Senin, 12 Mei 2008

Film FITNA

Postingan dari seorang teman - Hastin

Baru saja selesai menonton film hasil garapan Geert Wilders di youtube. Film yang membuat saya penasaran,apa sih isinya sehingga setiap muslim di dunia pantas marah?

Awal bulan ini, saya ditugaskan menuliskan sebuah laporan kecil mengenai film ini dan mengirimkannya ke seluruh perwakilan. Pesan yang ingin disampaikan adalah bagi umat Islam jangan menjadikan film ini sebagai kibaran bendera merah dari umat beragama kristen. karena, Wilders adalah seorang atheis. Dia
menyerang umat beragama apapun.

Jauh sebelum saya ditugaskan menuliskan laporan ini seorang teman yang sedang belajar di Inggris Raya sana mengirimkan link ke tulisan wilders "I don't hate Muslims, I hate Islam." Membacanya saya tertawa keras (mungkin kalau di YM gambarnya yang si icon tertawa sambil berguling-guling itu). Saya menertawai ke-idiotan Wilders. Bagaimana dia bisa mengatakan 'saya suka keju; tapi saya membenci susu'? Islam-lah yang membentuk muslim, seperti susu yang membentuk cream keju. Saya tidak habis pikir.
setelah membaca tulisannya itu, saya mengoogle-nya. Dari sana saya temukan beribu tulisan mengenai laki-laki berambut dibleeched ini. Dia adalah seorang pembenci agama! Entah trauma macam apa yang membentuknya hingga menjadi seorang yang seperti ini.

Dari hasil googled saya pula inilah, saya menemukan nama seperti Hirsi Ali - perempuan yang dulunya beragama Islam, namun karena kecewa -kecewa akan keadaan negaranya, saya pikir, yang memperlakukan perempuan secara tidak adil- dia kini mengaku sebagai atheis juga.

Jumat lalu, film itu beredar. Karena teknologi sekarang,orang di ujung dunia macam saya pun bisa mendapatkannya dengan mudah.Sebuah film bodoh saya pikir. Dari judulnya pun, Wilders sudah memproklamasikan bahwa filmnya ini adalah Fitnah. Bukan beneran. Walaupun mengutip Qur'an sepotong-sepotong, film ini benar-benar fitnah. Tapi, masalah akan timbul bila film ini dilihat oleh orang-orang yang tak berilmu, berakal dan bernurani (well, banyak kan orang-orang seperti ini di dunia?). Film ini benar-benar provokatif. Di dalamnya digambarkan, betapa para imam menghembuskan api-api permusuhan yang membakar umat untuk membunuhi Yahudi dan orang-orang Kristen, dan dibumbui pula oleh ayat-ayat Al Qur'an yang dikutip secara asal oleh si Wilders. Untuk menambahkan keseraman doktrin Islam dari Al Qur'an ini, dalam film tersebut seorang anak berusia 3.5 tahun, berkerudung putih, ditanya "siapa itu yahudi?" dengan polosnya si gadis cilik itu
menjawab "monyet dan... (saya lupa)". Dari mana kata-kata itu, tanya si pewawancara lagi. "dari Al qur'an," jawabnya.

Kita diajak untuk mengamini betapa kejam ajaran Al qur'an dan Islam itu. Bahkan seorang batita pun sudah mengerti apa itu perang melawan Yahudi dan Kristen. Dari kata 'monyet' itu, sudah ditanamkan kebencian terhadap Yahudi dan Kristen.

Bumbu-bumbunya bukan itu saja; Wilders memasukkan dokumentasi 9/11, Bom Madrid, Bom London, grafik pertumbuhan umat Muslim di Belanda dan Eropa.

Di akhir film dia mengajak penonton untuk membayangkan masa depan Belanda jika Islam berjaya. Perempuan ber-burqa, gay dilarang, dan sebagainya, dan seterusnya. Suara Mushaf Al Qur'an dirobek pun ia katakan sebagai "ini hanya suara buku dirobek."

Hentikan Islamisasi, begitu pesan di penutup film.

Saya sedih dan marah tentu saja. Tapi, percaya atau tidak saya lebih banyak menertawakan ketololan Wilders (ya seperti tertawa di YM itu, berguling-guling).Saya jadi jatuh kasihan kepadanya. Melihat fotonya, saya lihat sorot mata yang tak tahu hendak kemana.Sorot mata yang menafikan kebenaran. sorot mata takut
(dispite his act).

Wilders mencari sensasi demi ketenarannya dan keabadian kekuasaan di kursi parlemen. Ia mencari tiap jalan demi ambisinya ini. isu islamlah yang ia pilih. karena isu ini benar-benar seksi. lain halnya kalau ia memilih yahudi (karena ia pernah menggunakan isu ini tapi gagal). Islam sedang menjadi primadona, main topic of the earth. dia melihat peluang ini. saya berpikir, tidaklah perlu kita membalasnya dan menyerang balik. wilders akan menang dan keinginannya akan tercapai 'bahwa islam memang benar agama yang biadab.' Saya teringat Rasulullah, saya bahkan bertanya apa yang Rasulullah akan perbuat jikalau Beliau menghadapi masalah seperti ini? Then again, saya teringat hadist-hadist yang menggambarkan betapa beliau tidak pernah menggubris hinaan, cacian makian. Bahkan ketika beliau dilempari kotoran. Beliau tidak pernah membalasnya dengan melabrak si pelempar kotoran. Kenapa kita, ga meniru seperti itu? Biarkan saja Wilders dengan Fitna-nya. Biar saja dia berbusa-busa menghina Islam, tooh ISlam ga akan bangkrut gara-gara seorang WIlders. Yang bisa membuat
Islam jatuh, ya penganutnya sendiri, kalau kita berbuat anarki.

Jangan terprovokasi oleh orang-orang idiot macam itu. kita umat yang berbudaya.

Dari milis Kafemuslimah

Potret Keluarga Bersahaja

oleh : Widayati Endah
Sebuah gerobak, dilengkapi terpal berwarna orange dan bangku berukuran
1,5 meter. Meski kecil, namun tempat itu kini menjadi tempat favorit
yang sering kukunjungi. Meski berjarak 1 kilo meter dari tempat kos,
namun aku rela berjalan kaki pulang pergi, sambil olahraga pagi. Tentu
tujuanku tidak hanya untuk mendapatkan Kupat Tahu Petis yang dijual di
warung mini ini. Sebab, sebenarnya banyak penjual makanan serupa yang
letaknya lebih dekat dan mudah terjangkau. Entahlah, ada keterikatan
hati yang membuatku merasa nyaman untuk datang, lagi dan lagi.

Untuk mencari tempat langganan makanan, jujur, aku termasuk yang
pilih-pilih. Namun bicara kriteria, mungkin agak lain dari kebanyakan
orang. Menjadi kebiasaanku untuk mendahulukan pedagang yang berjilbab,
agar lebih memastikan makanan yang dijual aman kehalalannya. Faktor
kedua yang menjadi penentu adalah kebersihan tempatnya. Sedangkan
masalah harga dan rasa, menjadi alasan berikutnya. Bagiku, makanan
enak akan menjadi kurang nikmat jika kebersihannya diragukan, apalagi
kehalalannya.

Perkenalan dengan warung mini itu berawal pada sebuah Minggu pagi.
Sambil berjalan-jalan, terihat olehku seorang ibu berjilbab dengan
anak gadis yang nampak akrab menyiapkan dagangannya. Sang ibu berwajah
lembut, namun terlihat gesit memainkan perannya. Sang gadis dengan
penuh cinta membantu pekerjaan ibunya. "Wow, tidak ada salahnya
dicoba," hati kecilku berteriak memberi perintah kaki untuk berbelok.
Awalnya, gerobak yang bertuliskan "Kupat Tahu Petis dan Sayur" ini
enggan kudekati, mengingat posisinya yang tepat di depan alun-alun
Banjaran, dan ramai dilewati angkot.Apa boleh buat, keharmonisan ibu
dan anak itu lebih kuat mendorongku untuk mendekat.

Pada kunjungan pertama, aku menikmati keakraban ibu anak itu. Bahu
membahu menyajikan Kupat Tahu untuk pembeli. Begitu sepi, si ibu juga
membuatkan menu serupa untuk gadisnya dengan mesra. Awalnya aku
berpikir bahwa ibu tersebut single parent. Ternyata dugaanku meleset.
Beberapa kunjungan berikutnya, aku bertemu dengan suaminya, yang juga
ramah kepada pembeli.

Mungkin tidak banyak yang mengetahui latar belakang mereka yang
sesungguhnya. Hingga menjadi kesyukuran bagiku bisa mengenal seluruh
personil keluarga ini : pak Tamara, Ibu Endang,Icha dan Toni. Tidak
hanya lezatnya makanan yang kurasakan, tapi lebih dari itu. Banyak
cerita yang penuh hikmah kudapatkan dari mereka. Aku seperti memiliki
keluarga baru di sini. Semakin mengenal, semakin akrab, dan semakin
kagum. Inilah potongan kisah mereka...

Ialah Pak Tamara, siapa sangka, penjual Kupat Tahu petis ini adalah
pensiunan Tentara. Lelaki sederhana berusia 58 tahun ini, sempat
merasakan mewahnya hidup. Bertahun-tahun lamanya tinggal di Jerman,
bekerja di Kedutaan, dengan berbagai fasilitas yang luar biasa. Naik
pesawat dan empuknya mobil menjadi kesehariannya. Sebelum mengenal bu
Endang, pak Tamara pernah menikah dengan perempuan Jerman, anak
seorang Ustadz. Sayangnya, selama 17 tahun usia pernikahannya, beliau
tidak mendapatkan keturunan. Menurut prediksi beliau, besar
kemungkinan dipengaruhi kebiasaan merokok sang istri, yang terbawa
tradisi perempuan Jerman. Ketika pak Tamara mendapat kesempatan pulang
ke Indonesia, istrinya menolak menyertainya. Apalah daya, bahtera
rumah tangga itu pun kandas pada akhirnya.

Pulang ke Indonesia, pak Tamara mengenal seorang perempuan lembut
penuh keibuan. Ialah Bu Endang, yang waktu itu berusia 30 tahun.
Awalnya bu Endang juga menolak lamaran pak Tamara, setelah melihat
banyaknya potret kehidupan rumah tangga yang berantakan. Apa boleh
dikata, mungkin itulah yang disebut jodoh. Akhirnya mereka pun
menikah, meski uang pensiun jatuh ke tangan istri pertama.

Kini, aku bisa mengenal mereka dalam kebersahajaan hidup bersama kedua
buah hatinya. Ada Icha, bidadari mereka yang duduk di kelas 1 SMU dan
selalu terdepan di kelasnya. Begitupun dengan Toni, si bungsu pintar
kelas 6 SD. Seringkali orang mengira, bahwa Toni adalah cucu pak Tamara.

Apa yang membuat mereka hebat? Pertama, mungkin cinta yang menjadi
jawabnya. Terlihat sekali betapa harmonisnya hubungan di antara
mereka. Kedua, tidak ada racun televisi di rumah mereka. Ini bukan
karena mereka tidak mampu membeli. Justru anak-anak mereka yang merasa
terganggu jika mempunyai TV. Tidak bisa konsen belajar menjadi
alasannya. Icha sudah gandrung membaca sejak kecil. Begitupun Toni.
Kemanapun pergi, buku selalu menjadi temannya yang setia.

Ketiga, suasana dialogis menjadi jalan pencerdasan keluarga ini.
Setiap berkunjung, diskusi seolah tidak ada habisnya. Selalu ada tema
yang menarik untuk dibahas. Tentang penyesalan perilaku pejabat yang
doyan korupsi. Tentang kegundahan akan remaja yang gandrung televisi,
dan masih banyak lagi.

Dari sana aku mengetahui, bahwa sebenarnya pak Tamara pun tidak perlu
merasakan menjadi penjual Kupat Tahu Petis jika menghendaki. Beliau
pernah mendapat tawaran posisi strategis, asalkan mau sedikit culas.
Namun jalan itu tidak pernah diambilnya, dan lebih memilih
kesederhanaan dalam hidupnya.

Beliau juga mengaku, jika saja teman-temannya melihat profesinya yang
sekarang, mungkin mereka tidak akan rela. Namun bukan itu masalahnya.
Toh, pak Tamara dan keluarga ini begitu menikmati hidupnya. Berjualan
bukanlah profesi yang hina. Mengenang masa lalunya yang penuh
kemewahan, pak Tamara justru mengaku bosan. Dan kini, ia menemukan
kebahagiaan bersama istri dan anak-anak yang dicintainya.

Hingga kisah ini kutuliskan, aku membayangkan betapa bahagianya
mereka. Ah, seandainya para orang tua bisa bersikap bijak seperti
mereka. Ah, seandainya para anak berpikir seperti Toni dan Icha. Ah,
seandainya aku...upzz..sebelum kemana-mana, lebih baik kuakhiri saja.

http://hamasahputri.multiply. com
http://greatspiritever.blogspot.com

Bagaimana Memakai Jilbab Dengan Benar

DEFINISI JILBAB

Diterangkan dalam kamus al Muhith, jilbab adalah pakaian yang luas untuk wanita yang dapat menutupi pakaian rumahnya seperti milhafah (mantel).

Tafsir Jalalain (jilid 3:1803) memberikan arti jilbab sebagai kain yang dipakai seorang wanita untuk menutupi tubuhnya.

Jauhari dalam Ash Shihah mengatakan jilbab adalah kain penutup tubuh wanita dari atas sampai bawah.

Khaththath Usman Thaha dalam Tafsir wa Bayan menjelaskan jilbab adalah apa-apa yang dapat menutupi seperti seprai atas tubuh wanita hingga mendekati tanah.

Fiqh Sunnah oleh Sayyid Sabiq Jilid 7 (Edisi Indonesia) menerangkan jilbab adalah baju mantel.

Dalam Kitab Mujam al Wasith hal 128 jilbab diartikan sebagai pakaian yang menutupi seluruh tubuh atau pakaian luar yang dikenakan diatas pakaian rumah seperti mantel.


KEWAJIBAN BERJILBAB

Kewajiban berjilbab diterangkan pada Qur'an surat Al-Ahzab:59 dan An-Nur:31 sebagai berikut:

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Al-Ahzab:59)

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
(An Nuur:31)


BATAS AURAT WANITA

Batas aurat wanita adalah wajah dan telapak tangan sebagaimana disebutkan dalam hadits:

Hadis riwayat Aisyah r.a., bahwasanya Asma binti Abu Bakar masuk menjumpai Rasulullah dengan pakaian yang tipis, lantas Rasulullah berpaling darinya dan berkata, "Hai Asma, seseungguhnya jika seorang wanita sudah mencapai usia haid (akil balig) maka tidak ada yang layak terlihat kecuali ini," sambil beliau menunjuk wajah dan telapak tangan.
(HR Abu Daud dan Baihaqi).


SYARAT-SYARAT PAKAIAN MUSLIMAH

Pada dasarnya seluruh bahan, model, dan bentuk pakaian boleh dipakai, asalkan memenuhi syarat-syarat berikut.
1. Menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
2. Tidak tipis dan transparan.
3. Longgar dan tidak memperlihatkan lekuk-lekuk dan bentuk tubuh (tidak ketat).
4. Bukan pakaian laki-laki atau menyerupai pakaian laki-laki.
5. Tidak berwarna dan bermotif terlalu menyolok. Sebab, pakaian yang menyolok akan mengundang perhatian laki-laki. Dengan alasan ini pula, maka membunyikan (menggemerincingkan ) perhiasan yang dipakai tidak diperbolehkan walaupun itu tersembunyi di balik pakaian.


KESALAHAN DALAM BERPAKAIAN

Berikut digambarkan beberapa kesalahan wanita muslimah dalam berpakaian








BERJILBAB DENGAN BENAR

Berikut gambaran bagaimana cara berpakaian yang benar bagi seorang muslimah:







Ditulis oleh Heri Setiawan di/pada Mei 14, 2007
Sumber gambar :
http://pondok- muslimah. blogspot. com/2006/ 09/jilbab- muslimah. html
Sumber Referensi:Al-Qur'an
Waspada.co.id


*)Keterangan :
tudung = kerudung
singkat = pendek
sarung kaki = kaos kaki
susuk tubuh = bentuk tubuh
sembahyang = shalat
kasut = sepatu
getah = karet

Pesan-Pesan Untuk Istri

Anas berkata, "Para Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jika menyerahkan seorang wanita kepada suaminya, maka mereka memerintahkan isteri agar berkhidmat kepada suaminya dan memelihara haknya."

Ummu Humaid berkata, "Para wanita Madinah, jika hendak menyerahkan seorang wanita kepada suaminya, pertama-tama mereka datang kepada 'Aisyah dan memasukkannya di hadapannya, lalu dia meletakkan tangannya di atas kepalanya seraya mendo'a-kannya dan memerintahkannya agar bertakwa kepada Allah serta memenuhi hak suami"[1]

'Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib berwasiat kepada puterinya, "Janganlah engkau cemburu, sebab itu adalah kunci perceraian, dan janganlah engkau suka mencela, karena hal itu menimbulkan kemurkaan. Bercelaklah, karena hal itu adalah perhiasan paling indah, dan parfum yang paling baik adalah air."

Abud Darda' berkata kepada isterinya, "Jika engkau melihat-ku marah, maka redakanlah kemarahanku. Jika aku melihatmu marah kepadaku, maka aku meredakanmu. Jika tidak, kita tidak harmonis."

Ambillah pemaafan dariku, maka engkau melanggengkan cintaku.Janganlah engkau berbicara dengan keras sepertiku, ketika aku sedang marah. Janganlah menabuhku (untuk memancing kemarahan) seperti engkau menabuh rebana, sekalipun. Sebab, engkau tidak tahu bagaimana orang yang ditinggal pergi

Janganlah banyak mengeluh sehingga melenyapkan dayaku
Lalu hatiku enggan terhadapmu; sebab hati itu berbolak-balik

Sesungguhnya aku melihat cinta dan kebencian dalam hati
Jika keduanya berhimpun, maka cinta pasti akan pergi

'Amr bin Hajar, Raja Kindah, meminang Ummu Ayyas binti 'Auf. Ketika dia akan dibawa kepada suaminya, ibunya, Umamah binti al-Haris menemui puterinya lalu berpesan kepadanya dengan suatu pesan yang menjelaskan dasar-dasar kehidupan yang bahagia dan kewajibannya kepada suaminya yang patut menjadi undang-undang bagi semua wanita. Ia berpesan:

"Wahai puteriku, engkau berpisah dengan suasana yang darinya engkau keluar, dan engkau beralih pada kehidupan yang di dalamnya engkau naik untuk orang yang lalai dan membantu orang yang berakal. Seandainya wanita tidak membutuhkan suami karena kedua orang tuanya masih cukup dan keduanya sangat membutuh-kanya, niscaya akulah orang yang paling tidak membutuhkannya. Tetapi kaum wanita diciptakan untuk laki-laki, dan karena mereka pula laki-laki diciptakan.

Wahai puteriku, sesungguhnya engkau berpisah dengan suasana yang darinya engkau keluar dan engkau berganti kehidupan, di dalamnya engkau naik kepada keluarga yang belum engkau kenal dan teman yang engkau belum terbiasa dengannya. Ia dengan ke-kuasaannya menjadi pengawas dan raja atasmu, maka jadilah engkau sebagai abdi, niscaya ia menjadi abdimu pula. Peliharalah untuknya 10 perkara, niscaya ini akan menjadi kekayaan bagimu.

Pertama dan kedua, tunduk kepadanya dengan qana'ah (merasa cukup), serta mendengar dan patuh kepadanya.

Ketiga dan keempat, memperhatikan mata dan hidungnya. Jangan sampai matanya melihat suatu keburukan darimu, dan jangan sampai mencium darimu kecuali aroma yang paling harum.

Kelima dan keenam, memperhatikan tidur dan makannya. Karena terlambat makan akan bergejolak dan menggagalkan tidur itu membuat orang marah.

Ketujuh dan kedelapan, menjaga hartanya dan memelihara keluarga dan kerabatnya. Inti perkara berkenaan dengan harta ialah menghargainya dengan baik, sedangkan berkenaan dengan keluarga ialah mengaturnya dengan baik.

Kesembilan dan kesepuluh, jangan menentang perintahnya dan jangan menyebarkan rahasianya. Karena jika engkau menyelisihi perintahnya, maka hatinya menjadi kesal dan jika engkau menyebar-kan rahasianya, maka engkau tidak merasa aman terhadap pengkhianatannya. Kemudian janganlah engkau bergembira di hadapannya ketika dia bersedih, dan jangan pula bersedih di hadapannya ketika dia bergembira"
[2]

Seseorang menikahkan puterinya dengan keponakannya. Ketika ia hendak membawanya, maka dia berkata kepada ibunya, "Perintahkan kepada puterimu agar tidak singgah di kediaman (suaminya) melainkan dalam keadaan telah mandi. Sebab, air itu dapat mencemerlangkan bagian atas dan membersihkan bagian bawah. Dan janganlah ia terlalu sering mencumbuinya. Sebab jika badan lelah, maka hati menjadi lelah. Jangan pula menghalangi syahwatnya, sebab keharmonisan itu terletak dalam kesesuaian."

Ketika al-Farafishah bin al-Ahash membawa puterinya, Nailah, kepada Amirul Mukminin 'Utsman bin 'Affan Radhitallahu 'anhu, dan beliau telah menikahinya, maka ayahnya menasihatinya dengan ucapannya, "Wahai puteriku, engkau didahulukan atas para wanita dari kaum wanita Quraisy yang lebih mampu untuk berdandan darimu, maka peliharalah dariku dua hal ini: bercelaklah dan mandilah, sehingga aromamu adalah aroma bejana yang terguyur hujan."

Abul Aswad berkata kepada puterinya, "Jangalah engkau cemburu, sebab kecemburuan itu adalah kunci perceraian. Berhiaslah, dan sebaik-baik perhiasan ialah celak. Pakailah wewangian, dan sebaik-baik wewangian ialah menyempurnakan wudhu.'"

Ummu Ma'ashirah menasihati puterinya dengan nasihat berikut ini yang telah diramunya dengan senyum dan air matanya: "Wahai puteriku, engkau akan memulai kehidupan yang baru… Suatu kehidupan yang tiada tempat di dalamnya untuk ibumu, ayahmu, atau untuk seorang pun dari saudaramu. Engkau akan menjadi teman bagi seorang pria yang tidak ingin ada seorang pun yang menyekutuinya berkenaan denganmu hingga walaupun ia berasal dari daging dan darahmu. Jadilah engkau sebagai isteri, wahai puteriku, dan jadilah engkau sebagai ibu baginya. Jadikanlah ia merasa bahwa engkau adalah segalanya dalam kehidupannya dan segalanya dalam dunianya. Ingatlah selalu bahwa suami itu anak-anak yang besar, jarang sekali kata-kata manis yang membahagia-kannya. Jangan engkau menjadikannya merasa bahwa dengan dia menikahimu, ia telah menghalangimu dari keluargamu.

Perasaan ini sendiri juga dirasakan olehnya. Sebab, dia juga telah meninggalkan rumah kedua orang tuanya dan meninggalkan keluarganya karenamu. Tetapi perbedaan antara dirimu dengannya ialah perbedaan antara wanita dan laki-laki. Wanita selalu rindu kepada keluarganya, kepada rumahnya di mana dia dilahirkan, tumbuh menjadi besar dan belajar. Tetapi dia harus membiasakan dirinya dalam kehidupan yang baru ini. Ia harus mencari hakikat hidupnya bersama pria yang telah menjadi suami dan ayah bagi anak-anaknya. Inilah duniamu yang baru, wahai puteriku. Inilah masa kini dan masa depanmu. Inilah mahligaimu, di mana kalian berdua bersama-sama menciptakannya.

Adapun kedua orang tuamu adalah masa lalu. Aku tidak me-mintamu melupakan ayah dan ibumu serta saudara-saudaramu, karena mereka tidak akan melupakanmu selama-lamanya. Wahai sayangku, bagaimana mungkin ibu akan lupa belahan hatinya? Tetapi aku meminta kepadamu agar engkau mencintai suamimu, mendampingi suamimu, dan engkau bahagia dengan kehidupanmu bersamanya."


Diriwayatkan bahwa Ibnu Abi 'Udzr ad-Du'ali -pada hari-hari pemerintahan 'Umar Radhiyallahu 'anhu- menceraikan wanita-wanita yang dinikahinya. Sehingga muncullah kepadanya beberapa peristiwa yang tidak disukainya berkenaan dengan para wanita tersebut dari hal itu. Ketika dia mengetahui hal itu, maka dia memegang tangan 'Abdullah bin al-Arqam sehingga membawanya ke rumahnya. Kemudian dia berkata kepada isterinya: "Aku memintamu bersumpah demi Allah, apakah engkau benci kepadaku?" Ia menjawab, "Jangan memintaku bersumpah demi Allah." Dia mengatakan, "Aku memintamu bersumpah demi Allah." Ia menjawab, "Ya."

Kemudian dia berkata kepada Ibnul Arqam, "Apakah engkau dengar?" Kemudian keduanya bertolak hingga sampai kepada 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu lalu mengatakan, "Kalian mengatakan bahwa aku menzhalimi kaum wanita dan menceraikan mereka. Bertanyalah kepada al-Arqam." Lalu 'Umar bertanya kepadanya dan mengabarkannya. Lalu beliau mengirim utusan kepada isteri Ibnu Abi 'Udzrah (untuk datang kepada 'Umar). Ia pun datang bersama bibinya, lalu 'Umar bertanya, "Engkaukah yang bercerita kepada suamimu bahwa engkau marah kepadanya?" Ia menjawab, "Aku adalah orang yang mula-mula bertaubat dan menelaah kembali perintah Allah kepadaku. Ia memintaku bersumpah dan aku takut berdosa bila berdusta, apakah aku boleh berdusta, wahai Amirul Mukminin?" Dia menjawab, "Ya, berdustalah. Jika salah seorang dari kalian tidak menyukai salah seorang dari kami, janganlah menceritakan hal itu kepadanya. Sebab, jarang sekali rumah yang dibangun di atas dasar cinta, tetapi manusia hidup dengan Islam dan mencari pahala"[3]

Kepada setiap muslimah yang memenuhi hak-hak suaminya dan takut terhadap murka Rabb-nya karena dia mengetahui hak suaminya atasnya! Inilah contoh sebagian pria yang mensifati isterinya yang tidak mengetahui hak suaminya dan tidak pula memelihara kebaikannya. Ia tidak mempercantik diri dan tidak berdandan untuknya, serta bermulut kasar. Ia mensifatinya dengan sifat yang membuat hati bergetar dan telinga terngiang-ngiang. Camkanlah sehingga engkau tidak jatuh ke tempat yang menggelincirkan ini.


Oleh Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]

Menjadi Muslimah Produktif dari Rumah

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait (keluarga rumah tangga Nabi SAW) dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”(QS Al Ahzab (33): 33.

Menjadi wanita shalihah adalah idaman setiap muslimah. Karena wanita shalihah adalah sebaik-baik perhiasan dunia, mengalahkan tumpukan emas, intan dan permata serta perhiasan dunia apa pun. Juga, hanya wanita shalihahlah yang mampu melahirkan generasi rabbani yang selalu siap memikul risalah Islamiyah menuju puncak kejayaan. Namun, menjadi wanita shalihah bukanlah perkara mudah. Alhamdulillah, Allah SWT yang Maha Kasih telah menyiapkan perangkat-perangkat arahan bagi semua muslimah untuk dapat menjadi wanita shalihah, di antaranya melalui ayat di atas.

Taujih Rabbani, memuliakan wanita bukan membelenggu. Perintah untuk Mulaazamatul Buyut (menetap di rumah) dalam ayat di atas meskipun secara konteks ditujukan bagi para isteri Rasulullah SAW, tetapi juga berlaku untuk semua muslimah sampai akhir zaman. Meski demikian, perintah ini tidak boleh dimaknai bahwa wanita sama sekali dilarang ke luar rumah. Sebab, Nabi SAW pernah bersabda: “Janganlah kalian larang kaum wanita pergi ke masjid-masjid Allah” (Muttafaq ˜Alaih).

Imam Malik dalam kitabnya Al Muwaththa meriwayatkan bahwa Aisyah RA pernah keluar rumah membesuk ayahnya, Abu Bakar RA yang sedang sakit. Sebagian isteri Nabi SAW juga pernah keluar rumah demi menunaikan ibadah haji maupun ikut dalam perjalanan perang fi sabilillah bersama Rasulullah SAW.

Karenanya perintah dalam ayat di atas harus dimaknai sebagai isyarat bahwa rumah adalah tempat asal kehidupan kaum hawa sehingga keberadaannya di luar rumah hendaknya tidak boleh menjadi prioritas utama hingga kemudian mendominasi kehidupannya.

Perlu diartikan bahwa perintah menetap di rumah adalah dalam rangka memuliakan diri wanita serta memperkokoh posisi dan kehormatannya. Sama sekali bukan untuk membelenggu dan merendahkan wanita sebagaimana sering disuarakan oleh para propagandis gerakan feminisme.

Dengan fokus tinggal di rumah, muslimah tentu lebih dapat berkonsentrasi dalam mentarbiyah dan mendidik anak, menciptakan suasana rapi, indah dan nyaman, serta mampu mencurahkan perhatian kepada anggota keluarganya sehingga mereka semua dapat merasakan suasana rumah bak syurga.

Berkesesuaian dengan itu, maka dalam Islam tanggung jawab mencari nafkah pun tidaklah dibebankan kepada isteri, melainkan menjadi kewajiban suami.

Kontraproduktif Feminisme
Jika di negara-negara Islam para penyeru gerakan feminisme amat antusias mempropagandakan feminisme dan gender, di negara Barat sinyal gerakan ini justru semakin meredup karena sudah terasa dampak negatif yang ditimbulkan dari gerakan ini di lapangan kehidupan. Di balik kemajuan pasrtisipasi angkatan kerja wanita di dunia maskulin, tidak sedikit dari kalangan cendekiawan Barat yang mengkritik bahwa kondisi wanita bukan menjadi lebih baik, melainkan menjadi memburuk. Dalam buku A Lesser Life: The Myth of Womens Liberation America (1986), Sylvia Hewlett mengulas dengan rinci kondisi wanita yang menyedihkan karena adanya gerakan feminisme. Istilah feminization of poverty (pemiskinan wanita) semakin terdengar pada pertengahan tahun 1980-an (Membincang Feminisme, h. 211, Risalah Gusti, 1996).

Bahkan, Miles Markjanli, penulis Amerika kenamaan, menyuarakan dengan lantang agar kaum hawa kembali ke rumah. Dalam makalah berjudul Rumah ¦ Kerajaan Perempuan Tanpa Sengketa, ia menulis: Aku selalu berupaya meyakinkan para perempuan bahwa mereka lebih berhak untuk berlaku sebagai pendidik di rumah ..

Apa yang sudah terungkap di atas, semakin meyakinkan kita terhadap kebenaran taujih Ilahi dalam ayat tersebut. Dan pelanggaran terhadap perintah Allah SWT jelas akan menimbulkan ˜bencana di semua aspek kehidupan.

Tafsir Tabarruj Al Jahiliyyah Al Ula Ibnu Katsir saat menafsiri ayat ini memaparkan bentuk-bentuk ˜tabarruj di zaman jahiliyah. Di antaranya seperti dikatakan Imam Mujahid: Dahulu wanita keluar rumah berjalan (bercampur) di antara kaum lelaki. Inilah tabarruj jahiliyah! Sementara Imam Qatadah melihat tabarruj jahiliyah pada gaya wanita yang berjalan dengan lenggak-lenggok memancing birahi. Sedangkan Imam Muqaatil bin Hayyaan berpendapat, bahwa tabarruj itu adalah ketika wanita melempar kerudungnya ke kepalanya tanpa mengikatnya sehingga terlihatlah rambut, perhiasan dan lehernya! (Tafsir Ibnu Katsir IV/218).

Beragam pandangan yang dikemukakan ini telah memberi gambaran pada kita bahwa tabarruj di masa jahiliyah yang diterapi oleh Al Quran adalah untuk mensucikan masyarakat Islam dari dampak-dampak negatif yang bisa ditimbulkannya serta menjauhkan manusia semua dari benih-benih fitnah (syahwat).

Maka, memahami ayat dan penafsiran soal ini dapat menjadi pijakan setiap muslimah dalam beraktifitas, sehingga membawanya kepada kecantikan ruhiyah, kecantikan kehormatan dan kecantikan perasaan.

Produktif dari Rumah
Yang amat menarik untuk diperhatikan dalam ayat di atas adalah bersamaan dengan perintah menetap di rumah, Allah SWT juga memerintahkan kaum wanita agar rajin mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mentaati Allah dan Rasul-Nya. Ini memberikan pemahaman kepada kita, bahwa menetap di rumah tidaklah identik dengan pasif, statis, mandeg dan stagnan. Sama sekali tidak! Justru rumah hendaknya menjadi ˜perusahaan bagi berbagai ˜proyek-proyek besar yang mampu memproduksi berbagai macam amal kebajikan untuk kemaslahatan diri muslimah sendiri (seperti shalat) juga kemaslahatan bagi orang lain dan lingkungannya (seperti zakat).

Dengan demikian, sesungguhnya ayat di atas secara tegas menganjurkan muslimah agar menjadi sosok yang selalu produktif dan kreatif di rumah. Produktifitas dan kreatifitas ini pun hendaknya tidak selalu dikaitkan dengan dengan hal-hal yang bersifat materi orientied, melainkan juga mencakup hal-hal yang bersifat spiritual.

Aneka busana dan perlengkapannya, misalnya, sering menjadi produk ˜home industri yang mudah digarap kaum muslimah dari rumah. Begitu pula aktifitas lain yang dengan kemudahan teknologi masa kini memungkinkan untuk dilakukan dari rumah. Yang demikian ini sah-sah saja dan tidak menyalahi aturan Islam.

Namun, tentunya akan sangat berarti dan memiliki nilai ˜jual yang tinggi di sisi Allah SWT manakala sentuhan halus tangan-tangan muslimah itu juga dapat ˜memproduksi generasi rabbani, pembawa panji suci yang rajin mengaji dan merespon panggilan Ilahi seperti shalat. Jika ini yang terjadi, maka terwujudnya negeri seperti digambarkan dalam Al Quran; Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafuur, bukanlah mimpi. Insya Allah.

Sumber: Ummi online
Oleh: Ahmad Kusyairi Suhail, MA

Hore... Akhirnya Dia Sudah Naik Kelas

Kafemuslimah.com Di era presiden Gus Dur, dalam sebuah sidang antara para anggota DPR dan Presiden yang membahas tentang likuidasi Departemen Penerangan dan Departemen Sosial dahulu, Gus Dur secara spontan memberi julukan para wakil rakyat tersebut dengan julukan kelompok dari Taman Kanak-kanak. Mengapa karena para anggota DPR periode saat itu sering terlihat susah diberi penjelasan. Apapun penjelasan yang diberikan pemerintah saat itu untuk menerangkan mengapa sebuah kebijakan harus dilakukan, para anggota DPR tetap mempertahankan pendapatnya dan ingin agar pendapatnya saja yang harus didengar oleh Pemerintah dan dijalankan oleh pemerintah. Hingga Gus Dur, yang menjadi PResiden (kepala pemerintahan) saat itu merasa seperti sedang menghadapi kumpulan anak-anak Taman Kanak-kanak.

Sekarang, masa telah berubah. Presiden yang sekarang memimpin negara kita adalah presiden yang dipilih oleh mayoritas rakyat Indonesia secara langsung. Begitu juga dengan para anggota DPR-nya. Dengan begitu ada banyak sekali perubahan yang terjadi di senayan sana. Yang jelas, seharusnya para anggota DPR terpilih sekarang itu beda dengan para anggota DPR di era Gus Dur dulu.

Mengapa? Masih ingat kan waktu PEMILU lalu. Sebelum masuk ke lingkaran bilik suara, ada sebuah daftar lata belakang para anggota DPR tersebut. Kita bisa lihat latar belakang pendidikan mereka, status pekerjaan mereka, tahun lahir mereka dan tempat tinggal serta status perkawinan mereka. Artinya, dengan pengetahuan yang lumayan tersebut kita mempercayai mereka dan akhirnya memilih mereka untuk menjadi wakil kita di Senayan sana. Kita percaya bahwa kualitas mereka sudah kita ketahui.

Akhirnya, duduklah para wakil rakyat tersebut di Senayan. Alhamdulillah. Beberapa bulan kemudian, babak baru pun dimulai. Beberapa kebijakan mulai dibicarakan. Mulai dari RUU Pornografi, hingga RUU anti teroris. Mulai dari revisi KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) hingga menggulirkan tentang rancangan KHI (Kitab Hukum Islam). Dua yang terakhir ini sempat menimbulkan kontra dan pro kontra yang amat ramai dalam masyarakat. Polemik tersebut, bisa jadi menguras energi para anggota dewan yang terhormat tersebut. Maka, para anggota Dewan yang terhormat tersebut pun mengajukan sebuah tuntutan kenaikan gaji Rp 15.000.000/perbulan. Ini masih diluar tuntutan lain seperti tuntutan untuk anggaran pengadaan perumahan (apa iya para anggota dewan tersebut selama ini tidak punya rumah?), pengadaan seragam dinas dan sebagainya. Tuntutan ini tidak bergeming, bahkan meski di saat yang bersamaan rakyat sedang mengalami banyak sekali persoalan.

Ada bencana alam yang beruntut terjadi (banir, tanah longsor, gempa bumi, gelombang Tsunami, angin ribut, wabah penyakit). Ada juga gelombang kenaikan BBM yang diikuti oleh kenaikan beberapa harga kebutuhan sehari-hari. Belum lagi berita tentang robohnya bangunan sekolah di beberapa daerah karena sudah terlalu buruknya kondisi bangunan sekolah tersebut. Belum lagi masalah yang menimpa beberapa tenaga kerja kita di luar negeri. Masih ditambah dengan sengketa Ambalat, ancaman bom, modus kejahatan yang kian beragam dengan alasan kesulitan ekonomi, tuntutan buruh atas upah kerja mereka dan tuntutan para investor yang meminta jaminan keamanan dan berinvestasi di negara kita. Pendek kata, masih amat banyak masalah yang harusnya dipikirkan dan tentu saja memerlukan banyak sekali anggaran. Jadi, tuntutan kenaikan gaji dan tambahan anggaran tunjangan bagi para anggota DPR tersebut amat mengerutkan kening. Dimana keprihatinan mereka? Dimana rasa peduli dan keberpihakan mereka terhadap rakyat?

Hmm... Jangan pernah bertanya hal di atas langsung pada para anggota DPR yah. Pernah hal tersebut di atas terjadi. Ketika ditanya mengapa mereka tetap menuntut kenaikan gaji dan meminta tambahan tunjangan padahal rakyat sedang prihatin, yang dilakukan oleh para anggota dewan tersebut adalah balik menuduk kakak mereka (MPR). Kompas(9/3/2005) menurunkan berita bagaimana Safrin Romas, yang menjadi Wakil Ketua Badan Rumah Tangga berkilah agar press lebih mempersoalkan anggaran sosialisasi undang-undang dasar Badan Pekerja MPR (BP MPR) yang menurut dia jelas-jelas pemborosan. Katanya dulu menolak Volvo, sekarang mau menggunakan dana sosialisasi miliaran rupiah? Rapatnya juga kemarin di Hotel Hilton, sekarang di hotel Sahid."

"Sosialisasi Undang-Undang Dasar itu kan sudah dilakukan dulu. Sekarang tanpa sosialisasi pun rakyat sudah paham karena tinggal baca buku." katanya tegas.

Tentu saja, kakak mereka (MPR) berkelit ditunjuk seperti itu oleh adiknya (Si DPR). HIdayat Nur Wahid, yang menjadi Ketua MPR berkata, "Kami tidak pernah mempermasalahkan rekan-ekan di DPR mau bikin apa. Itu urusan mereka. Jadi, saling menghormatilah."

Wow.
Rasanya anak-anak TK tidak sepandai itu berkilah. Kebetulan, anak saya masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Dia anak yang manis dan menurut. Jika kita pandai mengarahkan, dia patuh dan bisa tenggang rasa. Meski memang harus selalu diingatkan. Sedangkan kalau melihat para anggota DPR sekarang, hmm... Mereka sudah punya inisiatip sendiri dan juga sudah mulai pandai berbicara mengemukakan alasan mereka atas tindakan mereka. Jadi saya pikir, para anggota dewan yang terhormat tersebut bukan lagi kumpulan anak-anak dari Taman kanak-kanak. Mereka sudah naik kelas kok. Alhamdulillah. Horeeee....

Tapi, kenapa tanggal 16/3/2005 kemarin dalam sidang paripurna DPR yang seharusnya membahas tentang kenaikan BBM terjadi kericuhan yah?

Bayangkan, dalam sidang yang diliput oleh stasiun TV dan media cetak tersebut dan disaksikan oleh puluhan juta rakyat yang dulu telah memilih mereka perilaku kericuhan yang memalukan itu terjadi. Dimulai ketika Agung Laksono (ketua DPR) mau mengetok palu para anggota dewan merasa tidak puas. Mereka merasa Agung mengulur-ulur waktu persidangan dan kesepakatan juga sulit diambil. Akhirnya, Aria Bima, Mangara Siahaan dan Effendi Simbolon, semuanya dari FPDIP, menuding-nuding Agung. Belasan anggota DPR lain kemudian bergerombol maju, ada yang mau merangsek Agung, ada yang mau melindungi Agung. Akhirnya ... ricuh. Persis seperti tawuran antar pelajar yang terjadi di jalan-jalan.

Hmm.
Oke, saya senang para anggota dewan sudah naik kelas. Tapi ngomong-ngomong, jangan-jangan di sekolah lanjutan mereka sekarang, mereka salah masuk sekolah yah? Ada loh sekolah yang emang anak-anaknya suka tawuran. Duh. Gimana dong? Nggak jadi seneng nih.

My Life, My Adventure

Kafemuslimah.com
Apakah kalian takut dengan ketinggian? Atau gentar dengan kedalaman? Ternyata, tidak semua orang berani dengan ketinggian. Pun tidak semua orang berani dengan kedalaman atau keterterjalan. Ada banyak yang merasa gemetar jika diletakkan di sebuah tempat yang tinggi sekali dengan pemandangan yang amat terjal. Fenomena inilah yang dengan jeli diambil oleh sutradara yang menangani pembuatan video clip iklan Jarum Super yang diberi judul “My Life, My adventure”.

Dengan kelihaian kamera yang lumayan bagus mencari sudut gambar, digambarkan sebuah tebing terjal yang curam. Lalu muncul sebuah pertanyaan, “Kamu pikir ini rintangan?”. Tak lama gambar beralih ke sebuah sosok yang sedang gigih dan penuh percaya diri memanjat tebing tersebut dengan sebuah tulisan yang menyertainya,, “Aku bilang ini tantangan.” Ada pertanyaan yang menggambarkan sebuah keraguan yang lazim dimiliki oleh orang banyak ketika bertemu hal serupa, tapi ada kekecualian yang dimiliki oleh sebagian kecil orang untuk menjawabnya bahwa hal yang dianggap ragu-ragu itu sebenarnya merupakan hal yang biasa bagi mereka. Dan demikianlah pesan yang tampaknya ingin disampaikan oleh iklan My Life, My Adventure itu bergulir.

Ketika digambarkan sebuah padang pasir yang luas dan gersang yang mungkin bagi sebagian orang dianggap sebagai hal yang ingin dihindari karena panas, gersang dan bisa jadi mendatangkan sindrom hilang orientasi arah, maka bagi sekelompok anak muda justru padang pasir ini dijadikan sebagai lahan untuk bermain surfing di atas pasir dengan tulisan yang menyertainya, “Kamu bilang ini padang gersang….. Aku bilang ini bikin senang.”.
Atau ketika digambarkan sebuah ujung tebing (cliff) yang dibawahnya ada sebuah jurang terjal yang berakhir dengan lautan dengan ombak yang memecah bebatuan yang ada di pinggir tebing. Muncul sebuah pernyataan, “ Kamu bilang ini jalan buntu…. Aku bilang mainan baru.” Dan terjunlah seorang anak muda dari ujung tebing tersebut. Tidak ada rasa takut, apalagi suasana tegang. Ada beberapa seri lain dari iklan ini. Tapi pesannya sama. Apa yang dianggap berbahaya oleh orang kebanyakan, maka bagi sekelompok orang yang memiliki nyali kuat dan tekad yang membara, semua menjadi terasa menyenangkan. Pesan yang baik sebenarnya. Hanya saja, pesan ini diusung oleh iklan sebuah produk rokok. Apa artinya?

Semua orang, tentu sudah tahu akan bahaya dari rokok. Kandungan yang terdapat di dalam rokok, bisa membawa banyak sekali penyakit dan masalah gangguan kesehatan bagi siapapun. Ya. Siapapun. Artinya, bukan hanya bagi si perokok itu sendiri tapi juga orang-orang yang ada di sekitarnya yang biasa disebut dengan perokok pasif. Begitu bahayanya rokok maka ada segelintir ulama yang merasa perlu mengeluarkan pernyataan bahwa rokok itu haram. Pemerintah tahu bahaya ini tapi tentu saja tidak kuasa melarang semua orang untuk tidak merokok. Yang bisa dilakukan adalah memperkecil ruang lingkup kemudahan orang untuk menikmati rokok. Seperti dengan mengeluarkan perda larangan merokok di tempat umum, rumah sakit dan sekolah. Serta mencantumkan peringatan akan bahaya rokok di setiap kemasan rokok. Jika kalian perhatikan, maka di setiap kemasan produk rokok atau iklan produk rokok, selalu tersisip tulisan “merokok dapat menyebabkan penyakit kanker, kerusakan hati, gangguan kehamilan dan janin.” Tapi, jika dikaitkan dengan kepiawaian pesan yang diusung oleh iklan rokok My Life, My Adventure, maka semua masalah dan bahaya yang dibawa oleh rokok, bagaikan debu bagi para perokok. Entah mengapa, pesan dari My Life, My Adventure yang sampai ke kepala saya adalah, “Rokok itu berat, rokok itu bahaya, tapi… emangnya gue pikirin? Ini hidup, hidup gue.”

Fuih. Perokok itu memang sombong dan egois ya?
Ingatan saya jadi melayang kepada seorang almarhum seorang teman pecinta alam. Dia hobby sekali menjelajah alam seorang diri. Menikmati kesyahduan dan keperkasaan alam seorang diri. Hingga akhirnya musibah menimpa dirinya. Tangannya terkena hawa dingin yang amat dingin sehingga mematikan seluruh syaraf di lengannya. Dalam kondisi sakit seperti ini, ternyata yang mengalami rasa sakit ini bukan hanya dirinya seorang tapi juga keluarganya. Ibunya menangis dan amat terpukul, adiknya ketakutan ditinggalkan oleh sang kakak, sang bapak kesana kemari mencari pertolongan, kekasihnya bersedih karena harapan yang porak poranda. Ternyata, slogan My Life, My Adventure yang diusung oleh teman saya itu, isinya bukan hanya ada dirinya sendiri. Ada orang lain di sekelilingnya yang tidak bisa dilepaskan dari dirinya begitu saja. Orang-orang yang baru akan diingat justru ketika kesempitan, kesedihan dan kesusahan datang menghadang. Dan memang begini inilah biasanya akhir hidup seorang perokok berat. Terkena kanker atau gangguan penyakit berat lainnya. Sewaktu mereka masih muda dan kuat, tentu tak pernah terbayangkan oleh para perokok ini akan penderitaan mengalami kanker atau penyakit berat lainnya. Atau tak pernah terbayangkan oleh mereka ketika tiba-tiba anak-anak mereka mengalami penyakit paru-paru atau batuk yang berkepanjangan. Hingga ketika akhirnya penyakit datang menyapa dan mulai menggerogoti tubuh perkasa, maka dimulailah pengurasan harta keluarga untuk biaya pengobatan, serta menyedot perhatian besar seluruh sanak family untuk datang membantu.

Ah. Perokok itu memang seorang yang egois. Ketika senang, mereka inginnya bersenang-senang sendirian saja, tapi begitu tiba saatnya untuk sakit, semua orang akan diseretnya untuk ikut menderita. Lalu sebenarnya petualangan (adventure) yang disampaikan oleh iklan tersebut, apakah benar hanya dimiliki oleh si petualang saja? (penulis: ade anita)

Cukup Sudah Demokrasi

Perspektif, Gatra, Edisi 39, 10 Agustus 2006
Friday, 09 March 2007
Sewindu lebih reformasi bergulir. Ternyata hidup bangsa ini masih dipenuhi keluhan dan berbagai kritik keras. Harapan? Terasa tipis. Hingga manusia pun terlukis begitu payah, habis daya, frustrasi, sebagian merasa "mati di lumbung padi". Yang tinggal tampaknya hanya keberanian untuk menegaskan "cukuplah sudah!" itu semua.

Jika ternyata keluhan tak menghasilkan renungan, kritik tak membawa perbaikan, dan harapan tinggal jadi kenangan. Cukup sudah kita menjadi manusia tuli, merasa benar sendiri, melulu monolog tanpa dialog, menetapkan orientasi pada semua yang artifisial dan material.

Cukuplah sudah gagasan-gagasan medioker yang pinjam kanan pinjam kiri, keberanian "tanggung" antara idealisme dan pragmatisme, antara kehendak jadi pahlawan dan kecemasan akan keselamatan pribadi. Negeri yang tengah tenggelam ini mesti bersikap lebih tegas dan berani: memilih gagasan yang --boleh jadi-- tak harus ada presedennya dalam sejarah internal maupun dalam perbandingan eksternal.

Cukuplah sudah pilihan aturan, sistem, atau model yang tiruan, usang, adaptatif, rekomendasian, dan sebagainya. Mungkin ini saatnya kita mengatakan (di hadapan masyarakat dunia), "I'll take my own way!" Not yours. Cukup sudah bantuanmu, cukup sudah nasihatmu, cukup sudah caramu --dan pada akhirnya-- cukup sudah demokrasi! Your democrazy.

Tentu saja, sebagian dari kita sepakat, demokrasi adalah apel manis yang dihasilkan reformasi sewindu lalu. Tokoh utamanya, Amien Rais, betapapun ia menyesali beberapa perkembangan buruknya, coba mengafirmasi "sukses" reformasi itu setidaknya dalam tiga hal. Pertama, dalam hal demokratisasi kehidupan masyarakat, di mana rakyat kini bebas "bicara" dan pers "bebas" berwarta. Kedua, soal otonomi daerah (otda) yang konon memberi peluang bagi kemandirian dan pemulihan hak daerah. Dan ketiga, soal pemilu langsung di berbagai tingkatan.

Inilah "jualan" yang dijajakan dan dipromo hingga ke tepi dunia. Indonesia kini adalah "negara demokratis terbesar ketiga dunia". Luar biasa, tampaknya. Jualan itu laku, secara mediatik dan secara moral. Tapi secara pragmatik dan material, ternyata semu. Benarkah, misalnya, hanya dalam sewindu, 200 juta lebih rakyat di negeri ini memiliki kematangan demokrasi seperti di India, Jepang, Amerika Serikat, atau negara-negara Eropa yang telah ratusan tahun memprosesnya?

Khuldi dan Ganti Demorkasi

Sesungguhnya, tiga hal "Amien Rais" di atas baru menyentuh sebagian reformasi politik belaka. Lalu reformasi hukum, reformasi ekonomi, reformasi sosial, apalagi reformasi kultural, di mana perhitungannya? Sementara reformasi politik itu pun lebih banyak dibumbui ekses berupa kekerasan demonstrasi, yang membuat publik kehilangan kontrol dan meluapkan nafsu kebuasannya: merusak, membunuh, memfitnah, dan sebagainya. Begitu pun otda, parpol, dan pemilu yang berlangsung dengan berbagai pengingkaran --secara sengaja-- hukum dan etikanya. Reformasi telah menjadi mitologi baru dengan pohon khuldi yang buahnya manis tapi memberi petaka.

Jika reformasi secara internal sudah batal, maka secara eksternal pun bangsa ini ternyata gagal. Dalam percaturan global, delapan tahun terakhir ini Indonesia bukan hanya menciut kontribusi poleksosbudnya, melainkan juga makin rendah kasta militer, ekonomi, politik, dan budayanya. Keadaan yang tentu saja tak dapat dihibur oleh "puji-pujian tendensius" dan ilusif dari beberapa negara maju.

Puji-pujian yang sebenarnya merayakan kemenangan mereka sendiri yang telah berhasil menciptakan bangsa ini melulu sebagai "pasar". Dengan konsumsi tinggi, baik produk ekonomi, teknologi, ideologi, politik, dan seterusnya. "Gerak perubahan" --apa pun namanya-- yang terjadi belakangan ini ternyata tak lebih dari satu atau dua chapter dari skenario globalisasi (baca: kapitalisasi, neokapitalisme, dan sebagainya).

Karenanya, semua kejadian dan isu penting di negeri ini bisa jadi hanyalah scene-scene dari drama global yang sedang dimainkan. Jatuhnya Soeharto, reformasi, demokratisasi, liberalisasi, pemilu langsung, bahkan terpilihnya presiden saat ini adalah adegan-adegan yang dirayakan oleh kekuatan-kekuatan besar global. Bukan sebagai sukses kita. Melainkan mereka. Maka, demokrasi pun --ide yang kita konsumsi habis ini-- dan boleh jadi diragukan bukanlah solusi terbaik bagi negeri belasan ribu pulau ini.

Tampaknya sampai kita pada momen di mana keberanian bangsa ini diuji zaman. Untuk menegaskan sikap, misalnya: memperhitungkan kembali demokrasi (dan hal-hal yang menjadi turunannya) sebagai cara bernegara yang kita pilih. Entah jika kemudian kita harus menggantinya, memilinnya, atau tetap menggunakannya, setidaknya kita akan lebih siap dan sadar dengan apa yang telah dan akan kita perbuat. Sehingga terhindar kita dari halusinasi demokrasi yang ternyata baru menghasilkan "kecerewetan" dan kemunafikan. Tapi, beranikah kita?

Ideologi Transnasional

Suara Islam


“The term Islam may be used in three sense: originally a religion, Islam later became a state, and finally a culture.” (Philip K. Hitti, History of Arab).


Ideologi transnasional kembali dipersoalkan. Kali ini yang dimaksud adalah ideologi yang berasal dari Timur Tengah seperti yang diemban Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, Mujahidin dan Al-Qaeda. Ideologi transnasional dipersoalkan antara lain karena: (1) tidak bersumber dari akar budaya Indonesia sehingga berbahaya bagi keutuhan bangsa; (2) menggunakan Islam sebagai ideologi politik, bukan sebagai way of life (jalan hidup); (3) Islam adalah gerakan politik, bukan gerakan keagamaan; (4) mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


Pernyataan pertama perlu dipertanyakan. Akar budaya Indonesia mana yang dimaksud? Sebab, hingga kini belum ada definisi yang jelas tentang budaya asli Indonesia; apakah animisme, Hindu, Budha, Islam atau kapitalistik seperti yang terjadi sekarang. Secara jujur, sulit untuk mengklaim budaya asli Indonesia. Indonesia dengan posisi strategisnya telah bersentuhan dengan semua ideologi dan budaya dunia. Sebutkan satu ’tradisi’ di Indonesia, pasti memiliki akar ke budaya luar. Sistem politik kita juga sama; tidak asli Indonesia. Demokrasi, parlemen, bahkan kata republik dalam NKRI saja bukan asli Indonesia, tetapi berasal dari Barat. Sama halnya dengan istilah musyarawarah, rakyat, atau dewan; berasal dari bahasa Arab yang berhubungan erat dengan Islam.

Masuknya Islam ke Indonesia tidak lepas dari watak ’transnasional’ Islam. Pada tahun 808 H (1404 M) datang sembilan ulama utusan Daulah Khilafah Ustamaniyah ke Tanah Jawa melalui kesultan Samudera Pasai untuk berdakwah. Tahun 1421-1436, datang ulama ’transnasional’ ke Jawa menggantikan utusan sebelumnya yang wafat. Ulama tersebut adalah Sayyid Ali Rahmatullah dari Samarkand, Sayyid Ja‘far Shadiq (Sunan Kudus) dari Palestina, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dari Palestina, cucu Raja Siliwangi Pajajaran. Watak transnasional ini wajar saja, mengingat Islam memang agama bagi seluruh manusia (rahmat lil ‘alamin).

Organisasi Islam di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari ciri ’transnasional’-nya. Sebagian pendiri organisasi Islam di Indonesia belajar Islam dari Timur Tengah. Pendiri NU KH Hasyim Ash‘ary dan KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah sama-sama belajar di Timur Tengah. Bisa dipahami, sebab pusatnya Islam sejak kelahirannya hingga zaman keemasan Islam memang ada di Timur Tengah. Jadi, menolak pemikiran Islam hanya karena berasal dari luar, apalagi Timur Tengah, adalah ahistoris.

Pertanyaan berikutnya, apakah budaya Indonesia dijamin benar? Tentu, tidak bisa dikatakan bahwa budaya perang antarsuku di Papua, budaya carok di Madura baik, budaya kemusyrikan menyembah leluhur, atau budaya Indonesia sekarang yang kental dengan corak kapitalistik itu baik. Karena itu, yang harus dipersoalkan bukanlah asalnya, namun apakah ideologi itu benar atau salah, dari manapun asalnya.

Tudingan bahwa gerakan Islam menjadikan agama sebagai ideologi bukan way of life, juga penting untuk dikritik. Bukankah ideologi itu adalah way of life? Justru fungsi terpenting ideologi itu adalah way of life (jalan hidup). Memang, ada wacana yang berkembang, apakah Islam itu sekadar agama ritual atau ideologi. Kalau yang dimaksud dengan agama itu hanya berisi ajaran tentang ketuhanan, ibadah ritual, dan moralitas, jelas Islam tidak seperti itu. Ajaran Islam berisi berbagai aspek kehidupan; dari hubungan manusia dengan Tuhannya secara langsung (akidah dan ibadah ritual/mahdhah), hubungan manusia dengan dirinya sendiri (akhlak, berpakaian, minuman, makanan) hingga hubungan manusia dengan sesamanya (politik, ekonomi, pendidikan, sosial, negara ).

Di dalam al-Quran, di samping ada perintah shalat, juga ada perintah untuk menaati ulil amri/penguasa yang merupakan aspek politik; di samping kewajiban shaum Ramadhan, ada kewajiban jihad fi sabilillah (perang di jalan Allah); di samping kewajiban zakat, ada juga keharaman riba yang jelas berhubungan dengan aspek ekonomi. Islam juga mengenal secara jelas dan rinci hukum qishash bagi pembunuh, cambuk/rajam bagi pezina, dan potong tangan bagi pencuri. Demikian seterusnya. Karena itu, kalau yang dimaksud ideologi itu adalah sistem hidup yang mengatur seluruh aspek kehidupan dengan berbasis pada pandangan hidup tertentu, maka Islam adalah ideologi.

Pengakuan Islam bukan sekadar sebagai agama ritual juga muncul dari pemikir dan sejarahwan Barat. Philip K. Hitti menyebut Islam sebagai agama, negara, dan budaya. “The term Islam may be used in three sense: originally a religion, Islam later became a state, and finally a culture.” (Philip K. Hitti, History of Arab). Hal yang sama disebut oleh Joseph Schact, bahwa ajaran Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Dia menulis, “The ideal of Islam is the rule of religion over all of life; as a religion as at the same time the Weltanschauung and way of life its believers.” (Joseph Schact; Encylopedia of Social Sciences).

Pemisahan secara mutlak gerakan keagamaan dan politik, apalagi kemudian membenturkan keduanya, adalah cara pandang sekular dan tidak pas dinisbatkan pada Islam. Kalau aktivitas mengoreksi penguasa yang zalim merupakan aktvitas politik, jelas Islam merupakan gerakan politik. Islam bahkan mewajibkan umatnya untuk mengoreksi penguasa yang zalim. Kalau aktivitas Rasulullah saw. mendirikan sistem Islam di Madinah dan menumbangkan sistem Jahiliah yang ada merupakan aktivitas politik, maka Islam juga merupakan gerakan politik. Karena itu, politik adalah bagian dari ajaran agama Islam itu sendiri. Dengan demikian, gerakan Islam transnasional lebih tepat disebut sebagai gerakan politik yang berdasarkan pada agama (Islam).

Dalam konteks ini, Hizbut Tahrir memang merupakan gerakan politik yang berasaskan Islam—sebagai sebuah ideologi transnasional—yang bertujuan untuk menegakkan syariah Islam di bawah naungan Khilafah Islam. Sebab, selain karena Islam telah mewajibkannya, syariah Islam juga merupakan solusi atas berbagai persoalan bangsa ini. Karena itu, perjuangan semacam ini sah-sah saja, bahkan harus didukung. Justru, yang harus ditolak adalah ideologi transnasional di luar Islam, yakni Kapitalisme dan Sosialisme/Komunisme, yang telah terbukti menimbulkan berbagai kerusakan di dunia ini. [Farid Wadjdi]