali ia lebih buruk dari hari (zaman) sebelumnya (dan hal ini akan berlangsung terus) sampai datang hari kiamat kelak.”
Zubair bin Adi menceritakan bahwa ia dan teman-temannya datang menemui Anas bin Malik serta mengadu tentang sikap Al-Hajjaj. Maka Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Tidak datang suatu zaman melainkan orang-orang yang sesudahnya lebih jelek dari sebelumnya hingga kalian menemui Rabb kalian. Dan aku dengar hal ini dari Nabi kalian.”(Riwayat Ahmad, Al-Bukhari, dan At-Tirmidzi)
Pernyataan dua sahabat ini bisa membuat bingung orang zaman sekarang. Apakah Ibnu Mas’ud dan Anas bin Malik berkata demikian karena mereka tidak merasakan kemudahan zaman modern? Apakah karena mereka tidak merasakan zaman Umar bin Abdul Aziz yang lebih makmur dan aman? Tentu bukan karena hal itu.
Ibnu Mas’ud sendiri meneruskan ucapannya tentang zaman di atas, “Saya tidak mengatakan bahwa zaman yang telah lewat itu menggambarkan kesejahteraan hidup dan banyaknya harta yang dirasakan oleh orang-orang yang hidup pada zaman itu. Yang saya maksudkan adalah bahwa tidaklah datang kepada kalian suatu hari (zaman) kecuali hari (zaman) itu lebih sedikit ulamanya dibanding hari (zaman) sebelumnya. Ketika para ulama telah pergi meninggalkan kita, maka manusia semuanya menjadi sama kemampuannya. Mereka pun tidak lagi memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar, maka pada saat itulah mereka binasa.”
Ibnu Hajar menerangkan pernyataan Anas bin Malik dalam Fathul Bari, “Sebagian ulama menanggapi bahwa zaman dalam pernyataan beliau adalah generasi. Artinya, ada suatu generasi yang lebih baik dari generasi lain. Dalam hal ini, zaman Al-Hajjaj adalah zaman saat masih banyak sahabat (Nabi) yang masih hidup, sedangkan zaman Umar bin Abdul Aziz adalah zaman saat para sahabat (Nabi) sudah tiada. Dan zaman ketika para sahabat masih hidup adalah lebih baik daripada zaman sesudahnya berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dikemukakan sebelumnya, ‘Sebaik-baik generasi adalah generasiku…’ (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim).”
Riwayat dari Masruq menegaskan penafsiran tentang buruknya zaman dengan ketiadaan ulama. Ibnu Hajar mengatakan, “Dan dari jalan Asy-Sya’bi, dari Masruq, bahwa beliau berkata, “Tidaklah datang kepada kalian suatu zaman kecuali ia lebih jelek dari zaman sebelumnya. Saya tidak mengatakan bahwa seorang pemimpin yang memimpin pada zaman yang telah lewat lebih baik dari seorang pemimpin sesudahnya dan tidak mengatakan suatu tahun lebih baik dari tahun yang lain, akan tetapi yang saya maksudkan adalah para ulama dan fuqaha’ kalian pergi meninggalkan kalian (wafat) dan kalian pun tidak mendapatkan pengganti mereka lagi, kemudian datang suatu kaum yang mengeluarkan fatwa menurut pendapat mereka sendiri.”
Bukan Teknologinya
Zaman memang terus maju dan semakin ‘baik’ dalam hal teknologi. Beberapa negara terus maju dan semakin ‘baik’ dalam hal ekonomi. Hal ini membuat sebagian kita keliru dalam memandang kebaikan, terutama yang menyangkut umat Islam.
Sebagian kalangan umat Islam lalu menyangka bahwa kebaikan umat ini adalah jika umat ini juga maju dalam hal teknologi dan ekonomi. Lalu, dihasunglah umat ini untuk menyelami ilmu-ilmu dunia dengan memberikan porsi kecil perhatian terhadap agama. Akibatnya, dunia begitu diperhatikan, agama dilalaikan. Ironisnya, sebagian dai juga menyerukan kepada umat untuk memberi perhatian yang demikian besar terhadap ilmu dunia.
Terbukanya dunia bagi umat malah sudah pernah dicemaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kenyataannya, kecemasan itu pun mempunyai bukti. Saat umat bergelimang dengan kejayaan, kelalaian terhadap akhirat mengancam.Saat umat membuka diri kepada ilmu dunia, racun-racun pemikiran menyusup ke jalan kebenaran. Contoh nyata adalah ketika umat ini mulai belajar filsafat Yunani, maka mulai bermunculanlah pemikiran-pemikiran sesat yang menggerogoti umat ini.
Dunia memang jangan dilupakan. Tapi, tidak juga kemudian diprioritaskan. Lebih keliru lagi jika kemudian dunia jadi pengukur kebaikan umat ini. Memang ‘good looking’ jika bisa maju dalam teknologi, namun baik bukanlah hanya dalam tampilan yang kelihatan oleh umat-umat yang lain.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda yang artinya, “Sebaik-baik manusia adalah manusia pada generasiku, kemudian yang sesudahnya, kemudian yang sesudahnya.” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim). Jelas, sebaik-baik umat adalah para sahabat. Mereka pulalah yang Allah izinkan untuk meluaskan Islam di penjuru dunia, membuka negeri-negeri, mengusir kegelapan kekufuran dan mendatangkan cahaya kebenaran. Mereka pulalah yang Allah izinkan untuk menaklukkan Rum dan Persia. Mereka yang sederhana, berasal dari pelosok gurun, mengalahkan Rum dan Persia yang berteknologi tinggi. Teknologi mereka tak maju tapi kebaikan agama merekalah yang menjadi modal bagi datangnya pertolongan Allah.
Akhir Dunia
Buruknya zaman yang datang kemudian karena semakin berkurangnya ahli agama adalah suatu kepastian.akan sedikit dan kebodohan terhadap agama merajalela. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Sesungguhnya menjelang datangnya hari kiamat, akan ada hari-hari (yang pada hari itu) diturunkannya kejahilan dan dihilangkannya ilmu agama.” (Riwayat Al-Bukhari) Berangsur-angsur orang yang ahli agama
Hilangnya ilmu ini adalah dengan wafatnya para ulama sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa, “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu agama dengan serta merta dari hamba-hambaNya, tetapi Dia mencabut ilmu dengan mematikan para ulama.” (Riwayat Al-Bukhari) sallam
Keburukan masa depan ini akan terus berlangsung dan bertambah hingga orang-orang tak lagi mengerti tentang syariat. Mereka tak mengetahui salat, zakat, puasa, ataupun syariat lainnya.
Rasulullah menceritakan peristiwa masa depan ini, “Akan hancur Islam ini seperti hancurnya kain yang telah usang, sehingga tidak diketahui orang lagi apa itu puasa, apa itu shalat, apa itu ibadah haji, dan apa itu zakat. Dan diterbangkanlah Kitab Allah pada suatu malam, sehingga tidak ada lagi yang tinggal di bumi satu ayat pun, dan tinggallah beberapa golongan laki-laki dan wanita yang telah berusia lanjut dan lemah, yang berkata, ‘Kami mendapati bapak-bapak kami dahulu mengucapkan kalimat ini: "La ilaha illallah, maka kami mengucapkan kalimat tersebut’.” (Riwayat Ibnu Majah, Al-Albani menshahihkan dalam Shahih Jamiush Shaghir)
Pesimis atau putus asa tentulah bukan yang diharapkan dari kebenaran cerita masa depan ini. Penghormatan terhadap ilmu agama dan keadilan kita dalam bersikap terhadapnya itulah diinginkan. Kebersamaan dengan para ulama adalah hal yang penting agar kita tetap merasakan kebaikan dalam masa-masa yang semakin buruk. Toh, para ulamalah yang dimaksudkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang menegakkan kebenaran. Tidak membahayakan mereka orang yang mencela mereka. Hingga datanglah urusan Allah (angin yang mencabut nyawa kaum muslim sebelum kiamat).”
Kalaulah Allah menetapkan zaman semakin buruk karena semakin sedikitnya orang yang paham agama, maka tak ada pilihan lain bagi kita kecuali bergabung dengan yang sedikit itu.
Masih ada kejayaan Islam sebelum akhir dunia nanti sebagaimana dijanjikan Allah. Dan itu semua dimulai dari kembalinya kita kepada agama. Kembali memprioritaskan ilmu agama, mengamalkannya, dan mendakwahkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar