Di bawah naungan ajaran Islam, pernikahan sepasang insan suami istri menjalani hidup mereka dalam satu perasaan, menyatunya hati dan cita-cita. Namun adakalanya pernikahan harus berjalan di atas kerikil. Apalagi saat pandangan mulai berbeda, tujuan tak lagi sama. Mempertahankan keutuhan dan keharmonisan rumah tangga terasa tak lagi mudah. Di mata kita pasangan selalu serba salah dan penuh kekurangan.
Keluarga Samara
Pernikahan adalah fitrah kemanusiaan. Karenanya Islam menganjurkan, sebab nikah merupakan gharizah insaniyah. Sebagaimana Allah berfirman,
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (Ar-Ruum : 30).
Islam memberi penghargaan tinggi pada pernikahan dan Allah menyebutnya sebagai ikatan yang kuat. Dalam al-Quran surat An Nisaa : 21
“… dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”
Demikian agungnya ikatan pernikahan hingga sebanding dengan separuh agama. Begitulah, keputusan dua insan berbeda untuk menikah tentunya dengan pertimbangan matang, faham dan tahu tujuan dari pernikahan. Mengerti betul perbedaan akan disatukan dalam perkawinan. Hingga pemahaman-pemahaman dari ini diharapkan akan membawa pada keharmonisan dan kelangsungan pernikahan pada keabadian.
Pernikahan adalah bangunan yang bertiang Adam dan Hawa yang membangun kecintaan dan kerjasama, penuh mawadah, ketenteraman, pengorbanan, dan juga hubungan rohani yang mulia dan keterikatan jasad yang disyariatkan.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." (Ar-Ruum :21).
Ayat ini merupakan pondasi kehidupan yang diliputi suasana perasaan yang demikian sejuk. Istri ibarat tempat bernaung bagi suami setelah seharian bekerja keras. Penghiburnya di saat lelah. Suasana rumah yang penuh belas kasih hingga menumbuhkan ketenteraman. Sebaliknya suami yang baik akan memberikan timbal balik yang sama.
Suami sebagai pemimpin rumahnya dengan bantuan dan dukungan istri akan bertindak sebijaksana mungkin mengatur rumah tangganya tanpa harus bersikap otoriter. Dan jika tugas suami istri berjalan seimbang maka akan memberi ketenteraman dan kemantapan dalam hubungan suami istri. Dan anak-anak yang tumbuh dalam “lembaga” yang bersih ini akan tumbuh dengan baik. Sebab individu yang bernaung di dalamnya tahu hak dan kewajibannya sebagaimana sabda Rasulullah n,
“Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggungjawab atas yang dipimpinnya.”
Maka tak heran kalau keluarga harmonis yang saking penuh mawadah warahmah akan mudah diwujudkan. Insyaallah.
Hak dan kewajiban suami istri
Kesan terbaik yang tertangkap dari rumah tangga Nabawi adalah terjaganya hak dan kewajiban dalam hubungan suami istri. Bahkan hak itu tetap diperoleh Khadijah dari Rasulullah meski Khadijah telah wafat hingga membuat Aisyah cemburu. Padahal Aisyah tak pernah berjumpa dengannya. Hal itu semua karena Rasulullah sering mengingat kebaikan dan jasanya.
Keharmonisan dalam rumah tangga akan dengan sendirinya terwujud jika pihak suami atau istri tahu hak dan kewajiban masing-masing. Rasa kasih dan sayang sebagai fitrah Allah di antara pasangan suami dan istri akan bertambah seiring dengan bertambahnya kebaikan pada keduanya. Sebaliknya, akan berkurang seiring menurunnya kebaikan pada keduanya. Sebab secara alami, jiwa mencintai orang yang memperlakukannya dengan berbuat baik dan memuaskan untuknya, termasuk melaksanakan hak dan kewajiban suami istri.
Suami memiliki hak yang besar atas istrinya. Di antara hak itu misalnya:
Menjaga kehormatan dan harga dirinya, mengurusi anak-anak, rumah dan hartanya saat suami tak ada di sisinya. Allah l berfirman :
“….. wanita yang shalihah adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri saat suaminya tidak ada karena Allah telah memelihara mereka…… “ (An Nisa: 34).
Dalam haditsnya Rasulullah bersabda,
“Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya.” (Riwayat Bukhari Muslim).
Berpenampilan menyenangkan di depan suami dan bersikap manis. Sebagaimana Rasulullah bersabda,
“Sebaik-baik wanita adalah yang bisa membuatmu senang saat engkau pandang, menaatimu saat engkau perintah dan menjaga dirinya dan hartamu saat engkau tinggal.” (Riwayat Tabrani)
Hak lain suami adalah tidak mengizinkan istri memasukan orang yang dibenci suami, menjaga rahasia suami istri termasuk dalam urusan ranjang, berusaha menjaga kelanggengan bahtera rumah tangga, tidak meminta cerai tanpa sebab syar’i.
Dari Tsauban, Rasulullah berkata, “wanita manapun yang minta cerai kepada suami tanpa sebab, maka haram baginya mencium bau surga”. (Riwayat Tirmidzi, Abu Daud).
Selain itu istri harus banyak bersyukur dan tidak banyak menuntut. Perintah ini sangat ditekankan Islam, bahkan ancaman Allah tak akan melihatnya pada hari kiamat kelak jika istri berbuat demikian.
“Sesungguhnya Allah tidak akan melihat kepada seorang wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya dan dia selalu menuntut (tidak pernah merasa cukup)”
Masih banyak hak-hak suami atas istrinya. Di samping itu suami pun harus memberikan hak istrinya serta menjalankan kewajibannya. Di antaranya adalah memberi makan pada istri apabila ia makan, memberikannya pakaian, tidak memukul wajah istri, tidak menjelek-jelekkan kekurangannya, tidak meninggalkan istri melainkan di dalam rumah, memperlakukan dengan lembut dan menggaulinya dengan baik.
Selain suami memiliki kewajiban memberi nafkah lahir batin, suami berkewajiban mengajarkan ilmu agama apalagi ia memegang kepemimpinan dalam rumah tangga. Hingga ia pun wajib membekali diri dengan ilmu yang syar’i, dengan demikian ia akan mampu membawa keluarganya, istri dan anaknya dalam kebaikan. Jika ia tidak sanggup, mengajar mereka, suami harus mengajak mereka menuntut ilmu syar’i bersama ataupun menghadiri majelis-majelis ilmu. Suami pun harus memberi teladan baik dalam mengemban tanggung jawabnya dan atas apa yang dipimpinnya.
Menerima Kekurangan dan Kelebihan
Kita melihat bagaimana al-Qur’an membangkitkan pada diri masing-masing pasangan suami istri suatu perasaan bahwa masing-masing mereka saling membutuhkan satu sama lain dan saling menyempurnakan kekurangan.
Ibaratnya wanita laksana ranting dari laki-laki dan laki-laki adalah akar bagi wanita. Karena itu akar selalu membutuhkan ranting dan ranting selalu membutuhkan akar. Sebagaimana firman Allah dalam al-A’raf 189,
“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya.”
Karena itu, pernikahan tak hanya menyatukan dua manusia berbeda tapi juga menyatukan dua perbedaan, kelebihan dan kekurangan sepasang anak manusia. Dimana masing-masing akan saling mengisi dan melengkapi kekurangan satu dengan yang lain. Sementara menjadikan kelebihan masing-masing untuk merealisasikan cita-cita pernikahan sesungguhnya.
“Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (al Baqarah : 187).
Dengan memahami hal ini, kehidupan rumah tangga akan tenteram. Dan tenang berlayar, sangat mustahil ditemukan sepasang suami istri yang sempurna segala sesuatunya. Yang bisa dilakukan adalah dengan jalan saling memahami dan menghargai satu sama lain.
Menerima apa adanya kekurangan atau kelebihan pasangan. Tidak membandingkan pasangan kita dengan yang lain. Karena hal-hal seperti ini tidak akan membuat nyaman hubungan namun hanya akan menjadikan kita makin sensitif dengan segala perbedaan. Dan sekali lagi memaafkan semua kekurangan pasangan adalah lebih baik. Hargailah segala kelebihannya. Dan berterima kasihlah atas semua yang telah dikerjakan dan diberikan pasangan pada kita. Insyaallah ini akan membuat makin manisnya hubungan dengan pasangan.
Mungkin ada hal-hal yang tak kita sukai pada pasangan kita, namun bukanlah masih ada hal-hal baik yang kita sukai dan lihat ada padanya? Kita harus bijaksana menyikapi hal ini.
Kita tak perlu berpura-pura dan menutupi kekurangan kita hanya karena takut tak sempurna di hadapan si dia. Karena bisa saja justru hal ini akan menyeret kita pada hal-hal berbahaya. Moralnya saja dengan berbohong menjanjikan ini dan itu serta janji setinggi langit. Padahal kita tahu tak akan bisa memenuhinya. Jika pasangan tahu tentu ia akan marah dan jengkel hingga membuahkan pertengkaran dan hal-hal buruk lain. Bukanlah lebih baik kita selalu tampil apa adanya, karena itu tak akan membebani kita ?
Sungguh, jika si dia benar-benar mencintai kita tentu dia akan menerima kita apa adanya. Mau menerima kekurangan dan kelebihan kita. Tanpa basa-basi. Yang perlu diingat kita selalu berusaha memberikan yang terbaik untuknya, semampu kita. Insyaallah di rumah kita. (ummu fatimah ahmad).http://majalah-nikah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar