Kafemuslimah.com Di era presiden Gus Dur, dalam sebuah sidang antara para anggota DPR dan Presiden yang membahas tentang likuidasi Departemen Penerangan dan Departemen Sosial dahulu, Gus Dur secara spontan memberi julukan para wakil rakyat tersebut dengan julukan kelompok dari Taman Kanak-kanak. Mengapa karena para anggota DPR periode saat itu sering terlihat susah diberi penjelasan. Apapun penjelasan yang diberikan pemerintah saat itu untuk menerangkan mengapa sebuah kebijakan harus dilakukan, para anggota DPR tetap mempertahankan pendapatnya dan ingin agar pendapatnya saja yang harus didengar oleh Pemerintah dan dijalankan oleh pemerintah. Hingga Gus Dur, yang menjadi PResiden (kepala pemerintahan) saat itu merasa seperti sedang menghadapi kumpulan anak-anak Taman Kanak-kanak.
Sekarang, masa telah berubah. Presiden yang sekarang memimpin negara kita adalah presiden yang dipilih oleh mayoritas rakyat Indonesia secara langsung. Begitu juga dengan para anggota DPR-nya. Dengan begitu ada banyak sekali perubahan yang terjadi di senayan sana. Yang jelas, seharusnya para anggota DPR terpilih sekarang itu beda dengan para anggota DPR di era Gus Dur dulu.
Mengapa? Masih ingat kan waktu PEMILU lalu. Sebelum masuk ke lingkaran bilik suara, ada sebuah daftar lata belakang para anggota DPR tersebut. Kita bisa lihat latar belakang pendidikan mereka, status pekerjaan mereka, tahun lahir mereka dan tempat tinggal serta status perkawinan mereka. Artinya, dengan pengetahuan yang lumayan tersebut kita mempercayai mereka dan akhirnya memilih mereka untuk menjadi wakil kita di Senayan sana. Kita percaya bahwa kualitas mereka sudah kita ketahui.
Akhirnya, duduklah para wakil rakyat tersebut di Senayan. Alhamdulillah. Beberapa bulan kemudian, babak baru pun dimulai. Beberapa kebijakan mulai dibicarakan. Mulai dari RUU Pornografi, hingga RUU anti teroris. Mulai dari revisi KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) hingga menggulirkan tentang rancangan KHI (Kitab Hukum Islam). Dua yang terakhir ini sempat menimbulkan kontra dan pro kontra yang amat ramai dalam masyarakat. Polemik tersebut, bisa jadi menguras energi para anggota dewan yang terhormat tersebut. Maka, para anggota Dewan yang terhormat tersebut pun mengajukan sebuah tuntutan kenaikan gaji Rp 15.000.000/perbulan. Ini masih diluar tuntutan lain seperti tuntutan untuk anggaran pengadaan perumahan (apa iya para anggota dewan tersebut selama ini tidak punya rumah?), pengadaan seragam dinas dan sebagainya. Tuntutan ini tidak bergeming, bahkan meski di saat yang bersamaan rakyat sedang mengalami banyak sekali persoalan.
Ada bencana alam yang beruntut terjadi (banir, tanah longsor, gempa bumi, gelombang Tsunami, angin ribut, wabah penyakit). Ada juga gelombang kenaikan BBM yang diikuti oleh kenaikan beberapa harga kebutuhan sehari-hari. Belum lagi berita tentang robohnya bangunan sekolah di beberapa daerah karena sudah terlalu buruknya kondisi bangunan sekolah tersebut. Belum lagi masalah yang menimpa beberapa tenaga kerja kita di luar negeri. Masih ditambah dengan sengketa Ambalat, ancaman bom, modus kejahatan yang kian beragam dengan alasan kesulitan ekonomi, tuntutan buruh atas upah kerja mereka dan tuntutan para investor yang meminta jaminan keamanan dan berinvestasi di negara kita. Pendek kata, masih amat banyak masalah yang harusnya dipikirkan dan tentu saja memerlukan banyak sekali anggaran. Jadi, tuntutan kenaikan gaji dan tambahan anggaran tunjangan bagi para anggota DPR tersebut amat mengerutkan kening. Dimana keprihatinan mereka? Dimana rasa peduli dan keberpihakan mereka terhadap rakyat?
Hmm... Jangan pernah bertanya hal di atas langsung pada para anggota DPR yah. Pernah hal tersebut di atas terjadi. Ketika ditanya mengapa mereka tetap menuntut kenaikan gaji dan meminta tambahan tunjangan padahal rakyat sedang prihatin, yang dilakukan oleh para anggota dewan tersebut adalah balik menuduk kakak mereka (MPR). Kompas(9/3/2005) menurunkan berita bagaimana Safrin Romas, yang menjadi Wakil Ketua Badan Rumah Tangga berkilah agar press lebih mempersoalkan anggaran sosialisasi undang-undang dasar Badan Pekerja MPR (BP MPR) yang menurut dia jelas-jelas pemborosan. Katanya dulu menolak Volvo, sekarang mau menggunakan dana sosialisasi miliaran rupiah? Rapatnya juga kemarin di Hotel Hilton, sekarang di hotel Sahid."
"Sosialisasi Undang-Undang Dasar itu kan sudah dilakukan dulu. Sekarang tanpa sosialisasi pun rakyat sudah paham karena tinggal baca buku." katanya tegas.
Tentu saja, kakak mereka (MPR) berkelit ditunjuk seperti itu oleh adiknya (Si DPR). HIdayat Nur Wahid, yang menjadi Ketua MPR berkata, "Kami tidak pernah mempermasalahkan rekan-ekan di DPR mau bikin apa. Itu urusan mereka. Jadi, saling menghormatilah."
Wow.
Rasanya anak-anak TK tidak sepandai itu berkilah. Kebetulan, anak saya masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Dia anak yang manis dan menurut. Jika kita pandai mengarahkan, dia patuh dan bisa tenggang rasa. Meski memang harus selalu diingatkan. Sedangkan kalau melihat para anggota DPR sekarang, hmm... Mereka sudah punya inisiatip sendiri dan juga sudah mulai pandai berbicara mengemukakan alasan mereka atas tindakan mereka. Jadi saya pikir, para anggota dewan yang terhormat tersebut bukan lagi kumpulan anak-anak dari Taman kanak-kanak. Mereka sudah naik kelas kok. Alhamdulillah. Horeeee....
Tapi, kenapa tanggal 16/3/2005 kemarin dalam sidang paripurna DPR yang seharusnya membahas tentang kenaikan BBM terjadi kericuhan yah?
Bayangkan, dalam sidang yang diliput oleh stasiun TV dan media cetak tersebut dan disaksikan oleh puluhan juta rakyat yang dulu telah memilih mereka perilaku kericuhan yang memalukan itu terjadi. Dimulai ketika Agung Laksono (ketua DPR) mau mengetok palu para anggota dewan merasa tidak puas. Mereka merasa Agung mengulur-ulur waktu persidangan dan kesepakatan juga sulit diambil. Akhirnya, Aria Bima, Mangara Siahaan dan Effendi Simbolon, semuanya dari FPDIP, menuding-nuding Agung. Belasan anggota DPR lain kemudian bergerombol maju, ada yang mau merangsek Agung, ada yang mau melindungi Agung. Akhirnya ... ricuh. Persis seperti tawuran antar pelajar yang terjadi di jalan-jalan.
Hmm.
Oke, saya senang para anggota dewan sudah naik kelas. Tapi ngomong-ngomong, jangan-jangan di sekolah lanjutan mereka sekarang, mereka salah masuk sekolah yah? Ada loh sekolah yang emang anak-anaknya suka tawuran. Duh. Gimana dong? Nggak jadi seneng nih.
Senin, 12 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar