Perspektif, Gatra, Edisi 39, 10 Agustus 2006 | |
Friday, 09 March 2007 | |
Sewindu lebih reformasi bergulir. Ternyata hidup bangsa ini masih dipenuhi keluhan dan berbagai kritik keras. Harapan? Terasa tipis. Hingga manusia pun terlukis begitu payah, habis daya, frustrasi, sebagian merasa "mati di lumbung padi". Yang tinggal tampaknya hanya keberanian untuk menegaskan "cukuplah sudah!" itu semua. Jika ternyata keluhan tak menghasilkan renungan, kritik tak membawa perbaikan, dan harapan tinggal jadi kenangan. Cukup sudah kita menjadi manusia tuli, merasa benar sendiri, melulu monolog tanpa dialog, menetapkan orientasi pada semua yang artifisial dan material. Cukuplah sudah gagasan-gagasan medioker yang pinjam kanan pinjam kiri, keberanian "tanggung" antara idealisme dan pragmatisme, antara kehendak jadi pahlawan dan kecemasan akan keselamatan pribadi. Negeri yang tengah tenggelam ini mesti bersikap lebih tegas dan berani: memilih gagasan yang --boleh jadi-- tak harus ada presedennya dalam sejarah internal maupun dalam perbandingan eksternal. Cukuplah sudah pilihan aturan, sistem, atau model yang tiruan, usang, adaptatif, rekomendasian, dan sebagainya. Mungkin ini saatnya kita mengatakan (di hadapan masyarakat dunia), "I'll take my own way!" Not yours. Cukup sudah bantuanmu, cukup sudah nasihatmu, cukup sudah caramu --dan pada akhirnya-- cukup sudah demokrasi! Your democrazy. Tentu saja, sebagian dari kita sepakat, demokrasi adalah apel manis yang dihasilkan reformasi sewindu lalu. Tokoh utamanya, Amien Rais, betapapun ia menyesali beberapa perkembangan buruknya, coba mengafirmasi "sukses" reformasi itu setidaknya dalam tiga hal. Pertama, dalam hal demokratisasi kehidupan masyarakat, di mana rakyat kini bebas "bicara" dan pers "bebas" berwarta. Kedua, soal otonomi daerah (otda) yang konon memberi peluang bagi kemandirian dan pemulihan hak daerah. Dan ketiga, soal pemilu langsung di berbagai tingkatan. Inilah "jualan" yang dijajakan dan dipromo hingga ke tepi dunia. Indonesia kini adalah "negara demokratis terbesar ketiga dunia". Luar biasa, tampaknya. Jualan itu laku, secara mediatik dan secara moral. Tapi secara pragmatik dan material, ternyata semu. Benarkah, misalnya, hanya dalam sewindu, 200 juta lebih rakyat di negeri ini memiliki kematangan demokrasi seperti di India, Jepang, Amerika Serikat, atau negara-negara Eropa yang telah ratusan tahun memprosesnya? Khuldi dan Ganti Demorkasi Sesungguhnya, tiga hal "Amien Rais" di atas baru menyentuh sebagian reformasi politik belaka. Lalu reformasi hukum, reformasi ekonomi, reformasi sosial, apalagi reformasi kultural, di mana perhitungannya? Sementara reformasi politik itu pun lebih banyak dibumbui ekses berupa kekerasan demonstrasi, yang membuat publik kehilangan kontrol dan meluapkan nafsu kebuasannya: merusak, membunuh, memfitnah, dan sebagainya. Begitu pun otda, parpol, dan pemilu yang berlangsung dengan berbagai pengingkaran --secara sengaja-- hukum dan etikanya. Reformasi telah menjadi mitologi baru dengan pohon khuldi yang buahnya manis tapi memberi petaka. Jika reformasi secara internal sudah batal, maka secara eksternal pun bangsa ini ternyata gagal. Dalam percaturan global, delapan tahun terakhir ini Indonesia bukan hanya menciut kontribusi poleksosbudnya, melainkan juga makin rendah kasta militer, ekonomi, politik, dan budayanya. Keadaan yang tentu saja tak dapat dihibur oleh "puji-pujian tendensius" dan ilusif dari beberapa negara maju. Puji-pujian yang sebenarnya merayakan kemenangan mereka sendiri yang telah berhasil menciptakan bangsa ini melulu sebagai "pasar". Dengan konsumsi tinggi, baik produk ekonomi, teknologi, ideologi, politik, dan seterusnya. "Gerak perubahan" --apa pun namanya-- yang terjadi belakangan ini ternyata tak lebih dari satu atau dua chapter dari skenario globalisasi (baca: kapitalisasi, neokapitalisme, dan sebagainya). Karenanya, semua kejadian dan isu penting di negeri ini bisa jadi hanyalah scene-scene dari drama global yang sedang dimainkan. Jatuhnya Soeharto, reformasi, demokratisasi, liberalisasi, pemilu langsung, bahkan terpilihnya presiden saat ini adalah adegan-adegan yang dirayakan oleh kekuatan-kekuatan besar global. Bukan sebagai sukses kita. Melainkan mereka. Maka, demokrasi pun --ide yang kita konsumsi habis ini-- dan boleh jadi diragukan bukanlah solusi terbaik bagi negeri belasan ribu pulau ini. Tampaknya sampai kita pada momen di mana keberanian bangsa ini diuji zaman. Untuk menegaskan sikap, misalnya: memperhitungkan kembali demokrasi (dan hal-hal yang menjadi turunannya) sebagai cara bernegara yang kita pilih. Entah jika kemudian kita harus menggantinya, memilinnya, atau tetap menggunakannya, setidaknya kita akan lebih siap dan sadar dengan apa yang telah dan akan kita perbuat. Sehingga terhindar kita dari halusinasi demokrasi yang ternyata baru menghasilkan "kecerewetan" dan kemunafikan. Tapi, beranikah kita? |
Senin, 12 Mei 2008
Cukup Sudah Demokrasi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar