Pernyataan yang sudah menjadi rahasia umum itu bisa dipahami sebagai sebuah bentuk kebingungan dalam mempertegas posisi Indonesia. Sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim, Indonesia masih enggan—mungkin tepatnya khawatir—untuk mendeklarasikan diri sebagai negara sekular. Jika berani mempertegas posisinya sebagai negara sekular, sudah dipastikan bahwa itu harga yang harus dibayar mahal dan akan muncul gelombang protes dari kalangan kaum Muslim.
Akan tetapi, masalahnya sebuah negara tidak mungkin tidak memiliki sistem pemerintahan. Itu sebabnya, ketika didesak dengan pertanyaan, “Jika bukan negara sekular, apakah Indonesia adalah negara agama?” Pertanyaan ini pun ibarat peluru tajam. Tidak bisa begitu saja dijawab. Namun, anehnya pernyataan yang muncul adalah, “Indonesia bukan negara agama!”
Mengapa takut mempertegas diri sebagai negara agama? Sudah menjadi rahasia umum pula, bahwa konstelasi politik dunia tengah disibukkan dengan persoalan gawat bernama terorisme. Mengapa terorisme? Karena paham ini disinyalir lahir dari gerakan fundamentalis yang sangat ditakuti Barat. Itu sebabnya, jika berani memproklamirkan diri sebagai negara agama, khususnya Islam, maka sudah pasti Indonesia dicap sebagai negara pro fundamentalis. Sudah cukup menjadi bukti pernyataan Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew, yang pernah melontarkan kritikan pedas bahwa Indonesia adalah sarang teroris pasca Tragedi WTC 11 September 2001.
Bagaimana seseungguhnya duduk perkaranya? Apalagi pernyataan para elit politik lebih sebatas klaim yang tentu saja tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pernyataan itu bersifat politis belaka. Lalu dari mana kita bisa menilai sebuah negara menganut ideologi tertentu?
Memperjelas Definisi
Definisi memang penting. Itu sebabnya, Ibn Sina pernah berkomentar, “Tanpa definisi, kita tidak akan pernah bisa sampai pada konsep.” Karena itu, definisi, menurut filosof Iran itu, sama pentingnya dengan silogisme (baca: logika berpikir yang benar) bagi setiap proposisi (dalil atau pernyataan) yang kita buat.
Sekularisme sendiri sejarahnya cukup panjang. Sejarah awal pemisahan agama dari pemerintahan (sekularisme) dimulai ketika Kaisar Romawi, Constantine I (288-337M) memeluk agama Kristen. Sebelum pemelukan agama oleh Constantine, kalangan Kristen berhukum dengan agama mereka dalam semua perkara. Namun, setelah Constantine memeluk agama Kristen, berkembang pemikiran untuk menyebarluaskan agama tersebut sekaligus sebagai upaya merebut hati Constantine. Itu sebabnya, para rahib Nasrani membuat semacam fatwa yang bertujuan memisahkan agama dari pemerintahan dengan berdalilkan kata-kata Yesus: Pertama, serahkan hak Kaisar kepada Kaisar dan hak Allah kepada Allah. Kedua, kerajaan aku bukanlah di alam ini.
Pada tahun 325 M, Constantine menyatakan bahwa agama Kristen sebagai agama resmi Kekaisaran Roma. Dengan demikian, kehidupan manusia terbagi menjadi dua: Pertama, keagamaan, ibadah; yakni hak Tuhan. Kedua, ‘keduniaan’ dan undang-undang yang merupakan hak Kaisar (pemerintah).
Beberapa kalangan dari politisi, sejarawan, dan budayawan Inggris menyebutkan bahwa sekularisme adalah produk dari masyarakat Kristen yang didefinisikan sebagai reaksi atau gerakan penentangan.[1]
Untuk memudahkan, definisi yang paling masyhur secara istilah menyatakan bahwa sekularisme adalah “memisahkan agama dari negara”. Sufur bin Abdul Rahman al-Hawali menyatakan bahwa sekularisme adalah: “Membangun kehidupan bukan berdasarkan agama, baik dalam sebuah negara ataupun bagi seorang individu”.[2]
Melengkapi definisi ini, dalam bahasa Prancis, sekular juga dikenal sebagai laicisme. yakni satu doktrin yang benar-benar bebas dan tidak bercampur dengan agama. Ia melibatkan kepercayaan bahwa peranan atau fungsi yang biasa dilaksanakan oleh kaum rohaniwan, seharusnya dipindahalihkan pada negara, terutama di dalam bidang perundangan dan pendidikan.[3]
Sementara tu, untuk negara agama, ia sering dipahami sebagai negara yang berlandaskan pada doktrinasi agama tertentu yang berkuasa atas jalannya pemerintahan suatu negara. Banyak kalangan mengkhawatirkan masalah ini, bahkan menilainya dengan ketakutan yang sangat berlebihan. Menurut mereka, negara agama akan menciptakan kekuasaan yang otoriter atas nama agama tertentu untuk menutup ruang gerak pemeluk agama lain, yang akan menyuburkan perseteruan tiada akhir.
Kekhawatiran itu antara lain muncul dalam bentuk pernyataan yang menganggap bahwa warga non-Muslim, misalnya, akan menjadi warga kelas dua. Dijelaskan pula bahwa negara agama, dalam hal ini negara Islam, tidak mungkin sesuai dengan prinsip equal opportunity bagi semua warga negara. Dalam negara Islam, hukum Islam menjadi konstitusi negara. Pemimpin politik nasional mustahil datang dari agama yang berbeda dari Islam. Orang yang bukan Islam menjadi warga negara kelas dua, karena sistem tidak memungkinkannya menjadi pemimpin nasional, yang akan tunduk pada hukum Islam (bagaimana mengharapkan hukum Islam dijalankan oleh orang yang tidak percaya pada hukum Islam karena tidak beragama Islam).[4]
Bahkan sering ada labelisasi bahwa para penggagas negara agama adalah mereka yang berasal dari kalangan garis keras. “Ketidakjelasan hubungan agama dengan negara termaktub dalam al-Quran, yang tidak memberikan suatu pola teori kenegaraan yang pasti yang harus diikuti oleh umat Islam di berbagai negeri. Namun demikian, paradigma penyatuan antara Islam dan negara diambil oleh kelompok Islam radikal. Bagi mereka, Islam sebagai agama diyakini memiliki seluruh perangkat kenegaraan yang tegas dan jelas. Keyakinan ini mendasari adanya paradigma hubungan agama dan negara secara integratif,” papar Khamami Zada. [5]
Dari beberapa penjelasan ini, Indonesia sebetulnya sudah bisa disebut sebagai negara sekular. Alasannya, melihat kenyataan di lapangan, negeri ini sudah sedemikian bergantungnya pada sistem sekularisme yang merupakan ‘akidah’ dari kapitalisme ini. Jikapun muncul pernyataan yang menolak disebut negara agama dan negara sekular, itu hanya sebatas menjaga perasaan warga negaranya saja. Padahal, pada kenyataannya, masyarakat kita pun sudah terbiasa dengan gaya kehidupan masyarakat sekular yang berciri utama kebebasan dan tidak melibatkan agama dalam penyelesaian problem kehidupan. Ini merupakan tabiat utama sekularisme. Itu sebabnya, pantas jika sekularisme disebut sebagai ‘akidah’ yang meminggirkan kedaulatan Ilahi demi kepentingan manusia.
Mereformasi Negara Sekular
Mungkinkah mereformasi sebuah negara sekular? Jawabannya, mungkin dan bisa dilakukan. Dalam tataran konsep pemahaman keagamaan pun, Nurcholis Madjid pernah mereformasi keyakinan umat tentang Islam. Dengan semboyannya yang terkenal di era 70-an, “Sekularisme Yes, Islam No!” Cak Nur, panggilan akrab penarik gerbong sekularisme ini, berhasil membutakan akal sehat sebagian besar umat Islam negeri ini. Hasilnya, pembelaan terhadap sekularisme meningkat, dan pengucilan terhadap Islam menjadi-jadi.
Itu sebabnya, kita pun bisa mengubah negara sekular dengan Islam. Kita hanya membutuhkan usaha bersama, kerja keras, dan konsep yang jelas tentang negara Islam sekaligus mengetahui titik lemah sekularisme.
Untuk mengetahui titik lemah sekularisme, kita bisa melihat produk sistem kehidupan buatan manusia ini. Kegagalan demi kegagalan senantiasa menjadi bukti betapa lemahnya sistem ini untuk mengatur kehidupan umat manusia. Lihatlah angka kriminalitas yang meningkat tajam, ekonomi yang carut-marut, bahkan bidang politik dan keamanan negara yang semrawut. Ideologi ini sudah cacat sejak lahir. Betapa tidak, ‘kenekatannya’ untuk ngotot memisahkan agama dari negara adalah sebuah kekeliruan terbesar yang dilakukan para penggagas sekularisme.
Padahal dalam Islam, agama dan negara merupakan relasi yang harmonis dalam menciptakan konsep kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Akidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan qadar (takqdir) Allah. Akidah ini merupakan dasar ideologi Islam yang darinya terlahir berbagai pemikiran dan hukum Islam yang mengatur kehidupan manusia. Akidah Islamiyah menetapkan bahwa keimanan harus terwujud dalam keterikatan terhadap syariat, yang cakupannya adalah segala aspek kehidupan. Itu artinya, pengingkaran terhadap sebagian saja dari hukum Islam (seperti yang terwujud dalam sekularisme) adalah suatu kebatilan dan kekufuran yang nyata. Allah Swt. berfirman :
]فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ[
Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) dalam semua perkara yang mereka perselisihkan.” (QS an-Nisaa’ [4]: 65).
]وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ[
Siapa saja yang tidak memberi keputusan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir. (QS al-Maidah [5]: 44).
Dengan demikian, seluruh hukum Islam wajib diterapkan bagi manusia, sebagai tindakan nyata adanya iman dan akidah islamiyah. Masalahnya, karena hukum-hukum Islam tidak bisa diterapkan dengan sempurna kecuali jika ada intitusi negara, maka keberadaan negara dalam Islam adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar lagi. Singkatnya, agama tidak dapat dipisahkan dari negara. Agama mengatur seluruh aspek kehidupan melalui negara yang terwujud dalam konstitusi dan segenap undang-undang yang mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Dengan melihat kenyataan seperti ini, rasanya pantas untuk mengingatkan para penggagas dan pejuang sekularisme, bahwa kini saatnya Anda harus berhenti berharap untuk mewujudkan negara adil, makmur, aman, dan sejahtera di bawah naungan kapitalisme-sekularisme. Anda terlalu berkobar semangat, terlalu redup konsep! Wallâhu a‘lam. []
Diambil dari tulisannya O. sholihin
[1] Encyclopedia of Religion and Ethnics, James Hasting and T
[2] al-‘Ilmaniyah Nasyatuha Ma Tatawwaruha Wa Atharuha Fi al-Hayah al-Islamiyah al-Mu’asharah (Sekularisme, kemunculan, perkembangan dan pengaruhnya terhadap kehidupan Islam modern), Sufur bin Abdul Rahman Al-Hawali).
[3] The Dictionary of Political Thought, Roger Scruton 1983.
[4] Pernyataan Denny JA dalam arsip diskusi www.islamlib.com. Pembahasan: Teologi Negara Sekular: Substansi dan Metodologi.
[5] Kompas, 4 November 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar