Kamis, 08 Januari 2009

Konflik Lewat Hubungan Hangat

Konflik dan permasalahan dalam berumah tangga antara suami dan istri adalah hal yang wajar terjadi. Tak sekadar perang urat syaraf, “piring terbang” dan aksi kekerasan fisik kadang turut mewarnai konflik. Tak jarang konflik suami istri berakhir dengan perceraian.

Yang membuat kita miris, ternyata banyak dari pasangan yang memilih tidak melanjutkan kehidupan rumah tangga mereka, begitu saja! Tanpa alasan jelas lagi syari. Alasan yang paling sering mengemuka adalah faktor ekonomi, soal anak, orang ketiga, serta adanya ketidakcocokan lagi.


Klimaks konflik akhirnya sad ending. Alih- alih konflik selesai, yang terjadi malah sebaliknya. Karena ada ketidakpuasan di salah satu pihak, jalur hukum pun ditempuh. Dari soal rebutan harta hingga anak. Jadilah konflik makin seru! Kalau sudah begini, salah siapa? Jangan sampai ini terjadi pada Anda.

Menikah Adalah…

Setiap orang yang menikah tentu menginginkan keluarga yang dibangunnya menjadi keluarga penuh sakinah, mawaddah wa rahmah, yang di dalamnya dibangun komitmen menyatukan segenap jiwa raga, menerima kekurangan dan kelebihan pasangan, dan untuk seterusnya mengaktualisasikan diri dalam peran dan tanggung jawab masing-masing sesuai kodrat. Firman Allah,

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.( At-Taubat: 71)

Pahamilah, menikah adalah mengumpulkan dua jiwa dengan karakter berbeda, menyatukan ketidaksamaan, beserta kelebihan dan kekurangan, menyatukan visi, misi, harapan, cita-cita serta komitmen dalam kesakralan ijab qabul. Subhanallah, satu wadah ikatan yang agung.

Jika Anda sadari sepenuhnya makna dan arti pernikahan, maka saat kita berbeda dengan pasangan, itu bukan lagi hal yang mengejutkan. Pernikahan memang harus dimatangkan dalam niat. Namun niat saja tak cukup. Pernikahan butuh kesiapan mental, tanggung jawab, ilmu, wawasan juga kedewasaan.

Cari Sumber Masalah dan Selesaikan Segera

Berkonflik dengan pasangan adalah hal yang tak diinginkan oleh semua orang. Namun jika tetap terjadi? Langkah pertama adalah cari sebab sumber masalah. Anda atau pasangan Andakah penyebabnya?

Mendeteksi sumber masalah menjadi hal penting, sebab dengan begitu Anda berdua bisa mencari solusi tepat dan terbaik bagi penyelesaiannya.

Terkadang hal remeh yang luput dari perhatian, bisa menyulut konflik. Seorang teman pernah bercerita, gara-gara bau jempol kaki, dia dan suami ribut! Pasalnya si teman ini merasa terganggu bau jempol suami. Saat ditegur -suami yang lagi ngantuk berat- malah marah. Jadilah adu mulut, yang berakhir perang dingin. Akhirnya si teman mengalah meminta maaf ke suami. Karena ia merasa memulai, meski sebenarnya maksudnya baik, meminta supaya suami cuci kaki. Hanya saja timing-nya tidak tepat. Akhirnya konflik berakhir manis, mereka saling meminta maaf.

Open Talk, Dari Hati ke Hati

Jika marah pasangan Anda telah mereda, ajaklah ia bicara, duduklah berdua. Carilah tempat se-enjoy mungkin untuk Anda dan pasangan. Lakukan open talk, bicara terbuka dari hati ke hati. Bicaralah setepat dan sehati- hati mungkin agar tak kembali memancing konflik. Tanyakanlah harapan dan keinginannya, kenapa ia marah, kenapa begini, kenapa begitu. Lakukanlah dengan sabar dan lembut.

Jangan Libatkan Hati Terlalu Banyak

Saat Anda open talk, jangan libatkan hati terlalu banyak. Sebab yang muncul hanyalah pembenaran diri dan egoisme individu yang tinggi. Apalagi dalam keadaan marah. Pergunakan logika sehat dan kedewasaan saat berbicara. Berilah kesempatan pada masing- masing pihak untuk mengeluarkan uneg-uneg. Jangan saling menyalahkan, apalagi menjatuhkan pasangan. Jangan bertindak emosional, karena Anda tak akan memperoleh apa pun selain menguras energi diri. Jangan terprovokasi suasana atau omongan orang lain yang merugikan.

Intropeksi Diri dan Mengalah

Dari hasil pembicaraan dan ungkapan perasaan pasangan, Anda bisa menjadi lebih mengerti dan mengenal siapa dirinya, pribadinya, juga keinginannya. Dan saat itu pula Anda dan pasangan memiliki kesempatan untuk saling intropeksi diri. Memberi perhatian lebih itu membuat berharga untuk Anda berdua, sehingga masing- masing pihak akan berusaha saling berlapang dada terhadap kekurangan pasangannya. Allah berfirman :

Janganlah kalian lupakan keutamaan di antara kamu…”. (Al- Baqarah: 237)

Menjadikan konflik bukan ajang tunjuk kesalahan, tapi menjadikannya jalan menuju arah lebih baik untuk hubungan selanjutnya.

“Dan perdamaian itu lebih baik…. (An- Nisa: 128)

Saling Percaya dan Maksimalkan Fungsi

Positive thinking (husnudzdzon) adalah bagian dari kepercayaan pada pasangan. Lakukanlah itu, karena itu akan menjadi semangat tersendiri buat Anda berdua untuk bisa saling memberikan yang terbaik. Baik dalam keseharian, saat senang ataupun di saat- saat sulit dalam menghadapi konflik.

Maksimalkan fungsi arti diri Anda berdua sebagai suami istri. Penuhilah hak dan kewajiban masing- masing. Tempatkan posisi Anda sebaik mungkin. Saat berkonflik, wanita lebih banyak memakai rasa, sentimental, juga emosional yang tinggi hingga terkadang meledak- ledak. Sebagai suami, tak ada salahnya bersabar selama kemarahan istri dalam batas yang masih bisa ditolerir, hindari kekerasan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

Yang terbaik di antaramu adalah yang terbaik perlakuannya terhadap istrinya,dan aku adalah yang terbaik perlakuannya terhadap istri.” (Riwayat At-Tirmidzi)

Pun sebagai istri saat marah, cobalah untuk sejenak mengalahkan rasa ego. Mengalah bukan berarti kalah.

Demi keharmonisan dan penyelesaian konflik, teruslah berusaha dengan berbagai cara, baik dengan komunikasi ataupun menunaikan kewajiban dengan penuh keikhlasan. Semaksimal mungkin, cobalah untuk menyelesaikannya berdua, karena Anda berdua lebih tahu masalahnya. Terimalah bantuan orang lain atau yang Anda berdua percayai, bila perlu, untuk membantu penyelesaian konflik. Mintalah pendapat, saran, juga masukan positif. Anda bisa meminta tolong pada keluarga dekat, teman, sahabat atau pada seorang ahli untuk berkonsultasi.

Saling Memaafkan

Jika konflik telah mereda, mintalah maaf pada pasangan. Memang memaafkan tidak selalu mudah, tetapi banyak kebaikan yang dapat dituai bila kita mau memaafkan. Sebagai mana dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, memaafkan atau meminta maaf memiliki banyak kebaikan.

Memaafkan merupakan sikap para penghuni surga. Sebagaimana firman Allah :

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang- orang yang bertakwa. (Yaitu) orang- orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit dan orang- orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang. Allah menyukai orang- orang yang berbuat kebajikan.”(Ali Imran:133- 134)

Jadi tak ada ruginya memaafkan orang lain. Apalagi orang lain itu adalah belahan jiwa Anda! Ingatlah saat-saat indah Anda, saat menjemputnya ke pelaminan, saat-saat mesra bersamanya, kebaikannya, juga bakti dan kasih sayangnya. Semoga itu mampu melumerkan ketegangan yang tengah terjadi, melembutkan kemarahan di dada.

Buktikan Anda Berdua Adalah Tim yang Kompak

Perkawinan laksana mengarungi samudera luas, penuh gelombang dan badai. Bila mengarunginya dengan kapal yang dilengkapi peralatan lengkap juga kompas, insyaallah kita akan selamat tiba di pantai bahagia.

Konflik dan permasalahan timbul saat suami istri tak lagi memiliki visi dan misi yang sama. Untuk menyamakan dua hal tersebut, butuh proses dan waktu, juga kesabaran dan kebesaran jiwa, kedewasaan dan usaha yang teguh dan maksimal. Apa pun usaha yang kita lakukan sepanjang memiliki niat ikhlas, tidak akan disia- siakan oleh Allah .

Buktikan Anda adalah tim yang kompak. Konflik lewat, hubungan semakin hangat! Jangan pernah ada kata berpisah. Insyaallah. Wallahu a’lam.

(Ummu Nabhan)

Bila Suami Tak Mau Berbagi

Betapa resah hati seorang istri, ketika melihat suaminya tiba-tiba bermuram hati, kehilangan semangat, dan uring-uringan. Ketika ditanya, "ada apa", tak ada penjelasan yang keluar dari lisannya. Sungguh membingungkan.

HADAPI DENGAN TENANG

Jika kebetulan Anda memiliki suami yang berkepribadian introvert atau tertutup, mungkin Anda akan sering mengalami hal seperti di atas. Resah, karena melihat suami gundah, dan Anda tak tahu penyebabnya. Untuk menghadapi suami dalam kondisi seperti itu, hal utama yang harus Anda miliki adalah ketenangan. Meskipun dalam hati Anda ikut resah dan bingung, namun tetaplah berusaha untuk bersikap tenang di hadapan suami. Hadapi dia dengan muka yang cerah, serta tutur kata yang santun dan lemah lembut. Hal itu akan membuatnya lebih nyaman. Bila ia melihat Anda tampak bersungut-sungut dan malah sewot, tentu hal itu akan menambah kegusarannya, dan berpengaruh buruk terhadap emosinya.


Kalau Anda sudah mengetahui dia bertipe introvert, maka jangan terburu-buru untuk menanyakan apa masalahnya. Dalam keadaan suntuk, dia lebih suka memendam sendiri masalah yang dihadapinya. Sebaiknya, Anda berusaha menghiburnya dengan berusaha menciptakan suasana riang dan nyaman di rumah. Misalnya dengan mengajak suami dan anak-anak minum teh hangat bersama-sama, sambil menikmati camilan kesukaan mereka. Dalam kesempatan tersebut, Anda bisa bercerita masalah-masalah ringan sehari-hari, misalnya tentang perkembangan si kecil atau kelucuan dan kepintarannya pada hari itu. Setidaknya, Anda bisa membuatnya rileks sejenak untuk melupakan masalahnya.

PANCING PEMBICARAAN

Bila kadar kegelisahan suami mulai menurun, Anda pun bisa mulai mengajaknya bicara dari hati ke hati. Tapi, akan lebih baik, jika Anda tidak menanyakan masalahnya secara langsung. Anda bisa memancing pembicaraan menuju ke arah yang Anda kehendaki, namun usahakan jangan sampai menyinggung perasaannya.
Carilah waktu yang tepat untuk hal itu. Misalnya, di saat istirahat, tawarkan padanya untuk Anda pijat badannya. Sambil memijat, coba tanyakan kesehatannya, misalnya, "Pusing ya Mas? Sepertinya Mas lagi nggak sehat hari ini."
Pertanyaan seperti di atas, bisa memancing suami menceritakan masalah yang dihadapinya. Misalnya suami akan menjawab, "Iya nih pusing. Lagi ada masalah di kantor." Nah, jika suami menjawab demikian, Anda bisa melanjutkan dengan pertanyaan, "Memangnya ada masalah apa di kantor?" Dalam kesempatan itu, mungkin suami akan mau menjelaskan masalahnya. Namun, jika ia belum mau menjelaskannya, maka sebaiknya Anda bersabar. Tak perlu memaksanya, jika ia memang masih ingin menyimpannya sendiri.

BERBAGI: BUKAN MEMBEBANI, TAPI MENGHARGAI

Dalam hidup berumah tangga, sangat perlu dibangun hubungan keakraban antara suami istri. Rumah tangga akan lebih harmonis, bila di antara suami istri bisa menempatkan diri sebagai kekasih sekaligus sahabat bagi pasangannya.
Nah, untuk membangun hubungan keakraban itu, sering-seringlah mengobrol dengan suami, mulai dari hal-hal yang ringan hingga masalah serius. Jika suami enggan memulai, maka istri harus berusaha memulai pembicaraan.
Sekali waktu, ajaklah suami berduaan untuk berbicara dari hati ke hati. Jelaskan padanya tentang pentingnya keterbukaan dalam rumah tangga. Yakinkan dia, bahwa Anda sangat mencintainya, dan ingin melihatnya bahagia. Yakinkan juga, bahwa Anda siap menjadi sahabatnya, untuk berbagi dalam suka dan duka. Anda pun siap menjadi pendengar yang baik untuk setiap keluh kesahnya.
Jelaskan juga pada suami, bahwa berbagi keresahan dengan pasangan bukanlah suatu hal yang membebani. Akan tetapi, seorang istri justru akan merasa lebih dihargai, bila suaminya mau berbagi tentang masalah yang dihadapinya. Keuntungan bila suami mau berbagi di antaranya: suami akan berkurang bebannya, istri merasa lebih dihargai, dan mungkin juga istri bisa menyarankan solusi atau nasihat yang baik untuk menyikapi masalah tersebut.

RASULULLAH shallallahu ‘alaihi wa sallam PUN BERBAGI

Wahai para suami, apa yang menghalangimu untuk berbagi dengan istrimu? Ingatlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, contoh terbaik untuk umat ini. Beliau pun suka berbagi dengan istrinya, bila menghadapi masalah.
Dahulu ketika mendapatkan wahyu pertama kali, beliau merasa sangat resah dan gundah, dan beliau pun menceritakan masalahnya pada istri tercinta (Khadijah radhiyallahu 'anha). Akhirnya sang istri pun berhasil menghibur dan menenangkannya.
Demikian pula ketika para sahabatnya kecewa dengan keputusannya dalam perjanjian Hudaibiyah, ia pun berbagi dengan istrinya, yang akhirnya menyarankan agar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar sambil menyembelih kurban dan mencukur rambutnya, hingga para sahabat pun mengikutinya.
Jika demikian, yakinlah hai para suami, memang tak ada salahnya jika engkau mau berbagi dengan belahan jiwamu....

JANGAN BIARKAN KEKERASAN MENGHANCURKANMU!


Bila kita membuka sejenak lembaran sejarah kehidupan manusia, banyak peristiwa besar yang terjadi baik itu positif atau negatif, yang melibatkan tangan-tangan generasi muda. Allah l menggambarkan masa muda sebagai masa kuat di antara dua masa yang lemah, sebagaimana firman-Nya,

“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Ar-Ruum: 54)


Para generasi muda banyak yang membuktikan, pada masa mereka kegiatan yang mereka lakukan mampu mengubah wajah dunia, baik itu ke arah positif atau negatif. Sebagai contoh, kemerdekaan Republik Indonesia dimotori oleh generasi muda. Begitu juga era reformasi.

REMAJA DAN KARAKTERNYA
Membicarakan sosok remaja adalah obyek yang tidak pernah basi. Sosok mereka selalu dimulai dengan gejolak baik fisik ataupun mental. Jiwa mereka penuh petualangan. Mereka seolah memiliki dunia tersendiri. Pada umumnya jiwa remaja selalu menjadi climber, manusia yang selalu dipenuhi semangat untuk menjadi yang terdepan dalam banyak hal. Bahkan banyak dari remaja mencari tantangan-tantangan baru tanpa peduli bahaya dan risiko-risiko yang dihadapinya.

Heroisme di dada mereka membuat remaja siap menghadapi tantangan apa pun yang menghadang. Proses pendewasaan mereka pun berkelok tajam, tak semulus jalan tol, bahkan kadang mereka tak peduli pada keselamatan diri hingga terperosok dalam jurang kegelapan.

Jiwa muda yang penuh gejolak inilah yang kadang menyeret remaja pada hal-hal yang tak seharusnya, apalagi jika mereka tak memiliki filter dalam memilih pergaulan. Sebagian dari mereka kadang terjebak dalam “dunia lain” yang menawarkan kebebasan bertindak.

Remaja-remaja dalam sekejap berubah menjadi “preman-preman” yang sarat kekerasan dan kebrutalan sebagai aktualisasi diri dan pengakuan terhadap eksistensi mereka, baik itu secara pribadi atau berkelompok seperti yang banyak kita saksikan dan dengar akhir-akhir ini. Remaja terlibat genk motor yang brutal, ataupun remaja putri yang terlibat genk brutal dengan menganiaya remaja putri lain yang dianggap melebihi dan menyaingi mereka. Adakah yang salah dengan mereka?

ANAKKU, KEMANA KAU HEMPAS KELEMBUTANMU?
Sebenarnya tak ada yang salah dengan remaja dan dunianya, selama semuanya masih berada dalam koridor dan nilai-nilai positif. Baik itu menyangkut sikap ataupun pergaulan mereka. Tak ada salahnya jika kita mendapati remaja hidup bergaul dalam satu komunitas tertentu selama komunitas itu mengarah pada hal-hal positif. Namun jika pergaulan dan komunitas tersebut mengarahkan remaja pada hal-hal yang bersifat negatif dan merusak, inilah yang salah.

Tak ayal hal ini mau tak mau layak kita cermati. Mengapa ada dari remaja memilih pergaulan yang negatif penuh kekerasan seperti yang ramai diberitakan akhir-akhir ini, meski mereka tahu risikonya tak ringan. Yang menyedihkan, seiring waktu fenomena kekerasan yang melibat remaja kian marak. Media seolah menjadi iklan gratis bagi ”sosialisasi” kekerasan, hingga bukan mustahil remaja-remaja lain menirunya. Makin perih hati kita, juga kita dibuat ternganga, kekerasan remaja ini juga melibatkan remaja putri, sosok yang seharusnya penuh kelembutan.

Kondisi global dunia telah memberikan pengaruh signifikan bagi remaja yang notabene labil. Belum lagi serbuan budaya dan idiologi akan melahap habis remaja yang tidak siap dan tidak memiliki filter yang kuat untuk menghadapinya. Hingga pada akhirnya sebagian remaja terjebak dalam pergaulan bebas tanpa aturan yang pasti, serta menyeret mereka berkenalan dengan kekerasan dan sejenisnya.

Akankan kondisi ini akan kita biarkan berlarut-larut membelenggu anak-anak kita yang seharusnya menjadi harapan di masa depan? Haruskan kita biarkan masa remaja mereka sia-sia? Haruskah kekerasan merenggut kelembutan dalam jiwa-jiwa remaja kita? Sementara dalam satu haditsnya Rasulullah bersabda, ”Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan menyukai kelembutan dalam segala urusan.” (Bukhari Muslim)

BAGAIMANA ISLAM MENYIKAPI FENOMENA INI DAN SOLUSI
Adanya fenomena kekerasan ini, Islam menyikapi dengan aktif dan bijaksana. Sesungguhnya hal ini tidak perlu terjadi jika para remaja-remaja ini tidak terputus dari tali Islam serta perubahan mendasar, tujuan dan polagaya hidup keluarga yang seharusnya bisa menjadi tempat anak-anak bernaung. Dan merupakan hal penting yang harus segera dilakukan yaitu usaha untuk mengembalikan fungsi keluarga Islam sesungguhnya. Kemudian baru dipecahkan dan diurai satu persatu permasalahan ini menurut kacamatan Islam, karena dalam tubuh para remaja juga masyarakat.

Gencarnya serangan ghazwul fikri yang dilakukan musuh-musuh Islam ikut mempercepat semakin menurunnya kwalitas kepribadian dan akhlak para remaja. Perubahan tata nilai dalam masyarakat makin menyuburkan kerusakan moral remaja. Keteladanan dalam keluarga hilang sekolah yang dihaharapkan mampu mewakili pendidikan generasi tak bisa berbuat banyak. Kesalahan fatal sebagai sumber utama kerusakan moral termasuk kekerasan remaja adalah berawal dari keluarga, remaja dewasa ini kebanyakan kurang memperoleh kasih sayang dan perhatian sebagaimana mestinya.

Belum lagijika remaja ini mengalami broken home, orang tua sering bertengkar dihadapan anak-anak. Alih-alih ketenangan yang didapatkan, malah kesumpekan yang mereka rasakan. Sementara sebagian ortu yang lain menganggap materi telah mencukupi kebutuhan remaja, namun kebutuhan pendidikan akhlaq dan tingkah laku tak penting.

Komunikasi yang tak lancar dan cenderung menyalahgunakan anak-anak tanpa mau melihat apa yang sebenarnya terjadi. Orangtua juga sering menggunakan bahasa kasar, caci maki, penginaan bahkan kekerasan fisik pada anak. Maka tak heran banyak remaja lari memilih jalan mereka mencari tempat bernaung dan berbagi untuk mencurahkan penat hati. Hingga ada yang terjebak dalam pergaulan bebas dan kekerasan.

Atas banyaknya kasus kekerasan yang melibatkan remaja Islam telah jauh-jauh sebelumnya memberikan antisipasi berupa petunjuk sekaligus sebagai solusinya.

1. Mengembalikan dan menjadikan keluarga mulsim kembali pada fungsi yang sungguhnya. Karena keluarga adalah tempat awal bagi pemebntuk akhlak generasi. Jika akhlak yang ditanamkan selalu mengandung didikan dan teladan positif maka. Hal ini bisa menjadi modal dasar yang bermanfaat, berharga saat mereka bergaul diluar rumah.

2. Islam sedari awal telah memberikan rambu-rambu sebagai penjagaan atas umatnya baik jasmani dan rohani. Baik itu menyangkut etika bergaul, cara bersikap, mengajarkan selalu berfikir positif, perlunya ilmu dan sebagainya. Memilih pergaulan dan lingkungan yang baik membuat remaja terjaga dari pergaulan yang merugikan. Rasulullah bersabda, ”Agama seseorang tergantung atas agama temannya, maka lihatlah siapa yang menemaninya” .(Abu Dawud, Tirmidzi dihasankan oleh Syaikh Al Albani).

Dalam Azzukhruf : 67 Allah berfirman akan pentingnya memilih teman.
”Teman-teman akrab pada hari itu sebagianya menjadi musuh bagi sebagian yang lain keculai orang-orang yang bertakwa”.
3. Menanamkan pentingnya ilmu dien sejak dini karena hal ini, akan membuat mereka bisa memilah yang haq dan batil.

4. Menumbuhkan pola pikir positif dan juah ke depan sehingga pikiran kita selalu berisi dorongan pada hal baik dan bermanfaat serta untung ruginya, sebab kehidupan kita adalah pikiran kita. Niat baik juga membuat kita terhindar dari lemahnya jiwa, sebagaimana firman Allah. ”Dan barang siapa yang bertawaqal pada Allah niscaya Allah akan mencukupinya” (At Thalaq 3)

5. Menumbuhkan sikap dan gaya mendidik yang dipenuhi kelembutan cinta dan kasih sayang sebagai bahasa mutlak dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan anak / remaja serta menjauhi sikap kasar, kerasn dan semena-mena. Allah berfirman dalam Ali Imran 159 , ”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu."

6. Menjauhkan anak / remaja dari bias-bias yang memancing tindak kekerasan. Semisal, menonton film laga penuh adegan kekerasan / tayangan adu fisik semacam Smack Down, berita kriminal dan sebagainya.

Insya Allah, jika hal-hal di atas bisa dilakukan maka harapan untuk melahirkan generasi pilihan yang jauh dari kerusakan dan kekerasan akan bisa diwujudkan. Selain itu usaha yang sinergi dari seluruh pihak baik itu keluarga, sekolah juga masyarakat untuk bersama melakukan perbaikan akan menumbuhkan secercah harapan mengembalikan kondisi akhlak remaja yang mulai carut marut. Mengembalikan remaja di bawah keindahan akhlak panji-panji Islam. Seperti halnya pemuda kahfi yang selalu teguh berpijak pada kebenaran, Wallahu ’alam.

(ummu abdirrahman)

TERIMALAH AKU APA ADANYA


Di bawah naungan ajaran Islam, pernikahan sepasang insan suami istri menjalani hidup mereka dalam satu perasaan, menyatunya hati dan cita-cita. Namun adakalanya pernikahan harus berjalan di atas kerikil. Apalagi saat pandangan mulai berbeda, tujuan tak lagi sama. Mempertahankan keutuhan dan keharmonisan rumah tangga terasa tak lagi mudah. Di mata kita pasangan selalu serba salah dan penuh kekurangan.

Keluarga Samara

Pernikahan adalah fitrah kemanusiaan. Karenanya Islam menganjurkan, sebab nikah merupakan gharizah insaniyah. Sebagaimana Allah berfirman,

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (Ar-Ruum : 30).

Islam memberi penghargaan tinggi pada pernikahan dan Allah menyebutnya sebagai ikatan yang kuat. Dalam al-Quran surat An Nisaa : 21

“… dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”

Demikian agungnya ikatan pernikahan hingga sebanding dengan separuh agama. Begitulah, keputusan dua insan berbeda untuk menikah tentunya dengan pertimbangan matang, faham dan tahu tujuan dari pernikahan. Mengerti betul perbedaan akan disatukan dalam perkawinan. Hingga pemahaman-pemahaman dari ini diharapkan akan membawa pada keharmonisan dan kelangsungan pernikahan pada keabadian.

Pernikahan adalah bangunan yang bertiang Adam dan Hawa yang membangun kecintaan dan kerjasama, penuh mawadah, ketenteraman, pengorbanan, dan juga hubungan rohani yang mulia dan keterikatan jasad yang disyariatkan.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." (Ar-Ruum :21).

Ayat ini merupakan pondasi kehidupan yang diliputi suasana perasaan yang demikian sejuk. Istri ibarat tempat bernaung bagi suami setelah seharian bekerja keras. Penghiburnya di saat lelah. Suasana rumah yang penuh belas kasih hingga menumbuhkan ketenteraman. Sebaliknya suami yang baik akan memberikan timbal balik yang sama.

Suami sebagai pemimpin rumahnya dengan bantuan dan dukungan istri akan bertindak sebijaksana mungkin mengatur rumah tangganya tanpa harus bersikap otoriter. Dan jika tugas suami istri berjalan seimbang maka akan memberi ketenteraman dan kemantapan dalam hubungan suami istri. Dan anak-anak yang tumbuh dalam “lembaga” yang bersih ini akan tumbuh dengan baik. Sebab individu yang bernaung di dalamnya tahu hak dan kewajibannya sebagaimana sabda Rasulullah n,

“Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggungjawab atas yang dipimpinnya.”

Maka tak heran kalau keluarga harmonis yang saking penuh mawadah warahmah akan mudah diwujudkan. Insyaallah.

Hak dan kewajiban suami istri

Kesan terbaik yang tertangkap dari rumah tangga Nabawi adalah terjaganya hak dan kewajiban dalam hubungan suami istri. Bahkan hak itu tetap diperoleh Khadijah dari Rasulullah meski Khadijah telah wafat hingga membuat Aisyah cemburu. Padahal Aisyah tak pernah berjumpa dengannya. Hal itu semua karena Rasulullah sering mengingat kebaikan dan jasanya.

Keharmonisan dalam rumah tangga akan dengan sendirinya terwujud jika pihak suami atau istri tahu hak dan kewajiban masing-masing. Rasa kasih dan sayang sebagai fitrah Allah di antara pasangan suami dan istri akan bertambah seiring dengan bertambahnya kebaikan pada keduanya. Sebaliknya, akan berkurang seiring menurunnya kebaikan pada keduanya. Sebab secara alami, jiwa mencintai orang yang memperlakukannya dengan berbuat baik dan memuaskan untuknya, termasuk melaksanakan hak dan kewajiban suami istri.

Suami memiliki hak yang besar atas istrinya. Di antara hak itu misalnya:

Menjaga kehormatan dan harga dirinya, mengurusi anak-anak, rumah dan hartanya saat suami tak ada di sisinya. Allah l berfirman :

“….. wanita yang shalihah adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri saat suaminya tidak ada karena Allah telah memelihara mereka…… “ (An Nisa: 34).

Dalam haditsnya Rasulullah bersabda,

“Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya.” (Riwayat Bukhari Muslim).

Berpenampilan menyenangkan di depan suami dan bersikap manis. Sebagaimana Rasulullah bersabda,

“Sebaik-baik wanita adalah yang bisa membuatmu senang saat engkau pandang, menaatimu saat engkau perintah dan menjaga dirinya dan hartamu saat engkau tinggal.” (Riwayat Tabrani)

Hak lain suami adalah tidak mengizinkan istri memasukan orang yang dibenci suami, menjaga rahasia suami istri termasuk dalam urusan ranjang, berusaha menjaga kelanggengan bahtera rumah tangga, tidak meminta cerai tanpa sebab syar’i.

Dari Tsauban, Rasulullah berkata, “wanita manapun yang minta cerai kepada suami tanpa sebab, maka haram baginya mencium bau surga”. (Riwayat Tirmidzi, Abu Daud).

Selain itu istri harus banyak bersyukur dan tidak banyak menuntut. Perintah ini sangat ditekankan Islam, bahkan ancaman Allah tak akan melihatnya pada hari kiamat kelak jika istri berbuat demikian.

“Sesungguhnya Allah tidak akan melihat kepada seorang wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya dan dia selalu menuntut (tidak pernah merasa cukup)”

Masih banyak hak-hak suami atas istrinya. Di samping itu suami pun harus memberikan hak istrinya serta menjalankan kewajibannya. Di antaranya adalah memberi makan pada istri apabila ia makan, memberikannya pakaian, tidak memukul wajah istri, tidak menjelek-jelekkan kekurangannya, tidak meninggalkan istri melainkan di dalam rumah, memperlakukan dengan lembut dan menggaulinya dengan baik.

Selain suami memiliki kewajiban memberi nafkah lahir batin, suami berkewajiban mengajarkan ilmu agama apalagi ia memegang kepemimpinan dalam rumah tangga. Hingga ia pun wajib membekali diri dengan ilmu yang syar’i, dengan demikian ia akan mampu membawa keluarganya, istri dan anaknya dalam kebaikan. Jika ia tidak sanggup, mengajar mereka, suami harus mengajak mereka menuntut ilmu syar’i bersama ataupun menghadiri majelis-majelis ilmu. Suami pun harus memberi teladan baik dalam mengemban tanggung jawabnya dan atas apa yang dipimpinnya.

Menerima Kekurangan dan Kelebihan

Kita melihat bagaimana al-Qur’an membangkitkan pada diri masing-masing pasangan suami istri suatu perasaan bahwa masing-masing mereka saling membutuhkan satu sama lain dan saling menyempurnakan kekurangan.

Ibaratnya wanita laksana ranting dari laki-laki dan laki-laki adalah akar bagi wanita. Karena itu akar selalu membutuhkan ranting dan ranting selalu membutuhkan akar. Sebagaimana firman Allah dalam al-A’raf 189,

“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya.”

Karena itu, pernikahan tak hanya menyatukan dua manusia berbeda tapi juga menyatukan dua perbedaan, kelebihan dan kekurangan sepasang anak manusia. Dimana masing-masing akan saling mengisi dan melengkapi kekurangan satu dengan yang lain. Sementara menjadikan kelebihan masing-masing untuk merealisasikan cita-cita pernikahan sesungguhnya.

“Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (al Baqarah : 187).

Dengan memahami hal ini, kehidupan rumah tangga akan tenteram. Dan tenang berlayar, sangat mustahil ditemukan sepasang suami istri yang sempurna segala sesuatunya. Yang bisa dilakukan adalah dengan jalan saling memahami dan menghargai satu sama lain.

Menerima apa adanya kekurangan atau kelebihan pasangan. Tidak membandingkan pasangan kita dengan yang lain. Karena hal-hal seperti ini tidak akan membuat nyaman hubungan namun hanya akan menjadikan kita makin sensitif dengan segala perbedaan. Dan sekali lagi memaafkan semua kekurangan pasangan adalah lebih baik. Hargailah segala kelebihannya. Dan berterima kasihlah atas semua yang telah dikerjakan dan diberikan pasangan pada kita. Insyaallah ini akan membuat makin manisnya hubungan dengan pasangan.

Mungkin ada hal-hal yang tak kita sukai pada pasangan kita, namun bukanlah masih ada hal-hal baik yang kita sukai dan lihat ada padanya? Kita harus bijaksana menyikapi hal ini.

Kita tak perlu berpura-pura dan menutupi kekurangan kita hanya karena takut tak sempurna di hadapan si dia. Karena bisa saja justru hal ini akan menyeret kita pada hal-hal berbahaya. Moralnya saja dengan berbohong menjanjikan ini dan itu serta janji setinggi langit. Padahal kita tahu tak akan bisa memenuhinya. Jika pasangan tahu tentu ia akan marah dan jengkel hingga membuahkan pertengkaran dan hal-hal buruk lain. Bukanlah lebih baik kita selalu tampil apa adanya, karena itu tak akan membebani kita ?

Sungguh, jika si dia benar-benar mencintai kita tentu dia akan menerima kita apa adanya. Mau menerima kekurangan dan kelebihan kita. Tanpa basa-basi. Yang perlu diingat kita selalu berusaha memberikan yang terbaik untuknya, semampu kita. Insyaallah di rumah kita. (ummu fatimah ahmad).http://majalah-nikah.com

Senin, 05 Januari 2009

Menunda Pernikahan Atau Menyegerakannya Ya??

Setelah pemaparan tentang alasan menunda atau menyegerakan pernikahan berikut telaah terhadapnya, maka sekarang penulis membandingkan antara akibat menunda atau menyegerakan pernikahan.

Akibat menunda

1- Belum terbebani oleh kewajiban pernikahan yang memang tidak mudah.
Dengan menunda beban seseorang masih ringan, belum berat karena dia belum memikul apa yang semestinya dipikul sebagai konsekuensi dari pernikahan yang dipilihnya, sehingga waktu, tenaga, pikiran dan mungkin fulusnya bisa dialokasikan ke lahan lain yang bermanfaat, misalnya dicurahkan untuk menuntut ilmu atau untuk berkeliling negeri berdakwah kepada Allah, ini mungkin dia lakukan karena dia belum disibukkan oleh urusan pernikahan dengan beban-bebannya.

2- Berat dan sulit menghadapi godaan kepada yang tidak baik.
Lebih-lebih di zaman di mana mendapatkan keburukan justru lebih mudah daripada mendapatkan kebaikan, arus keburukan begitu kuat, dominasinya menyebar luas, magnetnya lebih agresif dibanding dengan besi berani, hanya dengan iman kokoh ia bisa ditepis, tetapi terkadang iman pun bisa melemah tanpa ditunjang dengan sarana yang mengokohkannya, dan sarana ini adalah pernikahan.

3- Tertundanya menikmati kehidupan pernikahan.
Dengan asumsi umurnya adalah enam puluh lima tahun, seandainya dia menikah dalam usia tiga puluhan seperti yang umum terjadi di masyarakat saat ini, maka dia menikmati usia pernikahan selama tiga puluh lima tahun, itu pun tidak semuanya dia nikmati, karena biasanya begitu memasuki usia empat puluhan seseorang sudah tidak seperkasa ketika usianya masih tiga puluhan atau di bawah itu, malah kadang-kadang beberapa penyakit sudah mengintainya.
4- Tertundanya mendapatkan penenang jiwa yaitu anak.
Akibatnya ketika bapak atau ibu sudah memasuki usia senja, si anak belum dewasa, belum mandiri atau belum mentas alias masih bergantung kepada orang tua, pada saat orang tua sudah keburu tua dan sudah melewati masa puncak karir pekerjaan. Anggaplah dia menikah dalam usia tiga puluh lima, pada saat dia pensiun, pensiun umumnya dalam usia lima puluh lima, si anak masih usia lima belas, kelas tiga SMP atau kelas satu SMA, ini anak pertama, belum adik-adiknya yang menyusul kemudian.

5- Memperlambat pertumbuhan umat Islam.
Karena tertunda mendapatkan anak, maka secara otomatis hal tersebut tidak menunjang pertumbuhan umat Islam, dalam usia yang memasuki masa senja kemampuan produksi suami istri menurun, akibatnya anak pun harus dibatasi, maka terbataslah jumlah umat Islam karenanya.

Akibat menyegerakan

1- Terbebani oleh kewajiban pernikahan.
Tetapi beban tersebut jika dijalankan dengan keikhlasan maka ia tidak terasa sebagai beban, anggap sebagai penyeimbang, ada untung ada rugi, ada enak ada tidak enak dan hal itu sebanding bahkan enaknya lebih besar, lebih dari semua itu adalah pahala dari pelaksanaan terhadap beban tersebut. “Sesunguhnya kamu tidak memberikan suatu nafkah yang dengannya kamu berharap wajah Allah kecuali kamu meraih pahala karenanya sampai apa yang kamu letakkan di mulut istrimu.” (Muttafaq alaihi).

2- Terbentengi dalam batas tertentu dari godaan kepada yang tidak baik.
Karena dia telah mempunyai yang halal, itu lebih dari cukup baginya sehingga dia tidak perlu menengok dan mencari yang haram. Dalam batas tertentu, karena sebagian orang sudah terbentengi dengan pernikahan tetapi dia justru merobohkan benteng ini dengan mencaplok apa yang bukan haknya. Memang semuanya kembali kepada iman seseorang. Namun alangkah baiknya jika iman ditopang dengan benteng dan benteng pun dilandasi dengan iman.

3- Menikmati kehidupan pernikahan lebih awal.
Jika Anda menikah dalam usia dua puluhan, taruhlah dua puluh lima tahun seperti Rasulullah saw, usia di mana seorang pemuda atau pemudi berada dalam puncak kenikmatan pernikahan, maka kenikmatan pernikahan atau bulan madu akan sangat terasa sekali dan itu berlangsung lebih lama, hal ini jelas karena Anda menikah lebih awal maka kenikmatan pernikahan Anda rasakan lebih awal pula dan lebih panjang.

4- Mendapatkan penenang jiwa lebih awal.
Dan pada saat anak benar-benar memerlukan dukungan Anda, Anda tetap mampu mendukungnya dengan tegar, karena pada saat itu usia Anda belum tua, Anda sedang berada dalam puncak karir kehidupan, dan anak mulai mandiri seiring Anda memasuki usia senja, Anda menikmati masa senja tanpa diribeti dengan urusan anak yang belum juga mentas.

5- Mempercepat pertumbuhan umat Islam.
Karena peluang memperoleh anak dan dalam jumlah yang memadahi terbuka lebih lebar, sehingga jika hal ini terwujud maka ia mendukung perkembangan umat yaitu dengan terbentuknya generasi penerus yang telah disipakan lebih dini.

Setelah membaca, Anda cenderung ke mana? Menunda atau menyegerakan? Apa pun itu merupakan pilihan Anda. Yang jelas pilihan kedua sepertinya lebih menguntungkan. Wallahu a'lam.
(Izzudin Karimi)

Menunda Pernikahan Atau Menyegerakannya Ya??

Penulis membuat perbandingan antara dua perkara di atas, perbandingan ini berlaku bagi yang telah mampu menikah bukan yang belum mampu, karena jika kita berbicara menunda atau menyegarakan sesuatu berarti kemampuan melakukannya telah tersedia, hanya persoalannya hendak ditunda atau disegerakan. Kalau tidak mampu maka apa yang hendak ditunda dan disegerakan?

Perbandingan ini mencakup dua sisi; sebab dan akibat. Yang pertama adalah alasan yang membuat seseorang menunda atau menyegerakan. Yang kedua adalah akibat dari masing-masing.

Sebab menunda

Menunda menikah memiliki banyak alasan, lebih-lebih kata orang alasan bisa dicari, jika kita meruntutnya maka kita lelah sendiri, dari sini maka penulis sebisa mungkin membatasi pada alasan yang memiliki sisi pembenaran dalam batas tertentu, di antaranya:

1- Belum menemukan pasangan yang cocok, padahal kecocokan antara suami istri mutlak diperlukan demi kelangsungan kehidupan rumah tangga, tidak jarang perceraian terjadi dengan alasan tidak ada kecocokan.

2- Belum siap materi atau dengan kata yang pas, uangnya belum cukup alias masih cekak, padahal pernikahan memerlukan ongkos untuk akadnya berikut walimahnya selanjutnya kebutuhan sehari-hari, belum lagi kalau sudah ada momongan, bea yang diperlukan akan meningkat sementara penghasilan belum tentu meningkat.

3- Belum siap mental atau belum memiliki kedewasaan sementara pernikahan tidak hanya berkaitan dengan materi semata, ia juga berhubungan dengan mental dan memerlukannya, banyak hal yang akan terjadi di dalam pernikahan yang jika tidak dihadapi dengan mental kedewasaan yang baik maka bisa berakibat bubarnya pernikahan itu sendiri.

4- Belum ingin terikat, masih ingin bebas, –bebas di sini dalam hal-hal yang dibolehkan, kalau bebas dalam hal-hal yang tidak baik maka itu bukan alasan- pernikahan mengikat seseorang dengan hak dan kewajiban, sehingga yang bersangkutan masuk ke dalam keterbatasan, ini lebih berat bebannya daripada sebaliknya.

5- Belum memprioritaskan pernikahan karena ada hal lain yang dirasa lebih layak untuk dikedepankan dan keduanya tidak bisa atau sulit dijalankan sekaligus, menikah bisa menghalangi atau menghambat tercapainya hal tersebut. Jadi logis kalau mementingkan yang lebih penting kemudian yang penting.

Ini adalah lima alasan yang menurut pertimbangan penulis paling menonjol dan paling umum dijadikan sebagai faktor menunda pernikahan, bukan pembatasan dan bukan pendapat otoriter atau mau menang sendiri, penulis yakin di antara pembaca ada yang tidak menyetujui sebagian darinya dan melihat bahwa ada alasan lain yang lebih berhak disodorkan daripada apa yang penulis sodorkan, ma fi musykilah, tidak masalah, karena ini hanya sebatas pertimbangan yang mengacu kepada pengamatan di mana peluang berbeda terbuka di antara dua kepala. Hal ini juga berlaku untuk alasan menyegerakan yang akan hadir di bawah ini.

Setelah alasan-alasan menunda dipaparkan, maka kita melangkah ke jenjang berikut yaitu alasan menyegerakan.

1- Menyegerakan kebaikan, pernikahan merupakan salah satu bentuk kebaikan, ia adalah perbuatan mulia jika dilandasi dengan niat yang mulia, baiknya suatu kebaikan adalah apabila ia disegerakan, sebab jika ditunda maka ia akan tertunda, kebaikan yang tertunda bisa berubah menjadi tidak baik, di samping itu sampai kapan? Bisa-bisa tidak terlaksana karena keburu patah hati atau mati.

2- Menjaga diri dan menikah adalah salah satu cara terbaik dalam hal ini, karena dengan menikah tersedia jalan yang halal sehingga mempersempit jalan yang haram.

3- Tersedianya sarana-sarana pernikahan, jodoh yang cocok telah ditemukan, sisi materi terpenuhi dan kesiapan mental sudah terwujud, mengapa tidak disegerakan? Menunggu apa lagi?

Telaah terhadap alasan menunda

1- Alasan belum menemukan pasangan yang cocok, pertanyaan yang terarah kepada alasan ini, dari mana mengetahui kalau pasangan tersebut cocok atau tidak sementara pernikahan belum berlangsung? Mengetahui cocok tidaknya didapatkan melalui pengalaman atau percobaan, sementara di sini dua hal terakhir ini belum terjadi, maka alasan ini lebih bersifat sentimen atau perasaan daripada logis atau nalar.

Di samping itu realita membuktikan bahwa tidak ada manusia yang sama, di mana-mana suami istri selalu memulai dengan penyesuaian karena adanya perbedaan di antara keduanya dan perbedaan ini bisa jadi lebih besar, tetapi seiring dengan waktu keselarasan bisa tercapai. Jadi kecocokan baru bisa diraih setelah adanya usaha untuk mencocokkan dan ini terjadi setelah pernikahan, kalau sebelumnya maka ia lebih dekat kepada ketakutan dan kekhawatiran.

2- Alasan belum cukup ongkos, pertanyaan yang terarah kepada alasan ini, pernikahan dan kehidupan yang bagaimanakah yang Anda canangkan? Kalau Allah telah memudahkan rizki sederhana dan ia memadahi untuk hidup sederhana, maka pernikahan tetap tidak terhalang, tentu dengan menyesuaikan standar isi kantong.

Sisi lain yang tidak patut dilupakan, standar cukup bersifat relatif, yang sering malah tidak ada standarnya sebab pada dasarnya manusia memang tidak mengenal kata cukup, mempunyai satu lembah emas, dia tetap menginginkan dua lembah dan seterusnya. Benar pernikahan memerlukan bea akan tetapi bea ini bisa disesuaikan dengan batas atas rizki yang Allah mudahkan untuk suami istri tanpa memaksakan apa yang tidak ada.

3- Alasan belum siap mental, pertanyaannya kapan siapnya? Tidak ada kepastian waktu sehingga perkaranya terus tertunda tanpa batas waktu yang jelas. Penulis berpendapat justru pernikahan itulah yang memberi kesiapan secara langsung dan kongkrit, karena di dalamnya suami istri menemukan hal-hal yang mendidiknya untuk siap dan dengan itu keduanya menjadi lebih dewasa dan memahami.

4- Alasan masih ingin bebas karena bebannya lebih ringan, pertanyaannya apakah memang benar lebih ringan? Menurut sebagian malah bebannya lebih berat, karena di satu sisi dia bebas, di sisi yang lain dia harus menjaga diri yang bebannya bisa jadi lebih berat, sehingga baginya menyegerakan lebih ringan. Dan satu lagi, siapa bilang beban pernikahan itu berat? Ternyata setelah dijalani terbukti ia ringan. Dengan asumsi ia berat, namun inputnya sebanding bahkan lebih tinggi, jadi masih untung bukan?

5- Alasan terakhir, masih ada hal lain yang menuntut skala prioritas yang sulit dijalankan berbarengan dengan pernikahan, ini alasan yang paling dekat dan paling mungkin diterima dengan catatan hal tersebut memang skala prioritas dalam arti sebenarnya dan bukan dibuat-buat, lebih-lebih jika hal yang dimaksud adalah sesuatu yang mulia, misalnya dia masih harus membantu mengentas keluarganya dan adik-adiknya, jika dia menikah maka sulit baginya membantu mereka. Ini masuk akal, namun yang lebih baik lagi menurut hemat penulis adalah mencari cara bagaimana kedua perkara ini bisa berjalan seiring tanpa saling mengalahkan. Ini yang lebih baik.

Terakhir, penulis tidak mempertimbangkan atau menela’ah alasan menyegerakan karena sisi keakuratannya kuat. Namun jika pembaca hendak mengkritisinya maka pintu tetap terbuka. Berlanjut. Wallahu a'lam.
(Izzudin Karimi)

Menyiasati Emosi Marah Dalam Keluarga

KEHIDUPAN dalam keluarga yang terdiri atas ayah, ibu dan anak itu sangat berpeluang untuk memancing rasa marah. Penyebabnya, bisa macam-macam. Mulai dari yang sepele sampai yang serius. Sebenarnya marah adalah reaksi emosional yang sangat wajar, seperti juga perasaan takut, sedih dan rasa bersalah. Hanya biasanya kemarahan itu memunculkan dampak langsung yang lebih merusak.

Menurut Heman Elia, seorang psikolog, menuntut agar anak tidak marah bukan saja tidak realistis, namun juga kurang sehat. Anak yang kurang mampu memperlihatkan rasa marah dapat menderita cacat cukup serius dalam hubungan sosialnya kelak. Ia mungkin akan tampak seolah tidak memiliki daya tahan atau kekuatan untuk membela diri dalam menghadapi tekanan sosial. Akibatnya, ia mudah terpengaruh dan mudah menjadi objek manipulasi orang lain.

Dengan demikian, kita harus bersikap bijaksana dalam menyikapi kemarahan seorang anak. Caranya yaitu dengan membantu anak untuk menyatakan kemarahan secara wajar dan proporsional. Heman Elia, menyarankan dalam mengajar anak mengungkapkan kemarahannya haruslah dimulai sedini mungkin. Terutama sejak anak mulai dapat berkata-kata. Kuncinya adalah agar anak menyatakan kemarahan dalam bentuk verbal.

Yang jelas, pada saat marah menguasai seseorang, maka akan terjadi ketidakseimbangan pikiran manusia berupa hilangnya kemampuan untuk berpikir sehat. Atas alasan inilah, barangkali kenapa Sayyid Mujtaba M.L. mengungkapkan kejahatan merupakan perwujudan dari kepribadian yang tidak seimbang. Ketika seorang individu kehilangan pengawasan atas akalnya, maka ia juga akan kehilangan kendali atas kehendak dan dirinya sendiri. Manusia tersebut tidak hanya lepas dari kendali akal, tetapi juga kehilangan perannya sebagai unsur yang produktif dalam kehidupan dan pada gilirannya berubah menjadi makhluk sosial yang berbahaya.

Ada beberapa alasan mengapa seseorang dianggap penting untuk mengendalikan marah dalam kehidupan kesehariannya. Pertama, marah menyebabkan tercela. Timbulnya sikap marah, biasanya akan melahirkan suatu perasaan menyesal setelah marahnya berhenti. Dr. Mardin menguraikan, seseorang yang sedang marah, apa pun alasannya akan menyadari ketidakberartian hal itu segera setelah ia tenang, dan dalam kebanyakan kasus ia akan merasa harus meminta maaf kepada mereka yang telah ia hina. Untuk itu, tepatlah apa yang dikatakan Imam Ja'far Ash-Shadiq as, yaitu "Hindarilah amarah, karena hal itu akan menyebabkan kamu tercela."

Kedua, marah dapat membinasakan hati. Marah itu tidak lain merupakan salah satu penyakit hati yang kalau dibiarkan akan dapat merusak diri secara keseluruhan. Imam Ja'far Ash-Shadiq as berkata, "Amarah membinasakan hati dan kebijaksanaan, barangsiapa yang tidak dapat menguasainya, maka ia tidak akan dapat mengendalikan pikirannya."

Ketiga, marah dapat mengubah fungsi organ tubuh. Berkait dengan ini, Dr. Mann menyebutkan berdasarkan penyelidikan ilmiah mengenai pengaruh fisiologis akibat kecemasan (baca: marah-Pen) telah mengungkapkan adanya berbagai perubahan dalam seluruh anggota tubuh seperti hati, pembuluh darah, perut, otak dan kelenjar-kelenjar dalam tubuh. Seluruh jalan fungsi tubuh yang alamiah berubah pada waktu marah. Hormon adrenalin dan hormon-hormon lainnya menyalakan bahan bakar pada saat marah muncul.

Keempat, marah akan "mempercepat" kematian. Amarah yang terjadi pada seseorang akan memengaruhi atas kualitas kesehatannya. Menurut para ahli kesehatan, amarah dapat menyebabkan kematian secara mendadak jika hal itu mencapai tingkat kehebatan tertentu. Imam Ali as pernah berkata, "Barangsiapa yang tidak dapat menahan amarahnya, maka akan mempercepat kematian." Berkait dengan pengendalian marah, secara umum seperti diungkap Drs. Karman ada empat kiatnya, yaitu: Pertama, bila Anda sedang marah maka hendaklah membaca "ta'awwudz" (memohon perlindungan) kepada Allah SWT, sebab pada hakikatnya perasaan marah yang tidak terkendali adalah dorongan setan. Nabi saw. bersabda, "Apabila salah seorang di antaramu marah maka katakanlah: 'Aku berlindung kepada Allah', maka marahnya akan menjadi reda". (HR Abi Dunya).

Kedua, bila Anda sedang marah maka berusahalah untuk diam atau tidak banyak bicara, sebagaimana sabda Nabi saw., "Apabila salah seorang di antara kamu marah maka diamlah." (HR Ahmad).

Ketiga, bila Anda sedang marah dalam keadaan berdiri maka duduklah, bila duduk masih marah maka berbaringlah. Hal tersebut ditegaskan oleh Nabi saw., "Marah itu dari setan, maka apabila salah seorang di antaramu marah dalam keadaan berdiri duduklah, dan apabila dalam keadaan duduk maka berbaringlah." (HR Asy-Syaikhany).

Keempat, bila upaya ta'awwudz, diam, duduk, dan berbaring tidak mampu mengendalikan amarah Anda, maka upaya terakhir yang bisa dilakukan adalah dengan cara berwudu atau mandi. Sebagaimana sabda Nabi saw., "Sesungguhnya marah itu dari setan dan setan terbuat dari api. Dan api hanya bisa dipadamkan oleh air. Oleh karena itu, apabila seorang di antaramu marah maka berwudulah atau mandilah." (HR Ibnu Asakir, Mauquf).

Menyiasati marah

Manakala seorang anak kecil merasa kecewa tanpa Anda memarahinya dengan kasar, menurut Dr. Victor Pashi, Anda dapat menekan amarah tersebut dengan memandikannya menggunakan air dingin atau menyelimutinya dengan kain lembab atau basah.

Lebih dari itu, Jaudah Muhammad Awwad, dalam Mendidik Anak Secara Islam, mengungkapkan, pada anak, faktor pemicu kemarahan lebih berkisar pada pembatasan gerak, beban yang terlalu berat dan di luar kemampuan anak. Misalnya menjauhkan anak dari sesuatu yang disukainya, atau memaksa anak untuk mengikuti tradisi atau sistem yang ditetapkan.

Oleh sebab itu, Jaudah menyarankan beberapa hal yang patut diperhatikan dalam mengatasi kemarahan yang timbul pada anak-anak, di antaranya adalah:

  1. Tidak membebani anak dengan tugas yang melebihi kemampuannya. Kalaupun tugas itu banyak atau pekerjaan yang di luar kemampuannya itu harus diberikan, kita harus memberikannya secara bertahap dan berupaya agar anak menerimanya dengan senang.
  2. Ciptakan ketenangan anak karena emosi yang dipancarkan anggota keluarga, terutama ayah dan ibu, akan terpancar juga dalam jiwa anak-anak.
  3. Hindarkan kekerasan dan pukulan dalam mengatasi kemarahan anak karena itu akan membentuk anak menjadi keras dan cenderung bermusuhan.
  4. Gunakan cara-cara persuasif, lembut, kasih sayang, dan pemberian hadiah.
  5. Ketika anak kita dalam keadaan marah, bimbinglah tangannya menuju tempat wudu dan ajaklah dia berwudu atau mencuci mukanya. Jika dia marah sambil berdiri, bimbinglah agar dia mau duduk.

Sementara itu upaya pengendalian marah dalam hubungan suami-istri, sebenarnya lebih ditekankan pada bagaimana mengendalikan ego masing-masing. Kunci utamanya adalah berusaha dengan membangun iklim keterbukaan dan kasih sayang di antara keduanya. Begitu pula halnya dengan anggota keluarga lainnya, seperti dengan anak-anak.

Cara menyiasatinya, ketika salah satu pihak (terpaksa) marah, maka hendaknya pihak lainnya harus mampu untuk mengekang keinginan membalas kemarahannya. Sikap kita lebih baik diam. Karena diam ketika suasana marah merupakan upaya yang efektif dalam mengendalikan marah agar keburukannya tidak menyebar ke lingkungan sekitarnya.

Akhirnya, ketika seseorang tidak dapat berpikir sehat akibat marah, maka sebaiknya orang tersebut tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang mungkin akan disesalinya kemudian. Sebagai alat untuk menekan marah dan menghindarkan akibat-akibatnya, Imam Ali as telah memerintahkan agar kia bersabar. Wallahu'alam

MEMBENTUK KELUARGA ISLAMI

Mayoritas manusia tentu mendambakan kebahagiaan, menanti ketentraman dan ketanangan jiwa. Tentu pula semua menghindari dari berbagai pemicu gundah gulana dan kegelisahan. Terlebih dalam lingkngan keluarga. Ingatlah semua ini tak akan terwujud kecuali dengan iman kepada Alloh, tawakal dan mengembalikan semua masalah kepadaNya, disamping melakukan berbagai usaha yang sesuai dengan syari'at.

Pentingnya Keharmonisan Keluarga Yang paling berpengaruh buat pribadi dan masyarakat adalah pembentukan keluarga dan komitmennya pada kebenaran. Alloh dengan hikmahNya telah mempersiapkan tempat yang mulia buat manusia untuk menetap dan tinggal dengan tentram di dalamnya. FirmanNya: "dan diantara tanda-tanda kekuasanNya adalah Dia mencipatakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan diajadikanNya diantara kamu rasa kasih sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (Ar Rum: 21)

Ya.supaya engkau cenderung dan merasa tentram kepadanya (Alloh tidak mengatakan: 'supaya kamu tinggal bersamanya'). Ini menegaskan makna tenang dalam perangai dan jiwa serta menekankan wujudnya kedamaian dalam berbagai bentuknya.

Maka suami istri akan mendapatkan ketenangan pada pasangannya di kala datang kegelisahan dan mendapati kelapangan di saat dihampiri kesempitan. Sesungguhnya pilar hubungan suami istri adalah kekerabatan dan pershabatan yang terpancang di atas cinta dan kasih sayang. Hubungan yang mendalam dan lekat ini mirip dengan hubungan seseorang dengan dirinya sendiri. Al Qur'an menjelaskan: "Mereka itu pakaian bagimu dan kamu pun pakaian baginya." (Al Baqarah: 187)

Terlebih lagi ketika mengingat apa yang dipersiapkan bagi hubungan ini misalnya; penddidikan anak dan jaminan kehidupan, yang tentu saja tak akan terbentuk kecuali dalam atmosfir keibuan yang lembut dan kebapakan yang semangat dan serius. Adakah di sana komunitas yang lebih bersih dari suasana hubungan yang mulia ini?

Pilar Peyangga Keluarga Islami

1. Iman dan Taqwa
Faktor pertama dan terpenting adalah iman kepada Alloh dan hari akhir, takut kepada Dzat Yang memperhatikan segala yang tersembunyi serta senantiasa bertaqwa dan bermuraqabbah (merasa diawasi oleh Alloh) lalu menjauh dari kedhaliman dan kekeliruan di dalam mencari kebenaran.

"Demikian diberi pengajaran dengan itu, orang yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat. Barang siapa yang bertaqwa kepada Alloh niscaya Dia kan mengadakan baginya jalan keluar. Dan Dia kan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Alloh niscaya Alloh akan mencukupkan keperluannya." (Ath Thalaq: 2-3)

Di antara yang menguatkan tali iman yaitu bersungguh-sungguh dan serius dalam ibadah serta saling ingat-mengingatkan. Perhatikan sabda Rasululloh: "Semoga Alloh merahmati suami yang bangun malam hari lalu shalat dan membangunkan pula istrinya lalu shalat pula. Jika enggan maka dipercikkannya air ke wajahnya. Dan semoga Alloh merahmati istri yang bangun malam hari lalu shalat dan membangunkan pula suaminya lalu shalat pula. Jika enggan maka dipercikkannya air ke wajahnya." (HR. Ahmad, Abu Dawud, An Nasa'i, Ibnu Majah).

Hubungan suami istri bukanlah hubungan duniawi atau nafsu hewani namun berupa interaksi jiwa yang luhur. Jadi ketika hubungan itu shahih maka dapat berlanjut ke kehidupan akhirat kelak. FirmanNya: "Yaitu surga 'Adn yang mereka itu masuk di dalamnya bersama-sama orang yang shaleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya." (Ar Ra'du: 23)

2. Hubungan Yang Baik
Termasuk yang mengokohkan hal ini adalah pergaulan yang baik. Ini tidak akan tercipt akecuali jika keduanya saling mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing.

Mencari kesempurnaan dalam keluarga dan naggotanya adalah hal mustahil dan merasa frustasi daklam usha melakukan penyempurnan setiap sifat mereka atau yang lainnya termasuk sia-sia juga.

3. Tugas Suami
Seorang suami dituntut untuk lebih bisa bersabar ketimbang istrinya, dimana istri itu lemah secara fisik atau pribadinya. Jika ia dituntut untuk melakukan segala sesuatu maka ia akan buntu.

Teralalu berlebih dalam meluruskannya berarti membengkokkannya dan membengkokkannya berarti menceraikannya. Rasululloh bersabda: "Nasehatilah wanita dengan baik. Sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk dan bagian yang bengkok dari rusuk adalah bagian atasnya. Seandainya kamu luruskan maka berarti akan mematahkannya. Dan seandainya kamu biarkan maka akan terus saja bengkok, untuk itu nasehatilah dengan baik." (HR. Bukhari, Muslim)

Jadi kelemahan wanita sudah ada sejak diciptakan, jadi bersabarlah untuk menghadapinya. Seorang suami seyogyanya tidak terus-menerus mengingat apa yang menjadi bahan kesempitan keluarganya, alihkan pada beberapa sisi kekurangan mereka. Dan perhatikan sisi kebaikan niscaya akan banyak sekali.

Dalam hal ini maka berperilakulah lemah lembut. Sebab jika ia sudah melihat sebagian yang dibencinya maka tidak tahu lagi dimana sumber-sumber kebahagiaan itu berada. Alloh berfirman; "Dan bergaullah bersama mereka dengan patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka maka bersabarlah Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Aloh menjadikannya kebaikan yang banyak." (An Nisa': 19)

Apabila tidak begitu lalu bagaimana mungkin akan tercipta ketentraman, kedamaian dan cinta kasih itu: jika pemimpin keluarga itu sendiri berperangai keras, jelek pergaulannya, sempit wawasannya, dungu, terburu-buru, tidak pemaaf, pemarah, jika masuk terlalu banyak mengungkit-ungkit kebaikan dan jika keluar selalu berburuk sangka.

Padahal sudah dimaklumi bahwa interaksi yang baik dan sumber kebahagiaan itu tidaklah tercipta kecuali dengan kelembutan dan menjauhakan diri dari prasangka yang tak beralasan. Dan kecemburuan terkadang berubah menjadi prasangka buruk yang menggiringnya untuk senantiasa menyalah tafsirkan omongan dan meragukan segala tingkah laku. Ini tentu akan membikin hidup terasa sempit dan gelisah dengan tanpa alasan yang jelas dan benar.

4. Tugas Istri
Kebahagiaan, cinta dan kasih sayang tidaklah sempurna kecuali ketika istri mengetahui kewajiban dan tiada melalaikannya. Berbakti kepada suami sebagai pemimpin, pelindung, penjaga dan pemberi nafkah. Taat kepadanya, menjaga dirinya sebagi istri dan harta suami. Demikian pula menguasai tugas istri dan mengerjakannya serta memperhatikan diri dan rumahnya.

Inilah istri shalihah sekaligus ibu yang penuh kasih sayang, pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Juga mengakui kecakapan suami dan tiada mengingkari kebaikannya. Untuk itu seyogyanya memaafkan kekeliruan dan mangabaikan kekhilafan. Jangan berperilaku jelek ketika suami hadir dan jangan mengkhianati ketika ia pergi.

Dengan ini sudah barang tentu akan tercapai saling meridhai, akan langgeng hubungan, mesra, cinta dan kasih sayang. Dalam hadits: "Perempuan mana yang meninggal dan suaminya ridha kepadanya maka ia masuk surga." (HR. Tirmidzi, Hakim, Ibnu Majah)

Maka bertaqwalah wahai kaum muslimin! Ketahuilah bahwa dengan dicapainya keharmonisan akan tersebarlah semerbak kebahagiaan dan tercipta suasana yang kondusif bagi tarbiyah.

Selain itu tumbuh pula kehidupan di rumah yang mulia dengan dipenuhi cinta kasih dan saling pengertian anatar sifat keibuan yang penuh kasih sayang dan kebapakan yang tegas, jauh dari cekcok, perselisihan dan saling mendhalimi satu sama lain. Juga tak ada permusuhan dan saling menyakiti.

Penutup
Lurusnya keluarga menjadi media untuk menciptakan keamanan masyarakat. Bagaimana bisa aman bila ikatan keluarga telah amburadul. Padahal Alloh memberi kenikmatan ini yaitu kenikmatan kerukunan keluarga, kemesraan dan keharmonisannya.

Hubungan suami istri yang sangat solid dan fungsinya sebagai orang tua di tambah anak-anaknya yang tumbuh dalam asuhan mereka, merupakan gambaran umat terkini dan masadepan. Karena itu ketika setan berhasil menceraikan hubungan keluarga dia tidak sekadar menggoncangkan sebuah keluarga namun juga menjerumuskan masyarakat seluruhnya ke dalam kebobrokan yang merajalela. Realita sekarang menjadi bukti.

Semoga Alloh merahmati pria yang perilakunya terpuji, baik hatinya, pandai bergaul (terhadap keluarga), lemah lembut, pengasih, penyayang, tekun, tidak berlebihan dan tiada lalai dengan kewajibannya. Semoga Alloh merahmati pula wanita yang tidak mencari-cari kekeliruan, tidak cerewet, shalihah, taat dan memelihara dirinya ketika suaminya tidak ada karena Alloh telah memeliharanya.

Bertaqwalah wahai kaum muslimin, wahai suami istri. Barang siapa yang bertaqwa kepada Alloh niscaaya akan dimudahkan urusannya. (Syeikh Shalih bin Abdullah bin Al Humaid).