oleh : Widayati Endah
Sebuah gerobak, dilengkapi terpal berwarna orange dan bangku berukuran
1,5 meter. Meski kecil, namun tempat itu kini menjadi tempat favorit
yang sering kukunjungi. Meski berjarak 1 kilo meter dari tempat kos,
namun aku rela berjalan kaki pulang pergi, sambil olahraga pagi. Tentu
tujuanku tidak hanya untuk mendapatkan Kupat Tahu Petis yang dijual di
warung mini ini. Sebab, sebenarnya banyak penjual makanan serupa yang
letaknya lebih dekat dan mudah terjangkau. Entahlah, ada keterikatan
hati yang membuatku merasa nyaman untuk datang, lagi dan lagi.
Untuk mencari tempat langganan makanan, jujur, aku termasuk yang
pilih-pilih. Namun bicara kriteria, mungkin agak lain dari kebanyakan
orang. Menjadi kebiasaanku untuk mendahulukan pedagang yang berjilbab,
agar lebih memastikan makanan yang dijual aman kehalalannya. Faktor
kedua yang menjadi penentu adalah kebersihan tempatnya. Sedangkan
masalah harga dan rasa, menjadi alasan berikutnya. Bagiku, makanan
enak akan menjadi kurang nikmat jika kebersihannya diragukan, apalagi
kehalalannya.
Perkenalan dengan warung mini itu berawal pada sebuah Minggu pagi.
Sambil berjalan-jalan, terihat olehku seorang ibu berjilbab dengan
anak gadis yang nampak akrab menyiapkan dagangannya. Sang ibu berwajah
lembut, namun terlihat gesit memainkan perannya. Sang gadis dengan
penuh cinta membantu pekerjaan ibunya. "Wow, tidak ada salahnya
dicoba," hati kecilku berteriak memberi perintah kaki untuk berbelok.
Awalnya, gerobak yang bertuliskan "Kupat Tahu Petis dan Sayur" ini
enggan kudekati, mengingat posisinya yang tepat di depan alun-alun
Banjaran, dan ramai dilewati angkot.Apa boleh buat, keharmonisan ibu
dan anak itu lebih kuat mendorongku untuk mendekat.
Pada kunjungan pertama, aku menikmati keakraban ibu anak itu. Bahu
membahu menyajikan Kupat Tahu untuk pembeli. Begitu sepi, si ibu juga
membuatkan menu serupa untuk gadisnya dengan mesra. Awalnya aku
berpikir bahwa ibu tersebut single parent. Ternyata dugaanku meleset.
Beberapa kunjungan berikutnya, aku bertemu dengan suaminya, yang juga
ramah kepada pembeli.
Mungkin tidak banyak yang mengetahui latar belakang mereka yang
sesungguhnya. Hingga menjadi kesyukuran bagiku bisa mengenal seluruh
personil keluarga ini : pak Tamara, Ibu Endang,Icha dan Toni. Tidak
hanya lezatnya makanan yang kurasakan, tapi lebih dari itu. Banyak
cerita yang penuh hikmah kudapatkan dari mereka. Aku seperti memiliki
keluarga baru di sini. Semakin mengenal, semakin akrab, dan semakin
kagum. Inilah potongan kisah mereka...
Ialah Pak Tamara, siapa sangka, penjual Kupat Tahu petis ini adalah
pensiunan Tentara. Lelaki sederhana berusia 58 tahun ini, sempat
merasakan mewahnya hidup. Bertahun-tahun lamanya tinggal di Jerman,
bekerja di Kedutaan, dengan berbagai fasilitas yang luar biasa. Naik
pesawat dan empuknya mobil menjadi kesehariannya. Sebelum mengenal bu
Endang, pak Tamara pernah menikah dengan perempuan Jerman, anak
seorang Ustadz. Sayangnya, selama 17 tahun usia pernikahannya, beliau
tidak mendapatkan keturunan. Menurut prediksi beliau, besar
kemungkinan dipengaruhi kebiasaan merokok sang istri, yang terbawa
tradisi perempuan Jerman. Ketika pak Tamara mendapat kesempatan pulang
ke Indonesia, istrinya menolak menyertainya. Apalah daya, bahtera
rumah tangga itu pun kandas pada akhirnya.
Pulang ke Indonesia, pak Tamara mengenal seorang perempuan lembut
penuh keibuan. Ialah Bu Endang, yang waktu itu berusia 30 tahun.
Awalnya bu Endang juga menolak lamaran pak Tamara, setelah melihat
banyaknya potret kehidupan rumah tangga yang berantakan. Apa boleh
dikata, mungkin itulah yang disebut jodoh. Akhirnya mereka pun
menikah, meski uang pensiun jatuh ke tangan istri pertama.
Kini, aku bisa mengenal mereka dalam kebersahajaan hidup bersama kedua
buah hatinya. Ada Icha, bidadari mereka yang duduk di kelas 1 SMU dan
selalu terdepan di kelasnya. Begitupun dengan Toni, si bungsu pintar
kelas 6 SD. Seringkali orang mengira, bahwa Toni adalah cucu pak Tamara.
Apa yang membuat mereka hebat? Pertama, mungkin cinta yang menjadi
jawabnya. Terlihat sekali betapa harmonisnya hubungan di antara
mereka. Kedua, tidak ada racun televisi di rumah mereka. Ini bukan
karena mereka tidak mampu membeli. Justru anak-anak mereka yang merasa
terganggu jika mempunyai TV. Tidak bisa konsen belajar menjadi
alasannya. Icha sudah gandrung membaca sejak kecil. Begitupun Toni.
Kemanapun pergi, buku selalu menjadi temannya yang setia.
Ketiga, suasana dialogis menjadi jalan pencerdasan keluarga ini.
Setiap berkunjung, diskusi seolah tidak ada habisnya. Selalu ada tema
yang menarik untuk dibahas. Tentang penyesalan perilaku pejabat yang
doyan korupsi. Tentang kegundahan akan remaja yang gandrung televisi,
dan masih banyak lagi.
Dari sana aku mengetahui, bahwa sebenarnya pak Tamara pun tidak perlu
merasakan menjadi penjual Kupat Tahu Petis jika menghendaki. Beliau
pernah mendapat tawaran posisi strategis, asalkan mau sedikit culas.
Namun jalan itu tidak pernah diambilnya, dan lebih memilih
kesederhanaan dalam hidupnya.
Beliau juga mengaku, jika saja teman-temannya melihat profesinya yang
sekarang, mungkin mereka tidak akan rela. Namun bukan itu masalahnya.
Toh, pak Tamara dan keluarga ini begitu menikmati hidupnya. Berjualan
bukanlah profesi yang hina. Mengenang masa lalunya yang penuh
kemewahan, pak Tamara justru mengaku bosan. Dan kini, ia menemukan
kebahagiaan bersama istri dan anak-anak yang dicintainya.
Hingga kisah ini kutuliskan, aku membayangkan betapa bahagianya
mereka. Ah, seandainya para orang tua bisa bersikap bijak seperti
mereka. Ah, seandainya para anak berpikir seperti Toni dan Icha. Ah,
seandainya aku...upzz..sebelum kemana-mana, lebih baik kuakhiri saja.
http://hamasahputri.multiply. com
http://greatspiritever.blogspot.com
Senin, 12 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar