Selasa, 25 Maret 2008

Problem Ideologi Belum Selesai

Dalam sebuah dialog di sebuah TV nasional, seorang petinggi partai Islam mengatakan bahwa persoalan ideologi bangsa ini sudah selesai. Karena itu, menurutnya, saat ini tidak perlu lagi dipertentangkan antara Islam dan ideologi negara. Yang penting adalah bagaimana kita memberikan solusi atas berbagai persoalan bangsa ini.

Pernyataan seperti itu sering kita dengar sebagai bentuk penolakan terhadap pemikiran tentang kewajiban penerapan ideologi Islam, syariah Islam atau Negara Islam (Khilafah). Alasan lainnya, membincangkan masalah ini hanya buang-buang waktu dan energi. Benarkah?

Ideologi—sebagai pandangan hidup yang menjadi asas dalam berbagai aspek kehidupan (ekonomi, politik, pemerintahan dll)—jelas sangat penting dalam sebuah negara. Ideologilah yang menentukan dasar negara, aturan seperti apa yang akan diterapkan untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh negara dan ke arah mana negara itu akan dibawa.

Dalam pandangan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ideologi (mabda’) adalah pemikiran mendasar yang melahirkan seperangkat sistem (nizhâm) seperti sistem ekonomi, politik, hukum dll. Warna dan corak ideologi tentu akan ditentukan oleh pemikiran mendasar (akidah)-nya. Ideologi akan menentukan bagaimana sebuah negara memecahkan persoalan kehidupanya berikut tatacara praktisnya.

Karena itu, sangatlah mengherankan kalau ada pihak yang menyatakan bahwa persoalan ideologi negara ini sudah selesai, dan yang penting sekarang adalah kita memberikan solusi. Pasalnya, solusi yang akan kita berikan terhadap negara itu jelas bergantung pada dasar ideologinya. Saat awal Orde Baru, ketika Indonesia mengalami banyak persoalan seperti kemiskinan, pengangguran, konflik militer dan politik, Soeharto hadir memimpin Indonesia. Solusi yang dia berikan adalah merujuk pada ideologi Kapitalisme. Mulailah Soeharto dengan tim ekonominya melakukan liberalisasi ekonomi dan pasar. Indonesia pun terikat dengan IMF dan Bank Dunia yang memberikan utang. Di sisi lain, Indonesia harus membuka pasar dan kekayaan alamnya untuk dieksploitasi oleh asing atas nama investasi dan pembangunan ekonomi.

Indonesia kemudian semakin kapitalistik pasca reformasi. Keluarlah berbagai undang-undang yang sangat pro-liberal seperti UU Migas, UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal, UU Kelistrikan dan sebagainya. Berdasarkan UU yang pro-liberal inilah berbagai kebijakan ekonomi dibangun sebagai “solusi” terhadap persoalan bangsa. Solusi tersebut—yang kenyataannya justru menimbulkan banyak masalah baru—tidak lain berpijak pada ideologi Kapitalisme.

Dalam konteks inilah Hizbut Tahrir mengkritik ideologi Kapitalisme. Hizbut Tahrir melihat berbagai persoalan bangsa yang dihadapi saat ini justru berpangkal pada penerapan ideologi Kapitalisme oleh negara. Karena itu, bagi Hizbut Tahrir, persoalan ideologi negara ini belumlah selesai. Saat ini negara masih mengadopsi ideologi Kapitalisme. Ideologi ini harus terus-menerus dipersoalkan. Bagaimana mungkin kita mengatakan persoalan ideologi sudah selesai, sementara di depan mata kita kebijakan liberal yang bersumber dari ideologi Kapitalisme ini telah membawa penderitaan masyarakat. Persoalan ideologi baru selesai kalau Indonesia mencampakkan ideologi Kapitalisme dan menggantikannya dengan ideologi Islam.

Dalam konteks ini pula Hizbut Tahrir menawarkan syariah dan Khilafah sebagai solusi bagi bangsa ini. Ini tidak lain sebagai bentuk kepedulian yang mendalam terhadap rakyat yang menderita akibat penerapan ideologi Kapitalisme, di samping sebagai wujud dari ketakwaan kepada Allah Swt. yang mewajibkan seorang Muslim untuk menegakkan hukum-hukum-Nya.

Penerapan syariah Islam oleh Khilafah akan menggantikan sistem ideologi Kapitalisme yang bobrok itu. Khilafah akan menerapkan syariah Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Dalam syariah Islam, negara wajib menjamin kebutuhan pokok setiap individu rakyat (sandang, pangan, dan papan), Muslim maupun non-Muslim. Negara tidak boleh membiarkan ada rakyatnya yang kelaparan, tidak punya rumah, dan tidak memiliki pakaian. Berdasarkan syariah Islam, negara juga wajib menjamin kesehatan dan pendidikan secara gratis dan transportasi yang murah.

Untuk mendanai semua itu, negara mendorong setiap orang untuk bekerja keras memenuhi kebutuhan pokoknya. Negara akan membantu kalau setelah bekerja keras kebutuhan pokoknya masih belum terpenuhi dan keluarga dekatnya tidak bisa membantunya. Negara juga akan mengambil zakat dari orang-orang kaya yang digunakan untuk menyantuni orang-orang miskin. Sumber penting lain dari dana negara adalah pemilikan umum seperti tambang emas, perak, minyak, hutan dll yang merupakan milik rakyat. Negara akan mengelolanya dengan baik; keuntungannya diberikan kepada rakyat, bukan untuk asing.

Dalam pandangan Hizbut Tahrir, selama negara masih menerapkan ideologi Kapitalisme maka persoalan bangsa ini pun tidak akan pernah selesai. Lihatlah, sejak masa Orde Lama (kurang-lebih 20 tahun), Orde Baru (lebih dari 30 tahun) hingga kini, solusi-solusi yang diberikan tidak bisa menyelesaikan masalah masyarakat, bahkan menambah persoalan masyarakat. Sudah seharusnya negara dan bangsa ini merujuk pada syariah Islam yang akan menjadi solusi.

Ini pula alasan mengapa Hizbut Tahrir selalu menyoal ideologi Kapitalisme ini dan selalu berdiskusi tentang wajibnya menerapkan ideologi Islam dan Khilafah Islamiyah. Perdebatan dan diskusi adalah bagian dari pergolakan pemikiran untuk mencari kebenaran sejati. Ini bukanlah pekerjaan sia-sia, apalagi menghabiskan energi. Pekerjaan ini sangat mulia karena akan menyadarkan masyarakat tentang bobroknya ideologi Kapitalisme di satu sisi, dan wajibnya menegakkan ideologi Islam di sisi lain. Pekerjaan ini juga sangat mulia karena Hizbut Tahrir secara sistematis, serius dan konsepsional bersama rakyat sedang menegakkan kembali syariah dan Khilafah yang akan menjadi solusi bagi persoalan masyarakat. [FW]

Tidak ada komentar: