Ayat di atas merupakan bekal utama bagi para aktivis dakwah di jalan Allah (dai), agar selalu semangat dan istiqamah, tidak pernah gentar dan getir, senantiasa menjalankan tugasnya dengan tenang, tidak emosional dan seterusnya. Ayat tersebut diletakkan setelah sebelumnya di awal surat Fushshilat Allah menggambarkan sikap orang-orang yang tidak mau menerima ajaran Allah. “Mereka mengatakan: hati kami tertutup, (maka kami tidak bisa menerima) apa yang kamu serukan kepadanya, pun telinga kami tersumbat, lebih dari itu di antara kami dan kamu ada dinding pemisah.” (Fushshilat: 5). Bisa dibayangkan bagaimana beratnya tugas dakwah jika yang dihadapi adalah orang-orang yang tidak mau menerima kebenaran, tidak mau diajak kepada kebaikan, lebih dari itu ia menyerang, memusuhi dan melemparkan ancaman. Setiap disampaikan kepada mereka ajaran Allah, mereka menolaknya dengan segala cara, entah dengan menutup telinga, menutup mata, atau dengan mencari-cari alasan dan lain sebagainya.
Dakwah di jalan Allah adalah kebutuhan pokok manusia. Tanpa dakwah manusia akan tersesat jalan, jauh dari tujuan yang diinginkan Allah swt. Para rasul dan nabi yang Allah pilih dalam setiap fase adalah dalam rangka menegakkan risalah dakwah ini. Di dalam Al-Qur’an, Allah swt tidak pernah bosan mengulang-ulang seruan untuk bertakwa dan menjauhi jalan-jalan setan. Tetapi manusia tetap saja terlena dengan panggilan hawa nafsu. Terpedaya dengan indahnya dunia sehingga lupa kepada akhirat. Dalam surat Al-Infithaar ayat 6 Allah berfirman: yaa ayyuhal insaan maa gharraka birabbikal kariim? (wahai manusia apa yang membuat kamu terpedaya, sehingga kamu lupa terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah?)
Dalam ayat lain: kallaa bal tuhibbuunal aajilah watadzaruunal aakhirah (sekali-kali tidak, sungguh kamu masih mencintai dunia dan meninggalkan akhirat) (Al-Qiyaamah: 20-21). Perhatikan bagaimana pahit getir yang harus ditempuh para pejalan dakwah. Sampai kapan manusia harus terus terombang-ambing dalam gemerlap dunia yang menipu kalau tidak ada seorang pun yang bergerak untuk melakukan dakwah? Di sini tampak bahwa tugas dakwah pada hakikatnya bukan hanya tugas para dai, melainkan tugas semua manusia yang mengaku dirinya sebagai hamba Allah –tak perduli apa profesinya– lebih-lebih mereka yang telah meletakkan dirinya sebagai aktivis dakwah.
Karenanya, persoalan dakwah bukan persoalan nomor dua, melainkan persoalan pertama dan harus diutamakan di atas segala kepentingan. Bila kita mengaku mencintai Rasulullah saw., maka juga harus mengaku bahwa berjuang di jalan dakwah adalah segala-galanya. Karena Rasulullah dan sahabat-sahabatnya tidak saja mengorbankan segala waktu dan hartanya bahkan jiwa raganya untuk dakwah kepada Allah. Bagi mereka rumah dan harta yang telah mereka bangun sekian lama di kota Makkah memang merupakan bagian dari kehidupan yang sangat mahal dan berharga. Tetapi mempertahankan iman dan menegakkan ajaran Allah di bumi adalah di atas semua itu. Karenanya mereka tidak pikir-pikir lagi untuk berhijrah dengan meninggalkan segala apa yang mereka miliki. Mereka benar-benar paham bahwa iman dan dakwah pasti menuntut pengorbanan. Karenanya dalam berbagai pertempuran para sahabat berlomba untuk melibatkan dirinya. Mereka merasa berdosa jika tidak ikut terlibat aktif. Tidak sedikit dari mereka yang telah gugur di medan tempur. Semua ini menggambarkan kesungguhan dan kejujuran mereka dalam menegakkan risalah dakwah yang taruhannya bukan hanya harta benda melainkan juga nyawa.
Dakwah Adalah Tugas Yang Sangat Mulia
Ayat di atas dibuka dengan pernyataan: waman ahsanu qawlan. Ustadz Sayyid Quthub ketika menfasirkan ayat ini berkata: “Kalimat-kalimat dakwah yang diucapkan sang dai adalah paling baiknya kalimat, ia berada pada barisan pertama di antara kalimat-kalimat yang baik yang mendaki ke langit.” (lihat fii dzilaalil qur’an, oleh Sayyid Quthub, vol.5, h. 3121). Kata waman ahsanu Allah ulang di beberapa tempat dalam Al-Qur’an untuk menegaskan tingginya kualitas beberapa hal: Pada surat An-Nisa ayat 125 Allah berfirman: waman ahsanu diinan mim man aslama wajhahahuu lillaah (siapakah yang lebih bagus agamanya dari pada orang yang menyerahkan diri kepada Allah). Dalam Al Maidah ayat 50: waman ahsanu minallahi hukmandakwah sangat Allah muliakan. Peringkatnya sangat tinggi, setara dengan kualitas hukum Allah dan penyerahan diri kepadaNya secara total. (siapa yang lebih bagus ajarannya dari pada ajaran Allah). Dan pada ayat di atas: Siapakah yang lebih bagus perkataannya dari pada perkataan para dai di jalan Allah? Perhatikan semua ayat-ayat tersebut secara seksama, betapa tugas
Adalah suatu keharusan seorang dai, menyerahkan hidupnya kepada Allah swt. Ia tidak kenal lelah menjalani tugas-tugas dakwah. Pun ia tidak mengharapkan keuntungan duniawi di baliknya, kecuali hanyalah ridhaNya. Dalam Surat Yasiin ayat 21 Allah berfirman: “Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” Toh kalaupun Allah membuka jalan rezeki baginya melalui jalan-jalan tak terduga “fadzaalika khairun ‘alaa khair“. Yang penting jangan sampai seorang dai orientasinya dunia. Sebab, bila seorang dai juga berorientasi dunia, kepada apa dia mau berdakwah, bukankah tema utama dakwah adalah ajakan untuk mempersiapkan diri menuju akhirat?
Berdakwah Dengan Amal
Ayat selanjutnya menegaskan pentingnya amal shalih: wa amila shaalihaa. Mengapa? Apa hubungannya dengan dakwah? Bahwa seorang dai jangan hanya ngomong saja, sementara perbuatannya jauh atau bahkan bertentangan dengan apa yang disampaikannya. Benar, bahwa perkataan dakwah adalah paling baiknya perkataan, tetapi itu kalau diikuti dengan amal shalih. Jika tidak, maka perkataan itu akan menjadi bumerang yang akan menyerang sang dai itu sendiri. Dalam Ash Shaf ayat 3 Allah berfirman: “Amat besar kebencian Allah, bila kamu hanya mengatakan tanpa mengerjakannya.”
Karenanya Rasulullah saw. tidak hanya berbicara, melainkan lebih dari itu seluruh perbuatannya merupakan contoh amal shalih. Allah swt. memberikan rekomendasi yang luar biasa dalam surat Al-Qalam ayat 4: “Dan sesungguhnya kamu (Mumhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” Imam Ibn Katsir ketika menafsirkan ayat ini menyebutkan riwayat dari Aisyah ra.: bahwa akhlak Rasulullah saw. adalah Al-Qur’an (lihat Tafsir Ibn Katsir, vol.4, h.629). Dalam hadits-hadits yang diriwayatkan para ulama tidak semua berupa ucapan Rasulullah saw., melainkan banyak sekali yang berupa cerita para sahabat mengenai perilaku dan sikap Rasulullah saw. Banyak sekali hadits-hadits yang berupa ucapan pendek, to the point, tidak bertele-tele, mudah dihafalkan. Suatu gambaran betapa keberhasilan dakwah Rasulullah saw. adalah karena setiap yang diucapkannya langsung ada contohnya dalam bentuk amal nyata dari sikap dan akhlaknya yang sangat mulia.
Menampilkan Diri Sebagai Seorang Muslim Adalah Dakwah
Di antara ciri utama berdakwah kepada Allah, tidak saja mengamalkan ajaranNya dan menjauhi segala yang dilarang melainkan lebih dari itu menampilkan diri sebagai seorang Muslim di manapun ia berada, Allah berfirman pada ayat berikutnya: wa qaala innanii minal muslimiin. Dengan kata lain tidak cukup seorang mengamalkan Islam hanya dengan shalat, membayar zakat dan menjalankan haji, sementara dalam hidup sehari-harinya tidak mencerminkan Islam, misalnya ia tidak merasa berdosa dengan mempertontonkan auratnya di mana-mana, bergandengan tangan dengan wanita bukan istrinya di depan banyak orang, melakukan kemaksiatan, kezhaliman, korupsi, judi, perzinaan dengan terang-terangan. Anehnya, dia merasa malu untuk menampilkan Islam dengan sebenar-benarnya. Ia tidak merasa bangga sebagai seorang muslim. Bahkan Islam yang dipeluk digerogoti ajarannya sedikit demi sedikit, dengan sikap memperdebatkan prinsip-prinsipnya yang sudah baku, mencari-cari dalil untuk membangun keraguan terhadap kebenaran Islam.
Seorang aktivis dakwah sejati selalu bangga dengan identitasnya sebagai seorang muslim. Ia tidak takut menampilkan Islam sebagai pribadinya. Sungguh krisis umat Islam di mana-mana kini adalah krisis keberanian untuk menampilkan wajah Islam yang sebenarnya. Islam mengajarkan kedisiplinan, kebersihan, dan akhlak mulia, tetapi umat Islam di mana-mana selalu terkesan jorok, kotor dan beringas. Islam mengajarkan kejujuran, dan ketegasan dalam menegakkan hukum, tetapi penipuan dan korupsi justru merebak di tengah masyarakat yang mayoritasnya umat Islam. Mengapa ini semua terjadi? Bukankah orang-orang non-muslim sudah sedemikian jauh menampilkan dirinya sebagai bangsa yang bersih, disiplin dan lain sebagainya?
Benar, jika kemudian saya mendengar penyataan salah seorang muallaf : “Saya masuk Islam bukan karena umat Islam, melainkan karena kebenaran Islam. Seandainya umat Islam mampu menampilkan Islam dengan sebenar-benarnya, niscaya mereka akan berbondong-bondong masuk Islam.” Bahkan ada ungkapan yang sangat terkenal dan diulang-ulang hampir dalam setiap seminar di dalam di luar negeri: al-Islam mahjuubun bil muslimiin (kebenaran Islam terhalang oleh orang-orang-orang Islam sendiri). Perhatikan realitasnya, apa yang sedang berlangsung dalam diri umat Islam di mana-mana. Ya, kalau tidak berperang di antara mereka sendiri, mereka dizhalimi oleh pemimpinnya sendiri yang mengaku muslim.
Karenanya menampilkan Islam secara jujur dalam diri sebagai pribadi, dalam rumah tangga, dalam bermasyarakat dan dalam berbangsa dan bernegara adalah sebuah keniscayaan, dan menurut ayat di atas termasuk perbuatan yang sangat baik dan mulia. Oleh sebab itu pada ayat berikutnya Allah mengajarkan agar seorang dai selalu menyadari posisinya yang sangat mulia. Jangan sampai –karena suatu saat kelak menghadapi cobaan berupa munculnya orang-orang yang menolak dakwahnya dan lain sebagainya– ia kemudian emosional. Sehingga perkataannya lepas kontrol, lalu membalas cercaan mereka dengan cercaan. Atau lebih dari itu ia kemudian putus asa, lalu menjadi lesu dan patah arang. Akibatnya dakwah yang sangat Allah muliakan, ia lalaikan begitu saja.
Tidak, tidak demikian pribadi seorang aktivis dakwah. Seorang aktivis dakwah selalu menjiwai ayat ini: walaa tastawil hasanatu walas sayyi’ah. Benar, tidak akan pernah sama antara kebaikan dan keburukan. Kata-kata dakwah tetap lebih mulia dari kata-kata pencerca. Pertahankan kata-kata yang baik itu untuk terus menghiasi lidah sang dai. Jangan sampai terpengaruh emosi para pencerca lalu ditukar menjadi cercaan pula. Karenanya Allah ajarkan konsep: idfa’ billatii hiya ahsan, balaslah dengan ucapan yang lebih baik dan dengan cara yang lebih baik. Kata ahsan juga diulang pada ayat lain: wajadilhum billatii hiya ahsan, suatu sikap yang harus selalu menghiasi pribadi seorang dai setiap saat dan di manapun ia berada, lebih-lebih saat menghadapi penolakan, cercaan dan makian. Di saat seperti itu seorang dai, harus benar-benar tampil sempurna, bijak dan tenang. Mengapa? Sebab ia membawa misi Allah Yang Maha Perkasa. Maka ia harus selalu yakin dan percaya diri dengan posisinya. Tidak usah minder apalagi rendah diri.
Bahkan pada ayat selanjutnya Allah mengajarkan agar ia selalu tampil dengan penuh persahabatan, sekalipun mereka mencerca dengan penuh permusuhan. Perhatikan bagaimana Allah mengajarkan cara berdakwah yang efektif, di mana kemudian cara ini menjadi salah satu pilar utama dalam ilmu komunikasi modern. Setelah itu Allah menegaskan bahwa untuk itu semua seorang dai tidak cukup hanya dengan bermodal semangat, melainkan lebih dari itu harus mempunyai sifat sabar dan selalu memohon kepada Allah agar mendapatkan nasib yang baik, di dunia dan di akhirat. Tanpa sifat sabar dan doa untuk memperoleh nasib yang baik, segala proses akan menjadi sia-sia. Sebab segala kemenangan tidak akan pernah dicapai tanpa pertolonganNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar