Bila kepercayaan adalah aspek jiwanya, maka janjilah aspek raganya. Bila kepercayaan adalah ruhnya, maka janji adalah jasadnya. Bila kepercayaan adalah kekuatan batin, maka janji adalah penopang lahirnya. Bila kepercayaan adalah ikatan putihnya, maka janjilah bukti hitamnya.Begitulah seterusnya.
Maka sepenggal janji adalah harga yang mahal untuk sebuah kepercayaan. Sebab janji yang tidak bisa dipercaya, atau janji yang tak ada kepercayaan di dalamnya, ibarat buah yang ranum kulitnya, tapi kopong di dalamnya. Tak ada buahnya yang bisa dimakan. Janji yang tak ada kepercayaan di dalamnya, tidak akan memberi manfaat, seperti sebutir buah, tak ada yang mau memakan kulitnya.
Dalam banyak kasus, janji menjadi semacam `uang muka’ bagi segala bentuk hubungan sosial di antara kita. Selebihnya baru bisa dikatakan lunas, bila memang janji-janji itu dipenuhi.
Maka Islam mengajarkan moralitas janji, dari dua arah yang sangat dominan. Arah pertama bahwa janji harus selalu digantungkan kepada masyiah Allah, kehendak dan izinNya. Maka kita diharuskan mengiringi setiap janji, bahkan setiap rencana, dengan mengucapkan Insya Allah. Allah SWT berfirman, "Dan janganlah sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi. Kecuali (dengah menyebut) Insya Allah. ‘ Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kumu lupa dan katakanlah, ‘Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada yang ini." (QS. Al-Kahfi: 23 - 24).
Moralitas janji seperti ini menegaskan kepada kita, bahwa kita tidak akan bisa melakukan apa saja kecuali atas izin Allah. Mengucapkan Insya Allah mengajari kita tentang etika tahu diri seorang manusia yang tak mengerti akan takdir apa esok hari. Kenyataan ini memberi bobot lebih pada beratnya nilai sebuah janji.
Moralitas kedua dari sisi penuaiannya. Janji janji itu harus ditepati, dalam kadar ikhtiar manusiawi yang maksimal. Maka seorang Muslim menjadi mengerti bahwa janji adalah pertaruhan diri. Kesetiaan pada janji adalah kehidupan. Sebab dengan itu interaksi kita dengan sesama bisa berjalan. Dengan kepercayaan itu pula kesenjangan bisa dihindarkan, sebab hak-hak ditunaikan kepada yang memiliki. Dengan kepercayaan itu pula, etos prestasi, kehendak berkarya dan dorongan beramal serta keinginan kuat untuk memberi manfaat bagi kehidupan akan menemukan ledakan-ledakan aktualisasinya.
Begitulah dahulu para salafusshalih mengajarkan kepada kita. Maka bagi mereka, janji telah meningkat kadarnya dari soal kepercayaan menjadi kesetiaan. Pada saat kepercayaan telah mengkristal menjadi kesetiaan, maka kesiapan jiwa menanggung beban janji akan lebih kuat. Seperti seorang Muslim. Mengucapkan dua kalimat syahadat adalah janji keislarnannya. Menunaikan rukun Islam adalah pembuktian kepercayaannya. Tapi kesetiaanlah yang akan memberinya umur bagi pembuktian janji itu. Seperti yang dilakukan seorang sahabat terkenal, Abu UbaidahAmir ibnul Jarrah. Semenjak mengulurkan tangannya, berbaiat dan bersumpah setia kepada Rasulullah, ia sadar bahwa hidupnya akan dibaktikan sepenuhnya di jalan Allah. Ia telah mengikrarkan janji itu. Lalu ia membuktikan bahwa dirinya bisa dipercaya. Ia bekerja dengan tulus.
Setelah itu segalanya berubah menjadi kesetiaan abadi. Maka di Uhud yang mengerikan, Abu Ubaidah menjadi tameng Rasulullah. Ia mencabut mata rantai yang menempel di pipi Rasulullah dengan giginya. Gigi Abu Ubaidah pun ompong. Di momen itu pula ia bisa mendahului Abu Bakar, dalam soal berlomba bersegera kepada kebaikan. Abu Bakar mengisahkan, "Di waktu Perang Uhud berkecamuk dan Rasulullah terkena anak panah hingga dua buah rantai ketopong masuk ke kedua belah pipinya bagian atas, saya segera berlari mendapatkan Rasulullah. Kiranya ada seorang yang datang bagaikan terbang dari jurusan timur. Maka aku berkata, `YaAllah semoga itu merupakan pertolongan.’ Tatkala aku sampai kepada Rasulullah, kiranya orang itu adalah Abu Ubaidah yang telah mendahuluiku ke sana."
Kesetiaan itu telah menjadikan Abu Ubaidah sebagai kepercayaan Rasulullah. Suatu ketika datang utusan Najran dari Yaman yang menyatakan masuk Islam. Mereka lantas meminta kepada Rasulullah seorang guru untuk mengajar Al Quran di sana. Rasul pun berjanji, bahwa besok akan mengirim seorang yang syakhsiyah Islamiyahnya terpercaya. Kalimat itu sampai diulangnya tiga kali. Mendengar itu Umar amat tertarik dan berharap kata-kata itu akan menjadi miliknya. Tapi sehabis shalat Dzuhur berjamaah meski Umar telah berusaha mengulurkan badan agar kelihatan oleh Rasulullah, ternyata Abu Ubaidah yang terpilih. Itulah makna hadits Rasulullah, "Sesungguhnya setiap ummat mempunyai orang kepercayaan, dan sesungguhnya kepercayaan ummat ini adalah Abu Ubaidah Ibnul Jarrah."
Sepanjang hidupnya, Abu Ubaidah dengan setia menemani perjuangan Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar bin Khattab hingga wafatnya. Ketika terbetik bahwa Abu Ubaidah wafat, Umar menangis dan mengenang masa-masa perjuangan yang indah bcrsamanya. Bahkan kenangan itu tak hilang hingga saat Umar hendak menghembuskan nafas terakhirnya. Ia sempat berkata, "Seandainya Abu Ubaidah masih hidup, tentu ia di antara orang-orang yang akan aku angkat sebagai penggantiku. Dan jika Tuhanku menanyakan hal itu, niscaya akan aku jawab, ‘Aku angkat kepercayaan Allah dan kepercayaan Rasul-Nya. "’
Begitulah para salafusshalih meniti puncak tangga jati diri (syakhsiyah Islamiyah). Pada mulanya memang janji, lalu kepercayaan. Setelah itu kesetiaan abadi, sepanjang hayat masih dikandung badan.
Hanya ketika kemudian manusia menemukan cara-cara baru untuk berlaku licik, semakin pandai mencari-cari alasan, selalu mencari-cari model baru pengkhianatan, saat itulah janji-janji menjadi segunung sampah. Tak ada kepercayaan, apalagi kesetiaan. Orang tidak lagi mengenal janji yang memiliki ruh. Sebab janji telah dikotori di panggung politik, oleh para pembual yang menjual mimpi kepada rakyat. Janji telah dikotori di jagat kriminal, di belantara birokrasi yang buruk, di rumah-rumah yang kumuh moralnya, di pertemanan hubungan sosial yang penuh kenaifan lantaran perasaan enak ngga enak (sungkan), juga di jalan-jalan hidup yang brutal. Bahkan janji dalam ikatan perkawinan pun, kini sudah tak lagi punya makna. Janji pernikahan itu tak berisi kepercayaan, apalagi meningkat menjadi kesetiaan. Orang dengan mudah mengkhianatinya atas narna cinta. Padahal bukan cinta, tetapi hasrat hawa nafsu.
Di dalam lubuk keimanan, janji janji bagi seorang Mukmin adalah kontrak-kontrak spiritual dengan Tuhannya. Meski format aplikasinya bermacam bentuk. Janji itu adalah ketakwaan, yang menjadi penghantar bagi petunjuk jalan dan ampunan. Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan dan menghapuskan kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosamu). Dan Allah mempunyai karunia yang besar." (QS. Al-Anfal: 29)
Mengenai ayat ini Sayyid Qutb berkata dalam tatsirnya, "Inilah bekal itu. Bekal dalam mengarungi perjalanan yang panjang. Yaitu bekal takwa yang menghidupkan hati dan membangunkannya. Bekal cahaya yang memberi petunjuk bagi hati untuk membelah sudut-sudut jalan sepanjang penglihatan manusia. Cahaya ini tidak bisa ditipu oleh syubhat-syubhat yang mata biasa tidak bisa rnenembusnya. Itulah bekal ampunan bagi segala dosa. Bekal yang memberikan ketenteraman, kesejukan dan kemantapan. Dan bekal merenungi nikmat-nikmat Allah Yang Maha Agung di hari ketika bekal-bekal itu dibutuhkan dan di hari amal perbuatan manusia berkurang."
Maka, mulailah berjanji dengan benar, janji yang punya ruh kepercayaan, lalu hidup panjang dengan kesetiaan. Sebagai orang yang beriman. Sungguh, membangun kepercayaan bukan hal yang mudah, tapi akan lebih tidak mudah lagi ketika kita mencoba membangun kepercayaan di atas puing-puing runtuhan ketidak-percayaan dan ketidak-setiaan. Wallahu’alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar